Filosofi

Dicari Orang Jujur, Bukan Semata Pintar!

Senin, 4 Juli 2022, 06:27 WIB
Dibaca 478
Dicari Orang Jujur, Bukan Semata Pintar!
Finlandia (Foto: kompas.com)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Apa ingatan yang tersisa atas kunjungan saya ke negeri bernama Finlandia 23 tahun lalu? 

Dingin. Beku. Kopi.

Tatkala menginap di hotel pelabuhan yang menghadap laut, saya melihat kapal-kapal terjebak kebekuan air laut dengan salju yang turun deras seperti dalam dongeng menjelang Natal. Televisi memberitakan, udara Helsinki saat itu minus 10 derajat Celcius. Saya membayangkan freezer kulkas yang mampu membekukan air menjadi es.

Demikianlah keadaan di luar hotel, segala yang cair menjadi beku. Tetapi bukan tanpa penawar; kopi. 

Akan tetapi saat itu saya harus pergi ke tengah kota, ke "cafe internet", sebuah kafe yang menyediakan "colokan" ke laptop agar tersambung ke seluruh dunia melalui Internet. Saya perlu mengirimkan berita ke Jakarta atas peristiwa yang terjadi selama meliput pemilu di negara yang berbatasan dengan Rusia itu.

Kelak berita atas pernyataan Andi Malarangeng dari Helsinki tentang tuntutan tuntutan kenaikan fantastis gaji  anggota KPU yang saya tulis itu sungguh mengguncang Indonesia!

Kopi menjadi minuman wajib dan di "Negeri Nokia" inilah meminum kopi menjadi tidak terkontrol, bisa kapan saja kalau kebekuan menyengat sampai menusuk tulang. Belum ada Wi-Fi, hanya "colokan" itulah yang menolong saya selama berada di sana.

Ingat, ini Mei 1999.

Kelak cafe berinternet ini menjadi tren bukan hanya di Finlandia, tapi di seluruh dunia, bahkan sudah menjadi kelengkapan cafe pinggiran kota.

Di cafe, kampanye bisa berlangsung seru dengan perdebatan sengit, tetapi dalam koridor kesopanan yang luar biasa, tidak ada saling tikam, saling hina, saling mengklaim kebenaran, tidak kultus individu atau glorifikasi golongan, dan ini yang menakjubkan... tidak membawa-bawa dalil agama!

Agama boleh dikatakan "tidak laku" di Finlandia, mereka bukan ateis tetapi memilih tidak beragama saja. Religiositas mereka tinggi, "ngaji" mereka praktikkan dalam kehidupan nyata dengan "mengaji" perasaan orang lain.

Empati mereka demikian tinggi terhadap orang lain kendati secara tampilan mereka dingin, sedingin udara negeri mereka. Gereja menjadi beku, sebeku udara di luar. Masjid dan vihara tanpa suara.

Jadi dalam perdebatan kampanye itu yang mereka perjuangkan tanpa lelah adalah perbaikan dan perbaikan. Kalau ada janji politikus tertentu dari sebuah parpol ingkar janji dan perbaikan di wilayah konstituennya tidak juga baik, maka habislah dia. Jangan harap bakal terpilih kembali, sebaik dan secanggih apapun janji manisnya. 

Tidak ada kampanye dengan ancaman neraka atau janji surga, mengancam menelantarkan mayat jika warga tidak memilih calon legislator yang menggunakan ayat sebagai senjata kampanye.

Mereka bicara soal kesejahteraan, pendidikan, jaminan hari tua, kesehatan, stabilitas harga, dan seterusnya. Tidak ada janji-janji akan mendirikan gereja sekaligus melarang pendirian vihara. 

Mereka berkata sejujurnya tanpa harus mengawali perkataan dengan "jujur saya katakan..."

Jujur dan tulus mereka praktikkan, termasuk saat harus membayar kopi yang ia pesan, padahal di sana ada calon anggota parlemen yang berkampanye, yang kalau di Jakarta sudah pasti dibayari.

Tahun 1999 ketika media sosial belum lahir, semua politikus memiliki website pribadi di mana semua orang bisa berkirim komentar di postingan atau berkirim surat langsung. Ini dimaksudkan sebagai keterbukaan, jadi tidak hanya pendukungnya saja yang bisa berinteraksi, tetapi orang lain yang bukan pendukungnya. 

Meski ini negeri dingin dan beku, tetapi kegairahan membaca penduduknya di luar pemahaman yang tidak saya temukan di negara Eropa lainnya, terkecuali Jepang.

Dengan membaca, tentu mereka jadi pintar atau jadi lebih pintar.

Tetapi, kejujuran harus lebih dipentingkan dari kepintaran. Buat apa pintar kalau tidak jujur.

Itu sebabnya, pendiri Harian Kompas Jakob Oetama memiliki Kredo saat merekrut karyawan dalam membangun bisnis medianya: "Kita butuh lebih banyak orang jujur daripada orang pintar."

Saya sepakat.

***