Ekonomi

Mengurai Masyarakat Adat dari Kemiskinan Struktural

Selasa, 19 Januari 2021, 18:02 WIB
Dibaca 411
Mengurai Masyarakat Adat dari Kemiskinan Struktural
Hutan adat: habitat aneka sumber kehidupan bagi masyarakat adat.

Kemiskinan adalah momok bagi semua negara, terlebih negara berkembang, karena itu salah satu tujuan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi adalah mengurangi angka kemiskinan. Bagi Amartya Sen (1983), kemiskinan adalah satu bentuk ketidakadilan.

Dalam pandangan umum, kemiskinan adalah suatu kondisi. Namun demikian, dalam konteks kemiskinan struktural, kemiskinan adalah suatu konsekuensi bukan kondisi (Restu dan Shohibuddin, 2010).

Cara pandang bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi mengukur kemiskinan dengan indikator-indikator seperti tempat tinggal, jenis dan jumlah asupan gizi, tingkat pendapatan, kepemilihan aset dan lain-lain. Cara pandang ini bersifat non relasional. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah kemiskinan, cara penanganannya bersifat program intervensi yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan menggunakan indikator-indikator makro tentang kesejahteraan dan pembangunan manusia seperti pendapatan per kapita, partisipasi pendidikan, layanan kesehatan, angka harapan hidup, dan lain-lain.

Cara pandang ini berguna untuk memotret orang miskin dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang tidak mampu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan yang bersifat struktural, historis, terjadi dalam jangka panjang, relasi dengan kebijakan dan sistim yang berkembang lama yang telah melahirkan kemiskinan tersebut karena tidak menyentuh akar kemiskinan.

Kemiskinan sebagai sebuah akibat atau konsekuensi harus secara kritis mengenal proses pembentukan, mekanisme-mekanisme sosial yang membuat ketimpangan dan kemiskinan tersebut terus berlanjut bahkan dibiarkan atau diciptakan kembali. Phenomena kemiskinan yang ditangkap adalah phenomena hilir atau muara bukan akar yang menjadi penyebab kemiskinan sebagai phenomena hulu, tidak diungkap secara jelas (Restu dan Shohibuddin, 2010).

Kemiskinan struktural, bisa diurai dari masyarakat adat. Matarantai itu, bisa lenyap. Yaitu dengan tetap mempertahankan hutan lestari, dengan nilainya yang nir-taksir dan nir-batas itu!

Cara pandang terhadap kemiskinan harus menggunakan perspektif yang lebih relasional yaitu melihat kemiskinan sebagai konsekuensi dari relasi-relasi kuasa yang timpang, yang telah menimbulkan marjinalisasi suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kemiskinan masyarakat adat, relasi-relasi kuasa tersebut berupa relasi Negara dengan komunitas masyarakat adat melalui berbagai aturan hukum, kebijakan pembangunan, kebijakan pemberian ijin penguasaan lahan (HGU, HTI, HPH, tambang), penetapan kawasan hutan, taman nasional,  hutan lindung yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah berada di wilayah tersebut secara turun-temurun.

Relasi yang timpang tersebut telah menyebabkan ketiadaan kepastian hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, menyempitnya wilayah kelola masyarakat adat, kriminalisasi, kerusakan lingkungan, konflik tenurial, konflik horizontal dan vertikal, yang berujung pada kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengenai kemisikinan masyarakat adat di Aceh, Jawa Tengah, NTB, NTT memberikan kesaksian mengenai proses historis dan adanya dinamika sosial-ekonomi tertentu. Tampilan kemiskinan yang dialami masyarakat adat di wilayah-wilayah tersebut ternyata berbeda-beda dan terbentuk melalui proses sejarah yang berbeda-beda pula namun intervensi Negara-lah yang telah melahirkan dampak perubahan besar pada kehidupan masyarakat adat tersebut.

Penelitian tersebut mengungkap sekurang-kurang ada lima dimensi kemiskinan yang dialami masyarakat adat. Pertama, dimensi kemiskinan yang berkaitan dengan identitas dan struktur sosial masyarakat adat yang khas. Hal ini menyangkut ketiadaan recognisi berkenaan dengan agama asli atau sistim kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat telah menyebabkan mereka mengalami kemiskinan batiniah.

Baca Juga: Tanah Adat

Dimensi kemiskinan kedua adalah terbatasnya akses masyarakat adat atas layanan pendidikan dan kesehatan yang disediakan pemerintah karena berbagai sebab. Salah satu faktor yang disoroti di Jawa Tengah adalah bahwa pendidikan formal yang disediakan oleh pemerintah tidak memberi tempat pada nilai-nilai dan ideal kehidupan yang dijunjung tinggi oleh komunitas lokal. Akibatnya pendidikan justru dipandang sebagai ancaman atas identitas dan kehidupan komunitas.

Dimensi kemiskinan ketiga adalah relasi agraria atau tenurial security yaitu penguasaan atas sumber-sumber agraria setempat. Hal yang disorot dalam dimensi ini adalah penetapan kawasan hutan, Hak Guna Usaha Perkebunan di wilayah adat yang tanpa didahului oleh proses konsultasi dan persetujuan dari komunitas adat.

Selanjutnya dimensi kemiskinan yang keempat adalah terkait relasi produksi yang tidak adil diantara sesama warga komunitas seperti gaji buruh yang rendah, sistim sewa dan gadai yang tidak adil.

Terakhir adalah dimensi kemiskinan kelima adalah keberlanjutan layanan alam. Hal ini berkenaan dengan menurunya fungsi ekologis, kerusakan lingkungan, berkurangnya daerah resapan air, bencana alam, kekeringan dan lain-lain. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa krisis agraria dianggap sebagai akar kemiskinan masyarakat adat. Ketika masyarakat adat dicerabut dari sumber-sumber agraranya yaitu tanah dan sumber daya alam yang berada di wilayah adatnya, maka mereka akan mengalami kemiskinan. Mereka dipisahkan dari alat-alat produksi yang menopang keberlangsungan hidupnya.

Bukan saja kehidupan secara ekonomi, melainkan juga secara sosial, budaya, ekologis, politik dan sipiritual. Temuan penelitian ini sejalan dengan pandangan Amartya Sen (1981) dalam Hettne (2001) yang mengatakan bahwa kelaparan biasanya bukan akibat langsung dari kekurangan pangan melainkan karena kegagalan pemberian hak.

Dalam pandangan Hernando de Soto, seorang ahli ekonomi informal dari Peru, dalam bukunya yang terkenal The Other Path (1989), untuk mengatasi akar permasalahan kemiskinan dilakukan melalui tiga cara yaitu (1) menjamin kepemilikan aset-aset masyarakat atas tanah; (2) meningkatkan akses masyarakat kepada permodalan dan pasar; dan (3) membuka ruang yang luas untuk masyarakat berkiprah di sektor informal (Suyanto, Kompas, 25/8/2017).

Salah satu cara mengurai masyarakat adat dari kemiskinan struktural adalah: mempertahankan hutan adatnya!

Di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, sebagai contoh. Telah ada bukti di mana hutan adat menjadi suaka masyarakat adat. Pada tulisan perdana, di web ini, saya telah ulas sekilas. 

Karena itu, jangan keliru menilai masyarakat adat. Mereka, tampak, seolah sederhana. Jangan pandang sebelah mata. Mengapa? Sebab mereka memiliki "tabungan" yang melebihi aset sebuah perusahan besar sekalipun di negeri ini.

***

Penulis aktivis AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan pegiat lingkungan.