Filosofi

Cerpen | Semalam Bersama Hantu

Jumat, 18 Juni 2021, 10:49 WIB
Dibaca 873
Cerpen | Semalam Bersama Hantu
dokpri

Malam semakin larut dan terhanyut oleh keheningan malam. Namun, Bucang si gadis kecil masih enggan memejamkan mata. Terasa ada yang kurang bila belum mendengar cerita dari sang ibu.

"Ngolimoi holuk poh inek" (cerita dulu ya ibu) pinta sang anak pada ibunya.

Mulailah ibunya berkisah…

Pada jaman dahulu, tersebutlah seorang lelaki gaib yang tinggal bersama ibunya. Dia disebut gaib karena nama sang ibu tidak pernah disebutkan dalam cerita. Kecuali melalui “tahtum kandan”. Itu pun sangat jarang sekali. Sebab secara tradisi, menyebut nama ibu diangap tabu. Apalagi jika menyebutnya dengan sembarangan.

Nama sang ibu sesekali muncul disebutkan ketika ada cerita “tahtum kandan”. Yaitu, cerita yang dilantunkan dengan irama tertentu, yang bakal tidak habis dikisahkan dalam semalaman. Bahkan sampai tiga malam berturut-turut, yang menceritakan tentang manusia gaib. Dan hanya tetua saja yang mengerti maknanya.

Demikian juga dengan nama sang ayah. Baik para tetua, maupun pencerita rakyat, tidak ada yang mengetahui atau pernah menyebutkan.

Sang lelaki gaib tersebut bernama Songumang. Ia memiliki kelebihan dan kesaktian yang sangat istimewa. Salah satunya hanya dengan mengucapkan mantra dari jarak jauh, maka orang yang sakit bisa sembuh seketika itu juga oleh mantra Songumang.

Songumang adalah anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Tidak pernah sepatah kata pun yang diucapkan yang dapat menyakiti hati sang ibu. Setiap kata adalah perintah baginya untuk dijalani.

Di suatu pagi yang cerah, sang ibu berkata kepada Songumang, “Nak, Ibu ingin sekali makan dengan lauk yang enak”. 

“Baiklah ibu. Besok aku akan memasang bubu di sungai,” jawab Songumang.

Tanpa banyak berkata. Songumang segera mempersiapkan alat untuk menangkap ikan berupa dua buah bubu yang sangat besar. Bubu tersebut dibuat dari bahan bambu yang sudah tua. Tidak lupa dua ekor hewan “jerengak” (sejenis kodok) disiapkan juga. Setelah dirasakanya sudah lengkap, Songumang beristirahat sejenak untuk melepas lelah.

Saat matahari hendak bersembunyi di balik ujung pohon kelapa, maka bersiap-siaplah Songumang. Sebelum berangkat, tidak lupa dua ekor jerengak diberi makan berupa nasi putih segar dan air kopi secukupnya.

“Ibu, Songumang mohon ijin akan bermalam di hutan. Besok pagi baru akan kembali,“ kata Songumang kepada ibunya sambil menenteng dua buah bubu. Serta dua hewan jerengak yang sejak pagi telah disiapkannya.

“Hati-hati, ibu akan selalu menunggumu,“ jawab sang ibu.

Maka pergilah Songumang menembus hutan belantara. Ia menuju sebuah sungai besar yang angker di lereng bukit. Sebelum matahari terbenam, sampailah ia di tempat yang dituju. Ia memilih lokasi sungai yang lebar dan panjang.

“Aku yakin di sungai ini pasti banyak ikannya,“ gumam Songumang dalam hati.

Kedua bubu tersebut masing-masing dipasang. Bubu yang satu agak mendekati muara. Sedangkan yang satunya lagi diletakan di hulu sungai. Tidak lupa di dekat bubu tersebut diletakkannya hewan jerengak. Di tepi sungai, sedikit di atas daratan. 

Songumang memberikan petunjuk yang jelas kepada kedua hewan jerengak tersebut.

“Sahabatku, jika nanti ada yang memanggil namaku, maka jawablah sesuai dengan yang aku jelaskan tadi,” pesan Songumang.

Sebentar lagi matahari akan menuju peraduannya. Songumang segera mencari pohon yang sangat tinggi dan rindang. Serta barcabang banyak untuk dijadikan tempat beristirahat.

