Filosofi

Serial Kebangsaan (16) Malu sebagai Budaya

Kamis, 28 Juli 2022, 05:59 WIB
Dibaca 410
Serial Kebangsaan (16) Malu sebagai Budaya
Ilustrasi malu (Foto: hidayatullah.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Konon kunci jadi manusia itu karena masih punya rasa malu. Jadi kalau sudah tidak mau jadi manusia, bunuh saja rasa malu itu, niscaya manusia takkan ada bedanya dengan hewan. 

Ada benarnya, sebab hanya hewan saja yang tidak punya malu, bukan?

Lihatlah sepasang simpanse yang melakukan hubungan badan di kebun binatang. Meski ditonton ratusan pasang mata, mereka cuek saja bersebadan tanpa harus sembunyi-sembunyi, karena simpanse tidak punya rasa malu.

Jika manusia sudah kehilangan rasa malu berarti ia telah kehilangan kemanusiaannya, kata Dr. Fahruddin Faiz dalam tauziah filsafatnya. Malu untuk melakukan hal yang buruk, tentu saja. "Malu inilah yang kelak melahirkan kebenaran dan keadilan," katanya.

Meminjam Kamus Besar Bahasa Indonesia, malu adalah "merasa sangat tidak senang, rendah, hina, dan sebagainya karena berbuat sesuatu yang kurang baik, bercacat, atau tidak disetujui oleh umumnya manusia". 

Jika kualitas manusia diukur oleh mahkota yang tersemat di atas kepalanya, maka rasa malu seharusnya menjadi mahkota manusia yang sangat agung, melebihi mahkota bertatahkan mutu manikam yang sekadar berupa materi atau kebendaan.

Rasa malu tentu saja harus disandingkan dengan perbuatan buruk dan tercela, tidak dengan perbuatan baik. Masak iya malu berbuat kebaikan? Sebaliknya, harus malu jika berbuat keburukan atau kejahatan.

Jadi kualifikasi kemanusiaan itu selalu diukur ketika manusia masih memiliki rasa malu untuk mengerjakan keburukan. 

Tetapi selalu saja terdapat ironi dalam hidup ini. Pejabat yang mengorupsi uang rakyat malah senyam-senyum di televisi, seolah-olah tidak punya rasa malu.

Pun pasangan yang video hubungan badannya viral, malah semakin percaya diri saat tampil di depan publik, tanpa rasa malu sedikitpun.

Suami harus malu tatkala tidak mampu menafkahi istri dan menghidupi anak-anaknya. Sebaliknya istri harus malu tatkala tidak bisa membuat senang suami dan tidak bisa mengurus anak-anaknya.

Pejabat negara harus malu tatkala melakukan korupsi. Ibu pejabat harus malu tatkala menekan suami untuk menyelewengkan jabatannya demi memperoleh uang haram.

Sekarang dengan media sosial yang semakin mata duitan, hedon, orang rela telanjang di depan kamera, mengobral keperawanan atas nama viralitas konten. 

Orang yang sengaja menggunakan kursi roda untuk berbohong dengan alasan takut ditahan setelah menjalani pemeriksaan di kepolisian, juga manusia yang telah kehilangan rasa malunya, manusia yang telah kehilangan kemanusiaannya.

Orang yang sengaja mendaku hak kepemilikan orang lain dengan cara mematenkannya, juga orang yang tidak tahu malu.

Mereka adalah contoh segelintir manusia yang telah kehilangan kualitas kemanusiaannya.

Semoga kita tidak seperti mereka.

***

Pepih Nugraha