Filosofi

Aku Merawat Nilai Budaya Leluhur

Selasa, 11 Oktober 2022, 18:22 WIB
Dibaca 386
Aku Merawat Nilai Budaya Leluhur
Foto: YTP bersama adi-adik di Krayan Tengah

Ada yang menarik dari status yang ditulis oleh Bapak Gat Khaleb pada pagi hari ini di dinding Facebook miliknya, tulisnya begini, "Apabila mata kaki atau tumit basah, maka mulut pun akan basah!."

Lantas saya lagsung berpikir tentang makna yang terkandung disana. Sesaat saya terdiam lalu memaknai kata tersebut. Ohh...artinya sangat dalam. Mengapa sangat dalam, karena kata-kata ini dalam bahasa Dayak Lundayeh mengandung makna yang sangat baik. Dapat menggugah hidup untuk melakukan.

Walaupun hanya sebaris kata saja, tetapi memiliki muatan yang membuat kita sebagai pembaca tergugah untuk melakukan sesuatu. Karena kata-kata ini juga mendorong kita untuk lebih rajin, lebih produktif, lebih banyak melakukan aktivitas yang bermanfaat, bahkan kata-kata ini juga mendorong kita untuk tidak hidup diam saja.

Sebab itu, kata-kata itu mengubah hidup orang Dayak, secara khusus Dayak Lundayeh di Dataran Tinggi Borneo. Seperti halnya kata-kata atau nasehat bijak yang sering kita dengar dari orang-orang yang bijak dan arif pemikirannya. Baik mereka yang berpengaruh dalam kepemimpinannya, baik melalui mereka yang berpengaruh dalam bidang yang sedang dia geluti, maupun dari pemikir-pemikir yang menghasilkan kontribusi bagi negeri ini. Itulah nilai-nilai luhur yang tak lengkang oleh zaman, nilai hidup yang layak kita lekatkan di relung hati dan cara kita bertindak.

Salah satunya, prinsip hidup bapak Dr. Yansen TP. M.Si, "Tahu, Lakukan, dan Jadikan."

Aku ingat betul, ketika masih kecil tinggal dengan nenek dan kakek di kampung halaman di Ba' Binuang, Krayan Tengah. Aku sering diajak kakek pergi ke sawah melihat Bubuh (Alat penangkap ikan tradisional), biasanya berlanjut ke laman kerbau, saat itu kakek juga memelihara banyak sekali kerbau. Karena itu, kami harus pergi pagi-pagi betul. Sebab itu lah, pukul 5 subuh kakek sudah membangunkan aku.

Sebagai seorang anak yang masih kelas 2 SD saat itu, tentulah aku merasa bahwa waktunya untuk berselimut, karena kemarin main seharian dengan teman-teman. Pikir aku, datang ke sawah pagi-pagi itu membuat aku bosan dan itu menjadi suatu hal yang malas untuk dilakukan--apalagi pagi hari.

Perjalanan ke sawah, harus melewati beberapa bukit, jalan setapak yang becek, bahkan kami harus melewati beberapa sawah masyarakat lainnya sebelum tiba di sawah milik kakek. Hal yang paling aku tunggu- tunggu ialah ketika sampai di pematang sawah, melangkah kaki kecil ke tempat di mana kakek memasang bubuh.

Aku menarik bubuh itu dari dalam air, dan mendapati banyak sekali ikan kecil maupun ikan besar yang terperangkap di dalam bubuh tersebut. Aku sangat bergembira, sekaligus melupakan keinginan aku untuk kembali tidur.

Sambil mengeluarkan ikan-ikan dari perangkapnya, kakek bercerita tentang orang rajin. Katanya begini, "Me ba Peh Kukud So', Meba Teh Taang So." Artinya, biasanya orang rajin pasti kakinya kotor dan mulutnya pun basah. Dalam pikiran, aku mencoba mencernai kata-kata itu.

Nah, berkaitan dengan kata-kata yang ditulis oleh Bapak Gat Khaleb di atas mengingatkan aku ke memori masa kecil yang begitu lugu itu. Di didik untuk mengerti, mengetahui sampai melakukan. Yaitu dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, atau menjadikan nilai luhur itu sebagai bagian dari cara kita dalam bertindak dan berprilaku. Kemudian nilai itu dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Artinya nilai itu telah melekat, bahkan hidup dalam diri masyarakat kita sampai hari ini. Tidak hanya dalam perilaku hidup, tetapi juga komunitas, bahkan dalam perilaku berorganisasi.

Kemudian ditambah lagi satu ungkapan nilai leluhur dari bapak Darius Yus, "Taga Na'am Neh Me Ko' Bera. Buda Na'am Neh Me Ko' Luba." yang artinya, Kecantikan tidak akan menjadi beras. Kulit putih tidak akan menjadi nasi.

***