Malam pun tiba. Malam berbalut sunyi dan sepi. Namun, tiba-tiba saja Songumang mendengar suara gemuruh yang luar biasa mengerikan.

“Aku mencium aroma manusia yang sangat segar,” kata para makhluk yang bergemuruh. Mereka adalah "Otuk Lio/ Jiin" para hantu penghuni hutan belantara.

“Ayo kita cari bersama-sama,” terdengar suara hantu "Otuk Lio" yang lain.

“Oooiii manusia dimanakah engkau,” teriak para hantu.

“Di sini” jerengak yang ditempatkan di bagian hulu menjawab singkat.

Berlarilah para hantu ke sungai bagian hulu dengan suara gemuruh. Ada yang melalui sungai. Ada juga yang melewati pinggiran sungai. Namun yang dicari tidak dijumpai.

“Oooiii manusia dimanakah engkau,” teriak para hantu dengan kesal.

“Di sini,” jerengak yang ditempatkan bagian muara menjawab dengan tegas pula.

“Dia di sebelah hilir, mari kita tangkap,” kata para hantu yang mulai geram.

Kembali mereka berlari ke bagian muara.

Sedangkan ikan yang ada di dalam sungai tersebut “torocun mihkoh” (lari ketakutan) saat mendengar suara gemuruh dan langkah kaki para hantu.

Sehingga tanpa sadar ikan-ikan di sungai masuk terperangkap ke dalam bubu yang dipasang oleh Songumang. 

Semalaman para hantu hilir mudik mencari suara Songumang yang ditirukan oleh jerengak. Sebaliknya, Songumang malahan tertidur dengan nyenyak. Seraya menikmati riuh rendahnya suara para hantu di malam tersebut.

Ketika pagi menjelang, para hantu pun lenyap entah kemana.

Songumang pun turun dari atas pohon dan menuju sungai. Diangkatnya kedua bubu itu yang yaris penuh dengan ikan segar.

Tidak lupa kedua sahabatnya jerengak diangkat sambil berkata, “terima kasih sahabat ku, mari kita pulang”.

Sesampai di rumah, betapa senang hati sang ibu ketika sang anak pulang membawa hasil yang sangat banyak.

Ikan-ikan dibersihkan. Ada yang dimasak kuah dan digoreng . Sebagian dijadikan “sopundang” (disalai) dipanggang menggunakan api unggun.

Aroma ikan yang disalai terbang kemana-mana tertiup angin. Hingga sampai ke suatu tempat.

“Wah, ini pasti aroma dari rumah ahkon ku Songumang,“ gumam Lacak Hacik.

Lacak Hacik “mamak” (pamannya) Songumang.

Konon, Lacak Hacik memiliki anak gadis bernama  Puhtir. Puhtir adalah gadis cantik yang banyak memiliki keistimewaan. Sering disebutkan bahwa air liur yang dikeluarkan adalah berupa intan permata. Puhtir anak yang pengertian, penurut kepada orangtuanya. Dia rela berkorban bagi keluarganya.

Singkat cerita, Lacak Hacik pun bertamu ke rumah Songumang.

“Aduh “ahkon” (ponakan) darimanakah gerangan engkau memperoleh ikan sebanyak ini,” tanya Lacak Hacik.

Songumang pun bercerita dengan panjang lebar. Di ujung ceritanya Songumang berkata, ”jangan lupa hewan jerengak dikasi makan nasi segar dan air kopi yang dingin”.

Lacak Hacik buru-buru ingin segera pulang.

Ketika pamit pulang, sang paman dibekali pula oleh ibunya Songumang. Tetapi Lacak Hacik menolak dengan sedikit angkuh.

“Perolehan ku nanti akan lebih banyak dari yang ahkon peroleh ini,” kata Lacak Hacik seraya berlalu.

Sepanjang perjalanan pulang selalu terngiang pesan Songumang.

Di tengah perjalanan tiba-tiba Lacak Hacik dikagetkan oleh seekor kadal yang terjatuh. Sehingga ia lupa pesan terakhir yang harus dilakukan.

Lacak Hacik kembali berbalik arah ke rumah Songumang.

“Apa yang semstinya paman lakukan terhadap jerengak itu ya Songumang,” tanya Lacak Hacik kembali.

