Menjadi Doktor Berkat Meneliti Nilai Hutan Adat
Bukan untuk memegahkan diri. Tgl 10 Februari lalu, di Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Lempang jalan saya meraih gelar tertinggi di dunia akademik: Doktor. Itu karena topik penelitian saya langka. Dan mengandung unsur novelty. Kebaruan. Saya menghitung valuasi (nilai) hutan adat masyarakat. Ada penguji eksternal, di luar Untan: Dr. Alin Halimatussadian dari Universitas Indonesia. Jadi, sebenarnya, tidak mudah juga.
Latar Belakang Penelitian
Riam Batu berada di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis, Kecamatan Tempunak berada pada koordinat garis lintang 00 09’ LU sampai 00 26’ LS dan garis bujur pada 1110 14’ BT sampai 1110 24’ BT.
Riam Batu adalah salah satu komunitas Masyarakat Adat Seberuang yang berada di Kawasan Lingkar Saran (KLS). Kawasan Lingkar Saran adalah bentang alam yang menjadi hulu tiga sungai penting yaitu Sungai Tempunak, Sungai Sepauk dan Sungai Belimbing yang mencakup 8 desa yaitu Merti Jaya, Pekulai Bersatu, Gurung Mali, Sungai Buluh, Jaya Mentari, Kupan Jaya, Gurung Mali dan Riam Batu.
Kekayaan ekonomi sumber daya alam pada wilayah adat sebagai topik kajian ilmiah semakin berkembang sejalan dengan munculnya paradigma ekonomi berkelanjutan baru (Sustainable Development Goals/SDGs) yang meletakkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup secara selaras dan berimbang.
Dalam kaitan dengan hal itu maka tujuan dari pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan GDP (growth oriented policy) telah dikoreksi dengan munculnya isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan pemerataan pembangunan (redistribution to growth atau growth with equity).
Baca Juga: Panglima Jilah dan Pasukan Merahnya, Simbol Perjuangan Masyarakat Adat
Akan tetapi, kesuksesan pembangunan ekonomi dan sosial dianggap belum cukup. Dalam kaitannya dengan hal itu, sejumlah ahli dan lembaga dunia menyarankan perlunya menjaga keberlangsungan pembangunan (sustainability) dengan memasukkan dimensi lingkungan. Paradigma pembangunan baru ini diyakini akan mampu membawa kemakmuran yang berkeadilan dalam kehidupan dan tatanan masyarakat dunia termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Wilayah adat tempat tinggal dan bermukim masyarakat adat dan masyarakat lokal adalah satu entitas yang memiliki dimensi ekonomi. Adanya sumber daya alam dan lingkungan di dalamnya adalah salah satu signifikansi keberadaan wilayah adat. Wilayah adat berperan penting dalam menopang kehidupan masyarakat adat dan pada saat yang sama menentukan keberlanjutan ekosistem (Napitupulu, 2018).
Paling tidak, terdapat empat alasan mengapa ekonomi wilayah adat penting untuk dibahas dalam konteks penelitian ini.
Pertama, kaum environmentalis menyatakan bahwa mekanisme ekonomi tidak akan dapat melestarikan alam bahkan justru merusaknya, hal ini dikarenakan, karakteristik sumber daya alam sangat berbeda dengan tuntutan karakteristik sumber daya yang memungkinkan mekanisme ekonomi berjalan maksimal.
Karakteristik sumber daya alam yang sering menyebabkan kegagalan pasar di antaranya adalah open access resources, ketidakjelasan hak-hak kepemilikan, eksternalitas, biaya transaksi yang terlalu tinggi, ketidaksempurnaan pasar sumber daya alam, orientasi pemanfaatan sumber daya alam yang terlalu jangka pendek dan lain-lain (Saragih, 2001).
Kondisi ini dapat lebih buruk lagi jika keluar kebijakan pemerintah yang mendistorsi pasar. Argumen ini membuat kaum environmentalis sangat meragukan mekanisme pasar dalam melestarikan sumber daya alam dan lingkungan. Kaum environmentalis berpandangan bahwa sumber daya alam tersebut tidak boleh dieksploitasi, karena akan mengubah ekosistem secara keseluruhan. Kaum environmentalis berkeyakinan bahwa alam ini akan cukup memenuhi kebutuhan tiap orang tapi tidak cukup memenuhi keserakahan manusia (Saragih, 2001).
