Filosofi

Inilah Bukti "Kecerdasan Natural" Manusia Dayak

Sabtu, 30 Januari 2021, 15:04 WIB
Dibaca 493
Inilah Bukti "Kecerdasan Natural" Manusia Dayak

Jangan salah menilai. Orang Dayak dikira membiarkan hutan rimba begitu saja. Tumbuh alami dan tetap lestari. Jangan kira, hal itu bukan tidak disengaja. Sebab, bagi orang Dayak, alam adalah ATM hidup. Kulkas dan restoran siap-saji, yang bisa dimanfaatkan setiap saat.

Pergilah ke hutan dan masyarakat adat Sungai Utik, Putussibau, nun jauh masuk ke pedalaman Kapuas Hulu. Bertemulah dengan masyarakat dan tokoh adat di sana: Bandi anak Raga, kerap disapa: Apai Janggut. Di sana Anda berjumpa, dan mengalami, apa yang menjadi judul tulisan ini.

Ada pula di Sintang, Hotel Ladja. Penginapan bintang ** di kota Sintang ini milik Kelompok Keling Kumang Grup (KKG). Lihatlah! Di sana tergerai banyak hasil kerajinan. Ada kain tenun ikat. Ada anyam-anyaman. Aneka kerajinan lain, dari alat hidup manusia Dayak zaman baheula. Yakni bubu, alat penangkap ikan tradisional. Yang kini dibuat modern, sebagai penghias lampu di restorannya. Sangat menarik dan eksotik.

Itu semua bukti kecerdasan natural manusia Dayak yang luar biasa.

Apakah kecerdasan itu?

Baca Juga: Pentingnya Memiliki Kecerdasan Bertahan

Kecerdasan, kini, bukan hanya soal takaran inelektual (IQ) menurut Simon-Binet. Masih banyak dimensi lain, yang menunjang atau diperlukan, untuk sukses. Seiring dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, maka IQ tidak semata-mata dikaitkan dengan tingkat intelektualitas seseorang. Karena itu, kecerdasan lalu mengalami evolusi makna.

Jadi, apakah kecerdasan itu? Kecerdasan, menurut teori Howard Gardner yang ditemukan dan dikembangkan pada 1983, ialah "the ability to solve problems or fashion products that are valued in at least one culture." Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi persoalan atau potensi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi peradaban.

Karena itu, tes IQ menurut Gardner, tidak dapat mengukur tingkatan atau nilai dari kemampuan seseorang untuk menghasilkan sesuatu. Gardner memperkenalkan tujuh (kemudian menambahkan satu menjadi delapan) macam kecerdasan. Satu di antaranya Naturalist intelligence (nature smart).

Di Sintang dan Sungai Utik,  tergerai banyak hasil kerajinan. Ada kain tenun ikat. Ada anyam-anyaman. Aneka kerajinan lain, dari alat hidup manusia Dayak zaman baheula. Yakni bubu, alat penangkap ikan tradisional.

Profesor ilmu pendidikan Harvard University itu selanjutnya menyarankan ditambahkannya beberapa dimensi kecerdasan lagi, yakni naturalist, spiritual, dan existential. Sebab, menurutnya, setiap orang memunyai kecerdasan itu, meski dalam takaran yang berbeda-beda.

Sebagai  seorang penggiat lingkungan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) saya pernah menghitung bahwa nilai ekonomis hutan jauh lebih besar dibandingkan jika dieksploitasi. Nah, Apai Janggut mewarisi pengetahuan-diam itu. Itu sebabnya, orang tua berjenggot dari Sungai Utik mati-matian mempertahankan keaslian dan ekosistem hutan di wilayahnya.

Pada Bab terdahulu, kita telah melihat sejarah dan asal mula wilayah Sungai Utik menjadi “menoa mensia Iban”. Selain bukti tajau-pesaka, sebenarnya ada satu kisah sejarah menarik lainnya lagi. Tentang masuk paksanya agama alokton ke wilayah Hulu Sungai Kapuas –dan hanya orang Iban berani melawan.

Baca Juga: The History of Dayak (9) - Dijajah Hindia Belanda dan Inggris: Di Mana Bedanya?

Di bawah pijar lampu listrik, malam itu, di sebuah bilik. Kami masih duduk bersila. Air enau yang difermentasi jadi tuak membuat cerita mengalir seperti tetes-tetes nira. Sembari menghirup dari cawan masing-masing, Apai Janggut berkisah.

“Kami enda ngereja utai ti salah (kita mewarisi hikmat dari orang tua). Menjaga menoa, dengan segenap isinya. Tidak ada emas hidup, yang ada air hidup.”

Pergilah ke hutan dan masyarakat adat, Sungai Utik, Putussibau, Kapuas Hulu. Gambaran nyata ada di sana, selain di wilayah kami, di Sekadau. Lihat contoh hidup lingkungan hidup. Lihat orang tua yang mengajar, dengan contoh di sana: Bandi anak Raga, kerap disapa Apai Janggut.

Selain dilahirkan memiliki kecerdasan natural, Apai Janggut mengasah diri di bidang lingkungan. Meski tinggal nun jauh di hulu sungai Kapuas, perbatasan dengan Malaysia (Badau), ia tidak asing dengan Jakarta. Saya kerap berjumpa dengannya, sebagai aktivis Aman Kalbar, di sebuah hotel berbintang di Jakarta.

Konsep Apai Janggut tentang hutan lestari sederhana, tapi sarat makna. Seperti tertera pada kalimat samping foto-dirinya yang menghiasi dinding biliknya:

Kami tidak minta lebih dan tidak mau kurang
selama di hutan masih ditemukan buruan dan obat
di lubuk masih ada ikan
dan di huma masih berpadi
itulah lestari.

 Orang Dayak bukan saja memiliki kecerdasan natural. Lebih dari itu, mereka memandang dan yakin hutan adalah sumber hidup dan penghidupan. Maka, jika orang Dayak seakan-akan membiarkan hutan tetap lestari, jangan salah menilai!

***