Kembali Songumang menjawab singkat, ”jangan lupa hewan jerengak dikasi makan nasi segar dan air kopi yang dingin”.

Lacak Hacik pun pulang.

Lagi-lagi di tengah perjalanan Lacak Hacik dikagetkan oleh kadal lain yang terjatuh. 

Lacak Hacik lupa lagi, dan kembali berbalik arah.

Kejadiannya bahkan sampai 3 kali.

Di kejadian yang keempat asal-asalan Songumang berkata, “jangan lupa kasi makan nasi dan air minum kopi yang sangat panas”.

Lacak Hacik pun pulang dan tiba di rumah.

Segala sesuatu terburu-buru disiapkan.

Sore hari Lacak Hacik tak sabar ingin segera berangkat. Hewan jerengak itu dipaksa makan nasi dan air minum kopi yang sangat panas. 

Lidah jerengak pun terkelupas gara-gara makan dan minum kopi panas.

Sesampai ditempat tujuan Lacak Hacik segera beraksi.

Kedua bubu di pasang, jerengak ditempatkan sesuai petunjuk Songumang.

Malam pun tiba, Lacak Hacik segera naik ke pucuk pepohonan yang tinggi.

Tidak berapa lama, terdengar suara riuh rendah para hantu mencari aroma manusia. 

Para hantu mulai berteriak, “oooiii manusia dimanakah engkau?” 

“Di sini,” jawab jerengak tanpa semangat, karena lidahnya sakit.

Para hantu kebingungan mencari sumber suara yang tidak terlalu jelas.

Lacak Hacik marah dan kesal. Tanpa sadar ia menjawab dari puncak pepohonan. 

“Baas-baas (kuat-kuat),” teriak Lacak Hacik kepada jerengak.

Para hantu kaget. Ternyata sumber suara ada di atas pohon. Para hantu (Otuk Lio) langsung menguncang pohon itu hingga terjatuhlah Lacak Hacik. Semalaman Lacak Hacik menjadi bulan-bulanan dan mainan para hantu. Sepanjang malam ia digelitiki sampai hampir berubah menjadi buah kundur.

Ketika subuh, hantu-hantu lenyap entah kemana.

Lacak Hacik mengerang kesakitan. Ia memaksakan diri untuk pulang.

Sesampai di depan rumah ia memanggil anak dan istrinya.

“Segeralah panggil ahkon Songumang untuk mengobati saya,” perintah Lacak Hacik kepada putri sulungnya.

Puhtir segera berangkat. 

“Tolong obati ayah yang sakit,”pintanya kepada Songumang.

Tetapi Sengumang tidak bersedia.

Puhtir pulang dengan kecewa. Disampaikannya kepada sang ayah kalau Songumang tidak bersedia.

Tanpa berpikir panjang Lacak Hacik berkata, ”katakan kepada Songumang kalau ayah bersedia menyerahkan engkau sebagai istrinya jika ayah sembuh”.

Puhtir segera berangkat kembali. Pesan sang ayah segera disampaikan.

Songumang sangat gembira mendengarkan pesan yang disampaikan Puhtir. Hati senang tidak terkira.

“Pucuk dicinta ulam tiba, kalo udah jodoh gak akan kemana,” kata Songumang yang hatinya sedang berbunga-bunga.

Dengan penuh semangat yang membara ia berkata:

“Saat ini juga, mamak (paman) sudah sembuh,” jawab Songumang.

Puhtir pun kembali, dan benar saja. Sang ayah pulih seperti sedia kala. Pada akhirnya, Lacak merestui  hubungan putri sulungnya Puhtir dengan Songumang.

Songumang, laki-laki yang sangat tampan, sakti, bijaksana, sopan dan bertangungjawab. Pada akhirnya ia menikah dengan putri idamanya. Puhtir. Gadis yang cantik jelita bagai bidadari. Mereka dinikahkan dalam pesta adat. Perayaan pesta pernikahan adat berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam. Barulah keduanya resmi menjadi suami istri. Keduanya menjadi pasangan kekasih yang sangat serasi. Mereka menjadi sepasang suami istri yang sangat berbahagia selamanya.

Begitulah cerita kisah “kolimoi” seorang tokoh yang sangat legendaris sejak jaman nenek moyang orang Uud Danum.

...TAMAT...