Literasi

Rumah Berdinding Kisah, Sebuah Proses Penulisan yang Penuh Disiplin

Jumat, 11 November 2022, 19:59 WIB
Dibaca 618
Rumah Berdinding Kisah, Sebuah Proses Penulisan yang Penuh Disiplin
Rumah Berdinding Kisah

Judul: Rumah Berdinding Kisah

Editor: Afiarina Dhevianty, dkk

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: Padma Herlambang Nusantara

Tebal: xi + 241

ISBN: 978-623-5654-07-2

 

Dalam bukunya yang berjudul “Kata-Kata” Jean Paul Sartre menjelaskan bagaimana Flaubert melatih Maupassant menulis (Sartre. 2001. Kata-kata, terjemahan oleh Jean Couteau. Gramedia, hal. 212). Flaubert menempatkan Maupassant di depan sebuah pohon dan memberi tugas untuk menulis tentang pohon tersebut. Hal tersebut diulang-ulang sampai Maupassant bisa menggunakan matanya untuk menangkap apa yang harus ditulis.

Indonesia dijangkiti penyakit menulis buku tidak bermutu. Sebab para penulisnya bukanlah seorang pembaca. Mereka juga belum punya pengalaman menulis artikel pendek. Tanpa latihan. Tiba-tiba saja mereka bisa menghasilkan sebuah buku. Tentu saja buku mereka ini tidak bermutu. Di tengah-tengah maraknya penerbitan buku yang tidak bermutu, muncul kelompok yang secara serius berlatih menulis dengan proses yang sangat ketat.

Kelompok Perempuan Penulis Padma (Perlima) ini adalah kelompok yang terus berlatih untuk menulis. Para penulis ini bergabung untuk berkarya bersama atas koordinasi Wina Bojonegoro. “Rumah Berdinding Kisah” adalah karya kedua dari kelompok Perlima. Dari buku pertama dan buku kedua ini saya mendapati bagaimana para penulis tersebut dilatih untuk menuangkan apa yang ada di kepalanya dan yang ada di rasanya menjadi sebuah narasi. Meski tidak sekejam Flaubert–Flaubert memaksa Maupassant 2 jam setiap hari menulis pohon yang tentu saja membosankan, Wina dan para mentor memaksa para penulis untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, sehingga tulisan-tulisan yang dimuat memang layak untuk dibaca.

Para penulis ini dipaksa setiap hari harus menulis. Harus disiplin. Karya mereka dibedah, diberi masukan, ditulis kembali, diendapkan, diberi masukan lagi, ditulis ulang kembali, sampai layak tayang.

Proses semacam ini akan menghasilkan penulis yang benar-benar mampu menuangkan apa yang dipikirkan dan dirasakan ke dalam teks. Sebuah teks yang enak dibaca dan menginspirasi orang yang membacanya.

Jika di buku pertama mereka menulis tentang kampung (“Dari Humba ke Santiago”), kini mereka berlatih menulis tentang rumah yang memberi kenangan. Saya menemukan setidaknya 4 penulis yang ikut menulis di buku ini dan juga terlibat dalam penulisan di buku sebelumnya.

Dalam buku ini para penulis mengungkapkan kenangannya terhadap sebuah ruang spasial yang disebut rumah. Ada yang mengisahkan tempat kost, rumah masa kecil, kontrakan sampai dengan rumah yang dibangun dan ditinggali bersama keluarga tercinta.

Menariknya, para penulis ini juga memasukkan aspek emosional terhadap ruang spasial tersebut. Konflik antara suami-istri, menantu-mertua, dan konflik dengan lingkungan, seperti orang gila yang mengganggu ketenteraman. Masuknya aspek emosional ini tentu berkat bimbingan dan tantangan yang diberikan oleh para mentor. Dengan masuknya aspek emosional maka artikel-artikel ini menjadi lebih hidup.

Kunci sukses untuk menjadi penulis adalah ketekunan untuk berlatih setiap hari. Bukankah para penulis sohor Indonesia adalah mereka-mereka yang disiplin menulis setiap hari? Suparta Brata menulis 8 halaman sehari. Mochtar Lubis menulis setidaknya satu paragraf setiap hari. Ia juga rajin menulis buku harian. Rosehan Anwar mengatakan bahwa “menulislah setiap hari supaya tidak pikun.”

Padma telah menyediakan wahana untuk siapa saja yang benar-benar berkomitmen untuk menulis. Kesempatan seperti ini harus disambut dengan gempita. 

***