Filosofi

Revitalisasi Wawasan Nusantara (3)

Rabu, 2 Juni 2021, 17:37 WIB
Dibaca 782
Revitalisasi Wawasan Nusantara (3)
Wawasan Nusantara

Dodi Mawardi

Penulis senior

-------------------------------------------

Perlukah Revitalisasi Wawasan Nusantara?

-------------------------------------------

 

Cerita masa kecil dan remaja saya pada dua artikel sebelumnya, saya sampaikan kepada para peserta pelatihan Gada Utama beberapa angkatan periode 2018-2019. Cerita itu sebagai pembuka materi Wawasan Nusantara, bahan ajar wajib dalam pelatihan tersebut. Gada Utama adalah pelatihan level tertinggi untuk satuan pengamanan (satpam). Pesertanya sebagian besar para manajer dan bahkan para pemilik Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP). Pelatihan ini berada di bawah kendali Mabes Polri. Saya ditugaskan sebagai instrukturnya.

 

Setiap kali selesai bercerita, saya selalu meminta pendapat para peserta pelatihan. Khususnya cerita masa kecil dan masa remaja mereka. Apakah sama seperti saya? Atau punya pengalaman yang jauh berbeda?

 

Para peserta pelatihan ini berasal dari seluruh Indonesia, mulai Aceh sampai Papua. Mendengarkan kisah masa kecil dan remaja mereka sangat menyenangkan. Sekaligus membahagiakan. Tak jarang disertai kisah-kisah humor yang menggelikan. Semuanya bermula pada bagaimana mereka hidup dalam keberagaman.

 

Misal, ada peserta yang seumur hidupnya jarang sekali berhubungan dengan orang yang berbeda.  Ketika datang ke Jakarta untuk pelatihan Gada Utama selama satu pekan, itulah pertama kalinya dia bisa berjumpa dengan banyak saudara sebangsanya yang berbeda latar belakang. Satu angkatan pelatihan sekitar 50 orang dan berasal dari minimal 10 provinsi. Bayangkan bagaimana adaptasinya bergaul dengan orang yang beragam, ketika usianya saat itu sudah di atas 40 tahun.

 

Di luar sana mungkin banyak orang yang seumur hidupnya homogen. Berinteraksi hanya dengan satu suku saja dan satu agama saja, sama seperti masa kecil saya. Cara pandang mereka terhadap negerinya pasti berbeda dibanding mereka yang sudah terbiasa bergaul dalam lingkungan yang beragam. Banyak juga peserta pelatihan yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dalam keberagaman. Di kotanya, banyak pendatang dari berbagai daerah. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka terhadap perbedaan. Meskipun ini bukan pelajaran matematika, bukan ilmu pasti. Tentu selalu ada deviasi (penyimpangan) dalam kehidupan sosial.

 

Ketika saya tanya kepada seluruh peserta, perlukah Revitalisasi Wawasan Nusantara?

Dengan kompak semuanya berteriak lantang, “Perluuuu!”

Mereka menyadari, ternyata membangun cara pandang yang tepat terhadap bangsa ini, sama sekali tidak cukup dengan teori atau seminar sehari dua hari. Tapi harus dibarengi oleh praktik dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kondisi negeri kita sejak Era Reformasi mengalami pasang surut. Dalam berbagai bidang. Ekonomi dan politik sudah pasti. Angka-angkanya tertera. Kehidupan sosial pun demikian. Pun hal kebangsaan. Saya pribadi menengarai terjadinya degradasi nilai kebangsaan sebagian masyarakat Indonesia. Nilai-nilai dasar bangsa yang dibangun oleh para pendiri negara ini begitu cepat terkikis, tersungkur oleh beragam nilai pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Serbuan budaya dari luar negeri begitu kencang dan celakanya: lebih menarik.

 

Tentu hal ini, sudah disadari oleh sebagian tokoh negeri. Sekitar satu dekade silam misalnya, muncul ide Empat Pilar di MPR melalui Taufik Kiemas sebagai upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebangsaan. Meski timbul pro dan kontra. Lalu, penguatan Ideologi Pancasila pun mengemuka pada era Jokowi ini. Dua gerakan yang terbukti berhasil menggelinding ke seantero negeri. Namun, tentu saja hal itu tidak cukup karena ancaman disintegrasi bangsa: berupa separatisme, radikalisme, intoleransi, plus terorisme seperti kompak datang bersamaan. Perlu kerja keras besar-besaran bersama untuk menghadapinya.

 

Pelatihan Gada Utama ini hanya menyajikan materi Wawasan Nusantara dalam 2,5 jam saja. Namun, materi yang bukan sekadar teori mampu menggugah sebagian besar peserta tentang cara pandang yang pas buat bangsanya. Kisah hidup masa kecil mereka sebagai pembuka materi, membuat sebagian besar peserta seperti dibangunkan dan disadarkan. “Hei, kamu hidup di negeri yang warganya beragam lho!” Bhineka tunggal ika bukan sekadar slogan.

 

Setelah menyadarkan peserta tentang betapa pentingnya Revitalisasi Wawasan Nusantara, saya lanjutkan dengan pertanyaan:

 

“Seberapa besar cintamu kepada Indonesia?”

“Tuliskan dalam persentase!”

 

Sebagian peserta termenung.

 

(Bersambung…)

Baca juga:

Revitalisasi Wawasan Nusantara (1) Sunda dan Muslim

Revitalisasi Wawasan Nusantara (2) SMA Pengubah Mindset