Hobi

Perjalanan Mendebarkan Lae dari Tanjung Selor ke Jakarta

Kamis, 10 Februari 2022, 11:35 WIB
Dibaca 1.073
Perjalanan Mendebarkan Lae dari Tanjung Selor ke Jakarta
Lae (foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Terjadi perdebatan antara petugas Bandara Tanjung Harapan, Tanjung Selor soal barang yang baru saja keluar dari alat pemindai. Petugas perempuan menahan bagasi yang sudah terbungkus rapi kontainer plastik itu.

"Ini isinya apa, ya?" tanya petugas perempuan berjilbab sopan.

"Lae," kata Masri Sareb Putra dan Hendy Darmawan hampir bersamaan.

"Tidak boleh membawa lae di pesawat ATR!"

"Mengapa?" Masri bertanya, "Dari Pontianak kami bisa bawa buah ini, lae tidak berbau, lae bukan duren dan baunya tidak seperti duren."

Hendy berusaha menjelaskan bahwa buah lae sudah dibungkus plastik dan bungkusan plastik dimasukkan ke kontainer, kontainer masih dilapisi kardus dan siap di-wraping pula.

"Tapi aturannnya tidak boleh, Pak, nanti aromanya mengganggu penumpang lain," kata petugas menunjukkan ketegasannya.

"Bukankah nanti dimasukkan kargo di bagian bahwa pesawat?" tanya Hendy. "Tidak mungkin jadi bau, toh?"

Sejenak petugas perempuan itu memeriksa kardus yang oleh Hendy langsung dipreteli setelah melepas tali rapianya. Si petugas bergeming.

"Mbak, nilai buah lae ini ga seberapa, saya bawa karena permintaan yang lagi hamil," sela saya yang malas berdebat dengan petugas kalau sudah membentengi diri dengan 'peraturan'. "Mbak 'kan perempuan, gimana coba kalau lagi ngidam kepengen lae...!?"

Ajaib, petugas perempuan itu mengangguk dan meminta kardus berisi kontainer itu di-wraping otomatis menggunakan plastik, kemudian meminta segera dimasukkan kargo saat check-in.

Legaaaa....

Sebenarnya lae itu pesanan mantan pacar di rumah. Karena termasuk buah eksotis, saya upayakan untuk membawanya sebagai buah tangan. Kebetulan di Tanjung Selor, ibukota Kalimantan Utara, sedang musim kawin... eh, musim lae. Jadilah selama tiga hari dua malam saya menikmati lae yang dijual di tepian suangai Kayan

Lae yang rupa luarnya seperti durian kecil dengan warna daging dengan buahnya yang kemerahan, tidak umum dijumpai di Jakarta atau kota-kota lainnya di Jawa. Lae buah eksotis Kalimantan, buah hutan yang hanya ada di Kalimantan dan menjadi "sesuatu" kalau dijadikan oleh-oleh.

Rasa lae pun tidak seperti duren yang diselimuti gas, sehingga makan lae aman di perut karena tidak perlu khawatir perut meledak dan mengembung akibat terisi gas. Manisnya bisa sama, tapi aromanya lebih lembut dibanding duren. 

Di sepanjang tepian Sungai Kayan, di seberang kelenteng yang meriah karena masih suasana Imlek, pedagang lae berjajar. Pembeli duduk di kursi atau lesehan, menikmati lae sambil menikmati suasana malam.

Jika makan duren saya hanya berani beberapa butir saja, tidak demikian makan lae di mana saya bisa menghabiskan satu kepala lae utuh. Sambil menikmati malam tepian Sungai Kayan yang temaram, saya menikmati lae bersama Masri dan Hendy.

Selain lae yang eksotis dan karenanya saya fokus membawa oleh-oleh lae saja dari Tanjung Selor, di tepian Sungai Kayan juga dijual buah eksotis lainnya seperti mata kucing atau bidara cina, belimbing darah yang warnanya merah marun, jambu aér, campedak, rambay yang mirip pisitan dan lain-lain.

Setelah lae terbungkus rapi dan check-in sekaligus memastikan bungkusan lae sudah aman masuk cargo, kami menuju ruang tunggu sambil membawa kopi yang sudah terseduh. 

Tidak cukup waktu untuk menikmati secangkir kertas kopi dan sekadar ngobrol lama dengan Hendy yang akan segera kami tinggalkan, sebab panggilan agar penumpang segera masuk ke pesawat ATR72-500-600 sudah terdengar.

Saya dan Masri harus terbang ke Balikpapan, pindah pesawat untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Bersama lae tentu saja.

***

Tags : hobi,   lae