Saya Malas Komen. Titik!
Begitulah kadangkala kita menjawab ketika ditanya kenapa tdk atau jarang komen dalam group WA atau Medsos. Saya malas. Simplifikasi argumen dan definsi diri sendiri. Saya sendiri banyak mendengar jawaban tersebut dalam beberapa kesempatan. Dari teman, kolega, pejabat, dll..
Jawaban tersebut di atas nampaknya menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia secara umum. Harus kita akui budaya masyarakat Indonesia (tidak semua) dalam konteks berbagi literasi masih jauh dari harapan. Masih rendah.
Tidak saja pada budaya membaca dan menulis, juga kemampuan untuk berpikir kritis pun masih perlu ditingkatkan.
Badan Dunia (UN) dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) pernah mengeluarkan laporanya pada tahun 2016, negara Finlandia menduduki peringkat pertama dunia dengan tingkat literasi paling tinggi. Sedangkan negara kita Indonesia hanya peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei.
Hasil survey yg sama menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat nomor 5 paling cerewet di Media Sosial. Berpikir cerewet ya, tapi berpikir serius tidak. Miris bukan!
Hasil riset ini benar-benar mengkonfirmasi secara empiris pada praktik budaya membaca, menulis, dan berpikir kritis (critical thinking) masyarakat masih rendah. Artinya judul di atas benar adanya. Saya malas berpikir. Saya malas berpikir kritis.
Jujur saya, saya menulis soal ini karena saya melihat banyak pejabat di Indonesia malas komen dalam group. Mulai dari pejabat desa, pejabat kecamatan, pejabat kabupaten, pejabat, propinsi, dll. Sementara di negara² lain yg maju secara ekonomi dan ilmu pengetahuan, banyak pejabat negara (presiden, politisi, dll) aktif bermedia sosial. Bahkan byk yg sudah usia lanjut.
Sebut saja Joe Biden, Zalensky, Narendra Modi, Angela Markel, Justin Trudeau, Trump, Anwar Ibrahim, Kemala Haris, Rishi Sunak, Lis Trust, dll. Banyak sekali.
Di Indonesia ada segelintir saja pejabat nrgara atau daerah yg aktif. Sebut ada Mahfud MD, SMI, Erik Tohir, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Aria Bima, Emil Dardak, Anwar Anas, Yansen TP, dll.
Kalau demikian, apa soalnya. Apa bedanya. Beda masyarakat kita di sini dan masyarakat mereka di sana. Hasil survey UNESCO di ataslah jawabnya. Kemampuan literasi rendah. Malas membaca, malas menulis, malas berpikir, dst.
Saya sendiri selama kurang lebih 2 bulan terakhir ini jarang komen dalam group WA. Kecuali informasi duka, org sakit dll. Saya sengaja. Ingin istirahat cari makna. Juga sengaja menghindari celaan. Banyak komen, dicela macam-macam. Banyak tidak baiknya. Pelajaran menjadi lebih bijak.
Tapi saya tdk bisa menahan diri. Sayapun mulai komen lagi. Sikap diam lebih banyak tidak "bahagianya" dari pada komen. Bodo amat apa kata orang pikir saya. Saya adalah saya. Lagi tugas saya sebagai politisi adalah bicara. Bicara sajalah, pikir saya.
Itu kalau politisi. Bagaimana dengan pejabat yg lain. Kades, Camat, Kadis, Bupati, Wkl. Bupati, Gubernur, Wkl. Gubernur, Menteri, dll. Bukankah mereka semua juga harus bicara, harus membaca, harus menulis, harus berpikir? Bukankah mereka juga harus bicara menulis atau bicara supaya masyarakat tahu apa yg dilakukan, apa yg dipikirkan, dst. Paling tidak, dengan bicara, masyarakat tahu, pemimpin saya sedang bekerja, sedang berpikir.
Ini bukan soal eksis semata seperti bahasa politisi. Tetapi ini soal mindset, ini soal paradigma era IT dan ilmu pengetahuan. Tidak menyesuaikan diri, akan ketinggalan dan ditinggalkan oleh jamannya. Bah, pasti tdk ada yg mau, khusus semua org yg ingin meningkatkqn kapasitas dan kapabilitas dirinya. Ingin maju. Ingin melihat masyarakatnya maju.
Dewasa ini, media sosial adalah sarana komunikasi paling "keren", efektif dan efisien. Cepat, mudah dan tanpa batas ruang dan waktu. Ini era baru, ini era IT. Pergaulan gaya baru. Hampir semua masyarakat terdidik di dunia ini familiar dgn IT dan Medsos. Kalau tidak, dianggap kampungan. Ketinggalan informasi update, dll.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa budaya membaca dan menulis, juga berpikir kritis adalah definisi diri kita. Gambaran diri kita. Berpikir serius, kritis, analitis, itulah diri kita. Berpikir "cerewet" (survey UNESCO), itu pula diri kita. Tergantung kita, ingin eksis seperti apa.
Demikian upaya memahat kata merangkai kalimat utk memaknai dan mendapatkan makna peristiwa sesuatu dari Sudut Mata GKđąđ
***
#SM-GK/8/12/22đ¤đą