Kedua, kaum developmentalis berpandangan sebaliknya dari kaum environmentalis. Menurut mereka , alam harus dimanfaatkan dan didayagunakan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kekayaan sumber daya alam yang ada harus digunakan untuk meningkatkan manfaat ekonomi. Kaum developmentalis berkeyakinan bahwa kelestarian lingkungan dan sumber daya alam akan tercapai dengan sendirinya oleh mekanisme ekonomi karena kegiatan ekonomi akan mewujudkan efisiensi ekonomi yang di dalamnya terakomodasi pelestarian.
Kaum developmentalis juga berpandangan bahwa pelestarian keanekaragaman hayati tidak dapat mengandalkan mekanisme alam semata, tetapi haruslah juga dengan mekanisme ekonomi. Termasuk dalam prinsip-prinsip mekanisme ekonomi adalah dengan melakukan budidaya. Hal ini harus dilakukan karena jika mengandalkan alam saja, akan terjadi seleksi alam dan evolusi biologis yang bisa menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati (Saragih, 2011).
Ketiga, pandangan quasi (gabungan) developmentalis dan environmentalis. Setelah berseteru dalam kurun waktu yang panjang, akhirnya ditemukan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi, setelah berbagai kemerosotan sosial dan lingkungan sebagai akibat revolusi industri yang merupakan buah growth oriented policy yaitu Sustainable developmentalis atau sustainable development. Paradigma ini adalah bentuk jalan tengah dalam menyelesaikan persoalan kemerosotan kualitas lingkungan global.
Solusi ini dianggap solusi adil karena kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup menjadi setara (Saragih, 2001). Dalam hal ini, masyarakat adat cenderung environmentalis dan sustainable developmentalis.
Keempat, pentingnya mengembangkan model pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi masyarakat adat dan komunitas lokal yang mendasarkan pada kearifan lokal dan kekayaan sumber dayanya sehingga menjadi komunitas yang mandiri.
Dalam kerangka model ini, kearifan lokal dijadikan sumber kebijakan pembangunan pada tingkat komunitas tersebut. Kearifan lokal dan tradisi lokal dapat dikembangkan untuk membantu keberhasilan pembangunan dengan syarat bahwa nilai-nilai di dalam tradisi tersebut harus dipertahankan dengan baik.
Sebagai contoh, kearifan lokal yang telah dikenal luas di dunia yaitu kearifan Subak, yaitu pengelolaan irigasi secara tradisional di Bali yang oleh Unesco telah dinyatakan sebagai warisan budaya dunia dan Saemaul Undong di Korea Selatan yang telah menjadi model pembangunan pedesaan yang berhasil dan mulai direplikasi di tempat lain bahkan diusulkan menjadi model pembangunan negara berkembang (Abafita, Mitiku & Kyung, 2013).Cara pandang ini selayaknya semakin memperkaya wawasan dan kesadaran para ahli pembangunan dan pengambil kebijakan untuk merumuskan strategi pembangunan khususnya pembangunan ekonomi secara tepat dan bijaksana terutama pembangunan ekonomi komunitas.
Kearifan lokal dapat ditemukan pada setiap komunitas adat. Sebagai contoh adalah sistem peladangan tradisional yaitu sistem peladangan berbasis tradisi yang dipraktikkan oleh masyarakat adat Dayak di Kalimantan, termasuk masyarakat adat Seberuang Riam Batu adalah bentuk kearifan lokal dalam bercocok tanam warisan nenek moyang yang ramah lingkungan (Anyang & Seko, 2017).
Baca Juga: Ngumbai Keling Kumang: Ritual Adat Ibanik, Bukan Okultisme
Demikian juga dengan pengelolaan hutan masyarakat adat yang sangat kental dengan kearifan lokal yang di jalankan masyarakat adat secara turun-temurun (Mahkamah Konstitusi, 2013; Said, 2018).
