Masalah: Stimuli - Respons
Ini bukan menggambar bebas seperti waktu SD. Yang hasil akhirnya sama. Seluruhnya, satu kelas: Gambar pemandangan. Ada hamparan sawah. Latarnya bukit. Ada matahari muncul di balik bukit, biasanya waktu fajar. Ada pohon nyiur melambai. Ada awan. Ada pula pohon.
Itu yang muncul, jika diminta menggambar bebas.
Namun, kini. Perhatikan saksama ilustrasi gambar kita. Apa gerangan? Pasti: orang bersilancar, bermain-main, dengan alat di kaki, untuk mengatasi ombak di laut.
Ombak itu sendiri adalah masalah. Kasat mata, orang yang bersilancar di atas gelombang, berada di atas gelombang. Di atas masalah.
Akan tetapi, jika tidak ada gelombang, bisakah bersilancar?
Jadi, gelombang --simbol masalah-- selalu ada bersama kita, selagi kita hidup. Bahkan, saya mengatakan, nasi dan lauk pauk tersedia pun di depan kita, tetap menjadi masalah. Kita harus mengeluarkan tenaga untuk mengambil hidangan itu, lalu memasukkannya ke dalam mulut, sebagai asupan.
Jadi, debat mengenai di mana tempat "masalah" diperhadapkan pada manusia, sebagai subjek, perlu didefinisikan lebih dulu: Apa yang dimaksudkan dengan "masalah"?
Saya sering bercanda di perguruan tinggi. Terutama ketika menemukan mahasiswa membuat artikel ilmiah dan skripsi; mereka kesulitan menemukan topik atau masalah. Kata saya, "Masalah mahasiswa adalah tidak atau belum dapat menemukan masalah (penelitian)."
Masalah, di dunia akademik, adalah objek kajian atau topik suatu penelitian. Sesuatu yang dapat kita ukur seberapa penting dan urgen untuk dijawab, selain mengandung unsur novelty (kebaruan).
Akan tetapi, dalam hidup, "masalah" adalah hal ihwal yang bersangkut-paut dengan kehidupan kita. Seberapa sesuatu itu mengancam, mengganggu, merusak, atau sebaliknya menguntungkan saya?
Jadi, seturut KBBI, masalah adalah: sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan); soal; persoalan.
Kadangkala, sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan) disamakan dengan "diatasi", atau to overcome. Namun, di dunia manajemen, dikenal sebagai: to solve, misalkan: problem solving.
Di kepala saya, masalah itu:
1. Mula-mula ada stimuli yang diinderai,
2. kita merespons stimuli itu,
3. respons kita atas masalah bergantung pada posisi diri kita: apakah kita terancam, tergganggu, dirusak, atau sebaliknya diuntungkan oleh soal, persoalan, dan peristiwa/ objek itu?
4. respons kita (cara kita solve, yang dalam bahasa Pak Yansen dan Dodi di-atasi) jadi bervariasi, atau bermacam-macam.
- Jika jauh dari kepentingan saya, saya abaikan. That's not my business (bukan urusanku). Dengan demikian, masalah bagi orang, belum tentu masalah bagi saya.
- Dekat dengan, atau menyentuh langsung, kepentingan saya, maka masalah itu saya respons (solve) dengan lekas.
Nah, di dalam solve ini, posisi kita tidak selalu di atas. Jika itu bencana alam, kekuatan di luar manusia (fate, nature), kita ridho, ikhlas, itu juga solve. Masalah bencana alam, tsunami, cuaca esktrem, kita tidak bisa atasi, melainkan kita respons: Apa sikap/ tindakan kita di dalam menjawab masalah itu?
Tapi, ada juga masalah yang kita bisa selesaikan, jawab, dan beri solusinya. Apakah diatasi? Atau kita di atas masalah? Jika yang dimaksudkan adalah bahwa kita punya resep/ strategi dan kiat jitu untuk merespons soal/ persoalan dan menuntaskan persoalan maka saya sepakat bahwa kita: mengatasi masalah. Tapi sekaligus, juga ada bersama masalah itu sendiri? Lha kok?
Lihat ilustrasi. Masalah adalah gelombang. Pesilancar bermain-main di atas gelombang. Tanpa gelombang, mana bisa bersilancar?
Jadi, jangan hanya melihat orang di atas gelombang saja! Lihatlah juga gelombangnya.
Kesimpulannya? Jika kami berempat VC, atau berdiskusi lagi minggu depan, terkait topik "Masalah", rasa-rasanya 2: 2 masih tetap.
Hidup bersama masalah. Kadang kita di dalam masalah. Kadang kita di atasnya.
Yang pertama, pasti "Hidup bersama masalah". Namun, yang kedua dan ketiga, tidak selalu pasti. Ada orang yang berada dalam masalah terus-menerus. Namun, ada juga orang yang (merasa) di atas masalah.