Filosofi

Danau Belida dalam Legenda

Jumat, 21 Agustus 2020, 09:22 WIB
Dibaca 732
Danau Belida dalam Legenda
Legenda ini pernah dimuat Majalah Hidup.

Sebuah danau yang indah di wilayah kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Airnya sebening kaca. Banyak ikan di dalamnya. Danau itu berada di antara ujung Timur Laut Pegunungan Muller-Schwaner dan Pegunungan Kapuas Hulu.

Tiap pagi jika berjalan menyusuri tepian danau, permukaannya akan memantulkan indahnya panorama pagi. Siapa saja dapat bercermin di permukaannya yang bening dan tenang. Sementara di atas pepohonan yang tumbuh subur di tepi danau, burung-burung berkicau dengan merdunya.

Ada satu hal yang unik. Di siang bolong, tatkala mentari memantulkan hawa yang paling panas sekalipun, air danau tetap sejuk dan segar. Ketika matahari tidak nampak, kawanan burung terbang meninggalkan danau itu. Mereka enggan menangkap ikan-ikan kecil. Mereka khawatir kawanan ikan belida akan menyambarnya. Pada musim bertelur biasanya ikan belida ganas.

Masyarakat di sekitar danau itu percaya, zaman dahulu yang ada hanyalah musim kemarau dan debu. Orang selalu merasa haus. Karena rasa haus itu pula, seorang laki-lakinya mencari air. Namun yang mereka temui hanya batu. Tanpa sengaja mereka memindahkan batu itu.

Astaga! Di bawah batu itu terdapat sumber air. Lalu mereka mendirikan gubuk dan menetap di situ. Waktu terus berlalu. Anak laki-laki bernama Gumantar itu telah menjadi pemuda tampan dan gagah.

Diam-diam, dewa air juga menetap di sumber air tempat Gumantar dan sang Ibu tinggal. Dewa air memiliki putri yang cantik. Rambutnya panjang terurai. Ketika berjumpa, Gumantar dan Putri Dewa Air saling jatuh hati.

Suatu hari, Gumantar dan Putri Dewa Air berjalan menuju sumber air. Mereka bercakap-cakap tentang indahnya impian hari esok. Namun sayang, ketika meninggalkan mata air itu mereka lupa menutupinya dengan batu. Akibatnya, air pun meluap. Bahkan sampai menjadi air bah. Dan membentuk sebuah danau besar.

Suatu hari datanglah raksasa ingin minum air itu. Raksasa yang datang mempunyai tiga belas kepala. Bila berhasil menangkap manusia, ia akan membenamkannya ke danau itu. Setelah tenggelam, ia akan memakannya sekaligus meminum air danau.

Ujar Gumantar, “Lihatlah, manis! Tak seorang pun sanggup menghentikan perbuatan raksasa itu. Ia akan meminum air danau ini hingga kering. Manusia akan kehausan. Aku harus menghentikan perbuatan raksasa itu!”

Putri Dewa Air cemas. Ia tak ingin kekasihnya kalah dalam pertanrungan dengan raksasa. Maka ia menutupi kepala sang kekasih dengan rambutnya yang panjang dan lebat.

Terjadilah pertempuran dahsyat. Gumantar memukul raksasa dengan sekuat tenaga. Setelah pertarungan yang melelahkan, akhirnya Gumantar berhasil mengalahkan raksasa. Tak lama setelah itu air bah kembali mengalir ke danau.

Sementara Gumantar berkelahi melawan raksasa, ibunya tertidur pulas. Ketika terbangun, ia tidak melihat apa-apa. Di sekitarnya hanya ada air yang meluap. Ia berjalan hilir mudik mencari Gumantar.

Menyadari usahanya sia-sia, sang ibu menyeburkan diri ke dalam danau. Ia menyelam ke dasarnya hingga menemukan sumber air. Ibu itu menutup sumber air dengan sebongkah batu. Air pun berhenti mengalir. Namun akhirnya ibu itu mati lemas karena terlalu lama berada di dalam air.

Sementara itu Putri Dewa Air dan Gumantar mencari sang Ibu. Mereka tak pernah berhasil menjumpainya lagi. Sebagai kenangan sang Ibu, mereka menamakan danau itu ‘Danau Belida’.

Konon, itu sebabnya, hingga hari ini punggung ikan Belida bengkok. Mirip punggung perempuan tua.