Dalam wilayah adat, sebagaimana di Riam Batu, terdapat tempat-tempat keramat seperti lubuk keramat, danau keramat, pohon keramat, hutan keramat, bukit keramat yang sering dijadikan tempat dilakukan ritual religi atau adat. Hal ini adalah bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Tempat-tempat semacam ini tidak boleh diganggu, dirusak atau dicemari. Tempat-tempat seperti ini merefleksikan fungsi perlindungan ekologis yang terkait erat dengan nilai-nilai kultural dan spiritual masyarakat adat sehingga alam dapat terus memberikan layanannya pada kehidupan melalui ketersediaan air, mencegah banjir dan longsor, menyediakan udara bersih, mengikat karbon, memberikan keindahan, sumber pangan, nutrisi, obat-obatan, dan lain-lain.
Budaya dan kearifan lokal memiliki makna penting karena tidak saja bersenyawa dengan upaya-upaya pelestarian dan konervasi sumber daya alam dan lingkungan, tetapi juga bersenyawa secara langsung dengan kehidupan ekonomi masyarakat adat. Hal inilah yang membuat sistem ekonomi masyarakat adat bersifat ramah sosial dan lingkungan.
Dengan demikian, aspek kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat menjadi bagian integral yang sangat urgen dalam proses pengelolaan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan (Khan, 2018). Meski demikian, usaha masyarakat adat untuk mengusahakan sumber dayanya dalam mengusahakan kesejahteraan mengalami berbagai hambatan (Halimatussadiah, 2018).
Masyarakat adat adalah salah satu komponen warga negara Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam yang berada di wilayah adatnya. Pada hakikatnya, masyarakat adat memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan bersama secara harmonis. Keharmonisan tersebut bukan saja dengan sesama, tetapi juga dengan leluhur, alam semesta dan sang pencipta. Adanya relasi yang harmonis tersebut memungkinkan terciptanya keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan.
Perhitungan nilai kekayaan sumber daya hutan Riam Batu ini menggunakan metode benefit transfer (BT). Metode benefit transfer adalah salah satu metode yang lazim digunakan dalam valuasi ekonomi ekosistem, termasuk hutan. Metode benefit transfer telah lama digunakan dalam merancang kebijakan dan kajian lingkungan terapan.
Benefit transfer adalah penggunaan manfaat (benefit) dari satu tempat dan waktu sebagai data untuk memperkirakan manfaat dari tindakan atau kajian yang dilakukan di tempat atau waktu lain yang serupa (Plumber, 2009).
Saya telah meraih gelar Doktor. Yang menjadikan saya, ya masyarakat adat Riam Batu!
***
Saya kini telah Doktor. Selesaikah tugas saya? Belum. Ini malah sebuah awal. Pada Rekomendasi disertasi, saya mencatat PR sebagai berikut.
1. Perlunya para pengambil kebijakan pembangunan baik daerah maupun pusat menjadikan hasil valuasi ekonomi hutan adat Riam Batu ini sebagai referensi dalam menetapkan kebijakan pembangunan yang paling tepat bagi masyarakat adat karena hutan adat tersebut adalah aset sosial-ekonomi, dan spiritual yang menjadi sumber penghidupan, kehidupan serta kesejahteraan bukan saja bagi generasi mereka masa kini tapi juga bagi generasi masa depan;
2. Pemerintah perlu menjadikan hasil temuan ini sebagai referensi bahwa masyarakat adat mampu mengelola hutan adatnya secara lestari dengan berbasiskan kearifan lokalnya sehingga fungsi-fungsi ekosistem dapat terus terjaga yang bukan saja memberikan mafaat secara mikro, melainkan juga secara makro dan global;
3. Dalam rangka merealisasikan adanya pengakuan secara formal sebagai hutan adat, maka perlu upaya yang tergorganisir untuk memperjuangkan upaya tersebut kepada pemerintah kabupaten Sintang;
4. Perlunya melakukan pendekatan kepada PDAM Kabupaten Sintang agar kebijakan benefit sharing diinginkan oleh masyarakat Riam Batu dapat dinegosiasikan.
Nah, diperlukan lebih banyak penelitian lanjutan. Saya sebatas menghitung valuasi hutan adat masyarakat Dayak Seberuang, sesuai bidang/ vak saya bidang ekonomi. Silakan para calon Doktor meneliti bidang lain, dengan sudut pandang, dan novelty bebeda.