Filosofi

Jenggot & Kebijaksanaan

Kamis, 8 April 2021, 10:42 WIB
Dibaca 901
Jenggot & Kebijaksanaan

Dalam film-film silat. Sering kita saksikan. Seorang mahaguru digambarkan senantiasa berjenggot panjang. Putih warnanya. Begitu pula, seorang resi dicitrakan. Namun, identikkah jenggot panjang dengan kebijaksanaan?

Barba non facit philosophum –Jenggot panjang tidak (otomatis) membuat seorang menjadi airf-bijaksana.

Demikian sebuah tamsil yang populer sejak zaman Romawi kuna. Menurut penulis Latin, Aulus Gellius (125 - 180 M), yang menceritakan bahwa ia hadir di sebuah acara.

Ada seorang lelaki berjubah, dengan rambut panjang dan jenggot yang hampir menjuntai mencapai pusarnya. Suatu ketika, datang ke aristokrat Athena, mantan konsul Romawi dan sastrawan Herodes Atticus, yang terkenal dengan pesona dan kefasihan bahasa Yunani-nya dan meminta agar uang diberikan kepada pria berjenggot itu.

Ketika Herodes bertanya kepadanya, “Siapa dia, pria itu?” yang tampaknya tersinggung, lalu menjawab bahwa dia adalah seorang filsuf. Sekonyong-konyong menambahkan bahwa dia bertanya-tanya, mengapa gerangan Herodes berpikir perlu mengajukan pertanyaan seperti itu?

"Aku mafhum," kata Herodes. "Jenggot dan jubah ada kulihat; namun filsuf tak kulihat samasekali."

Beberapa sahabat Herodes memberitahunya bahwa orang itu sebenarnya adalah seorang pengemis "yang tidak berharga", yang perilakunya sering kasar. Mendengar itu, Herodes berkata,

"Mari kita beri dia uang, kalau begitu. Apa pun karakternya, bukan karena dia laki-laki, melainkan karena kita laki-laki."

Lalu Herodes memerintahkan agar kepada si jenggot panjang kepadanya diberi uang yang cukup. Sehingga lelaki berjubah filsuf itu bisa membeli makanan selama tiga puluh hari.

***

Hal yang saya herankan --sebab heran, thaumasia-- adalah pangkal awal filsafat: mengapa rambut kepala saya masih asli dan belum atap seng, tapi barba ini sudah warna perak?

***

Ngopi sembari ngo pi pagi ini saya alihkan saja dari jenggot ke thaumasia.

Berjibaku dengan buku-buku filsafat, beberapa baca alsinya bahasa Yunani seperti Organon, dan bertemu dengan filsuf awal yang rata-rata disebut "filsuf alam", saya menemukan pangkal-awal filsafat, antara lain adalah THAUMASIA --rasa heran ini.

Barba non facit philosophum –Jenggot panjang tidak (otomatis) membuat seorang menjadi airf-bijaksana. Ia atribut. Bukan substansi.

Para filsuf, dengan tidak sengaja, menemukan teori dari hal-hal sehari-hari. Mereka heran melihat gejala alam. Mereka bertanya. Dari pertanyaan ini, kemudian lahir jawaban. Itu sebabnya, filsafat disebut cinta akan-kebijaksanaan.

Hanya cinta pada. Bukan kebijaksanaan itu sendiri.

Tugas filsafat BERTANYA dan MENCARI. Jika pertanyaan bersua jawaban, ia menjadi: ilmu dan teori.

Maka, filsafat terus menunaikan tugasnya: Bertanya, menggugat. Bahkan mempertanyakan dan menggugat kemapanan dan ilmu yang telah ia bangun. Jadilah salah satu cabang filsafat, EPISTEMOLOGI, atau kritik ilmu.

Olah filsafat disebut : scientia rerum per causas ultimas = ilmu yang mengibingi objek hingga kedalaman yang terdalam.

Seorang filsuf adalah pemikir. Ia disebut ahli pikir. Otaknya tidak akan laku nanti di surga, sebab sudah banyak terkuras waktu hidup di dunia fana ini.

Dan hanya orang yang (sudah) kenyang bisa berfilsafat. Lahirlah pepatah petitih: "primum manducare, deinde philosophari" (makan dahulu, berfilsafat kemudian).

Olah-filsafat dapat ditamsilkan sebagai: dapat melihat kucing hitam di atas batu hitam di tengah gulita malam. Itu sebabnya, filsafat disebut sebagai: scientia rerum per causas ultimas = ilmu yang mengibingi objek hingga kedalaman yang terdalam.

Sudahlah tentu, ada metodologi/jalan berfilsafat formal. Namun, untuk sehari-hari tidak harus rumit dan mengerutkan dahi. Lantas berpusing-pusing menggunakan teori.

Misalnya, Anda heran: Mengapa Anda tidak tahu, ketika bangun pagi, yang melangkah lebih dulu: kaki kanan apa kaki kiri? Mengapa Anda tidak tahu?

Jaddi: Heran. Bertanya. Menggugat.

Sudah berfilsafat!

 

Tags : filosofi