Filosofi

Antara Makanan dan Jodoh

Selasa, 5 Juli 2022, 16:24 WIB
Dibaca 337
Antara Makanan dan Jodoh
Jodoh (Foto: Sindo News)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Makanan jelas rezeki. Mencari rezeki hal yang diperintah bukan hanya oleh Sang Pencipta, tetapi juga oleh keluargamu, bahkan dirimu. Ujung-ujungnya rezeki sesuatu yang bisa dimakan. 

Kamu punya emas batangan dan rumah bertingkat tidak bisa dimakan langsung. Kamu perlu menggadaikan atau menyewakannya, mendapat uang, lalu bisa membeli makanan. Larinya ke makanan juga. 

Maka bisnis yang paling menguntungkan sebenarnya bukan jual-beli emas atau membeli properti, melainkan bisnis makanan. Kuliner. 

Kembali ke makanan dan rezeki. Kerap makanan yang sudah di depan mulut, bisa melayang juga. Misalnya kesenggol orang atau kamu melihat serangga atau cacing yang turut termasak di makanan itu. 

Atau bisa juga karena kamu kurang kuat memegang makanan sehingga makanan itu jatuh ke tanah. Mau diambil lagi malu, meski belum lima menit. Tinggallah kamu menatap makanan yang belum sempat kamu santap.

Konon jodoh juga rezeki. Jadi kalau tidak bisa jadian sama dia, artinya si dia bukan rezekimu. Pun kamu bukan rezekinya dia. Lalu harus mengutuk segala hal -termasuk keadaan dan nasib- jika tidak berjodoh? 

Tentu tidak, namanya "dia bukan jodohku", mana tahu "kamu yang jadi jodohku".

Begitulah seharusnya berprinsip. Dunia tidak selebar daun kelor. Tetapi kalau kamu tidak bergerak dan berusaha, jodoh takkan datang juga. Ia bukan menstruasi yang biasa datang tiap bulan atau tagihan PLN yang pasti datang.

Atau jodoh itu ibarat pisang yang dikupas tetapi nyemplung ke kolam.

Kamu masih melihat pisang itu tenggelam perlahan, kamu sangat ingin meraihnya kembali, tetapi kamu tidak berani terjun mengambil pisang itu karena takut basah baju atau takut berenang. 

Ah, kamu memang pecundang, jangan harap akan jadi pemenang.

***

Pepih Nugraha