Filosofi

Iseng Berbahaya (1)

Jumat, 21 Oktober 2022, 09:16 WIB
Dibaca 347
Iseng Berbahaya (1)
pelajaran lah ya? jangan dicontoh.

Dalam hidup ini.
Ada hal yang hanya boleh terjadi sekali saja. Memang pengalaman adalah guru terbaik. Namun, jika pengalaman diri-sendiri, bukan lagi "guru" namanya jika berkali-kali dialami. Namun, tidak bisa belajar dari pengalaman!

Saya teringat pengalaman sendiri. Tiga kali mengalami "iseng berbahaya". Saya sungguh berjanji. Tidak akan terjadi lagi. Tobat!

Yang pertama ketika SMA. Di rumah orang tua. Waktu liburan.

Samping rumah kami yang luas. Ada sealir sungai kecil. Di tepiannya ada dua kolam. Isinya ikan nila dan ikan mas.

Siang itu terik. Matahari memancarkan sinarnya. Meski dinaungi pohon nangka, ternyata air kolam sesiang itu hangat. Dari kejauhan, saya melihat ada beberapa ikan mas berenang-renang ke tepian. Mungkin mencari udara. Beberapa ekor memunculkan kepala di permukaan air kolam, untuk kemudian tenggelam lagi, entah ke mana.

Saya saksikan perangai ikan-ikan di kolam itu sekilas. Namun entah mengapa? Semacam ada godaan - sungguh godaan. Hati nurani seperti mengigatkan: jangan! Tapi saya lakukan juga.

Kuambil sebongkah batu. Gak besar, hanya segenggam.

Lalu iseng. Saya lempar ke kolam di mana ikan-ikan tadi berenang, naik turun, ke tepian kolam, mencari udara.

Meski ikan, yang dipiara untuk konsumsi manusia. Sungguh saya merasa bersalah atas peristiwa itu.

Apa yang terjadi?

Saya lihat, seekor ikan mas, warna kuning, sebesar betis orang dewasa membunyikan riak di air kolam itu. Saya sungguh terkejut. Kuhampiri. Ternyata ikan mas itu kena batu lemparan saya.

Buru-buru saya angkat. Dengan perasaan menyesal, dan juga rasa takut. Takut dimarahi mama yang terkenal galak dan keras didikannya.

Saya berusaha menghidupi ikan yang kena batu itu. Kubawa ke air kran yang mengalir, dalam baskom. Kuberusaha memberinya oksigen. Sudah berusaha. Tapi akhirnya.... ikan mas itu: game over.

"Buat lauk saja!" kata mama. Yang ternyata tidak marah. Namun, saya sungguh menyesal dengan kejadian itu.

Ketika dibelah perutnya. Ahai... banyak sekali telor. Saya sungguh merasa bersalah. Telah menghilangkan banyak potensi kehidupan makhluk hidup.

Meski ia ikan, yang dipiara untuk konsumsi manusia. Sungguh saya merasa bersalah atas peristiwa itu.

Mea culpa. Mea culpa. mea maxima culpa....

Itulah iseng berbahaya saya yang pertama.

(Yang kedua dan ketiga... bersambung)

Tags : filosofi