Ekonomi

Kabur Aja Dulu: Potret Kekecewaan Anak Muda terhadap Negeri

Jumat, 21 Februari 2025, 09:20 WIB
Dibaca 54
Kabur Aja Dulu: Potret Kekecewaan Anak Muda terhadap Negeri
Gambar: Kondisi jalan perbatasan NKRI Krayan

YTPRayeh.Com -"Kabur saja dulu". Begitulah narasi kekecewaan sebagian anak muda. Viral. Ada pejabat panas telinga. Bertanya: dimana nasionalisme mereka. Kaburlah, gak usah balik, kata pejabat yang lain. Wajar! Mereka sedang enak-enaknya berkuasa. Sedang nikmat-nikmatnya. Soalnya, baru saja duduk beberapa bulan. Memang tugas mereka membela. Untuk tugas itulah mereka dipilih menduduki jabatan sesuatu. Kalau tidak membela, bos akan bertanya, apa tugas kalian. Begitulah. Normal-normal saja dari sisi mereka.

Sebaliknya, bagi rakyat, khususnya anak-anak muda, meluapkan kekecewaan dengan mengatakan: "IndonesiaGelap", "KaburAjaDulu", juga wajar. Mereka yang merasakan keadaan. Mereka yang susah. Mereka yang terdampak akibat kebijakan efisiensi anggaran besar-besarran. Wajar mereka sedikit protes. Manusiawi.

Sana wajar. Sini wajar. Jadi tidak perlu ribut. Apalagi mengatakan tidak nasionalis. Lewat dosis. Karena nasionalisme seseorang bukan diukur dari soal kata-kata kabur dan gelap. Ini soal ada yang senang dan ada yang tidak senang. Begitu saja. Ini soal siapa yang menilai dan dari mana berdiri dan melihat. Melihat dari gedung tinggi atau melihat dari pondok. Pasti hasil penilaian berbeda. Karena satu dari gedung tinggi ber AC. Semua serba tersedia. Ada yang atur dan melayani dengan hormat. Dan satu dari pondok pinggir sawah. Gelap dan serba terbatas. Wajar penilaian berbeda, bukan!

Baca juga tulisan lainnya: Kearifan Lokal Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan Muda Indonesia

Di negara-negara maju seperti Eropa, AS, Korea, dll, wajar mereka buat program sejenis MBG. Mereka selesai soal infrastruktur. Tidak mikir bangun jalan lagi. Juga tidak mikir urusan terang dan gelap lagi. Semua kota dan desa sudah teraliri listrik. Semua terang benderang. Jadi mereka hanya mikir sejahterakan rakyat. Wajar kasih rakyatnya makan yang bergizi.

Indonesia tidak demikian. Belum terbangun. Daerah-daerah pinggiran dan perbatasan masih gelap gurita. Jalan masih lumpur. Belum berbatu apalagi aspal. Jauh sekali. Juga infrastruktur kesehatan dan pendidikan. Masih jauh. Sekolah masih banyak dinding kayu. Masih banyak kampung atau desa beluk ada Puskesmas. Kami belum menikmati nikmatnya hidup di sebuah negara merdeka.

Dari sudut pandang kami di daerah-daerah perbatasan, saya bisa pahami kekecewaan adik-adik mahasiswa. Memang, dampak efisiensi anggaran,  banyak hal berubah. Kebijakan terlalu ekstrim utk ukuran Indonesia yang masih membangun. Potong perjalanan dinas, saya pribadi setuju 100%. Tidak banyak manfaatnya. Lahan korupsi juga. Hanya fasilitas jalan-jalan sebagian pejabat. Bahkan ada yang  bawa keluarga saat dinas. Pakai uang negara. Juga saya setuju potong ATK, pengadaan mobil dinas, dll. Tapi saya tidak setuju potong DAK (dana alokasi khusus) untuk infrastruktur. Kabupaten dan propinsi yang ada di perbatasan tdk bisa membangun. Tidak punya dana lagi. Potong untuk MBG. DAK kosong nol rupiah.

Kebijakan dimaksud di atas tidak adil. Penderitaan kami semakin panjang. Kami semakin menderita. Juga kebijakan tersebut membuat kami tdk berani lagi bermimpi. Bermimpi sejahtera. Jalan-jalan kami aspal. Kampung kami terang. Bermimpi gedung sekolah anak kami layak. Tersedia buku atau sarana-prasarana ajar. Kami pun tidak berani lagi bermimpi hidup lebih lama. Bermimpi kabur seperti anak-anak muda itu, ah, takut. Nanti dibilang tidak nasionalis.

Bicara nasionalisme, kami tdk ada tandingannya. Kami merayakan HUT RI setiap tahun dengan meriah. Satu bulan lamanya. Merah putih selalu berkibar setiap kampung. Tidak seperti pejabat yang sok-sok tanya nasionalisme rakyat. Sebagian besar dari mereka, makan dan hidup bergelimang harta dari hasil korupsi uang negara. Sikap hidup nyata menghianati negara.

Sebab korupsi merupakan bentuk perlawanan terhadap cita-cita Indonesia merdeka. Itulah penghianat sesungguhnya. Tidak nasionalis tulen.

Lagi-lagi, bagi kami yang ada di daerah-daerah terpencil nun jauh di hutan perbatasan Kaltara, tidak ada jaminan bahwa MBG membuat anak-anak kami pintar. Banyak variabel. Jangan lupa ada variabel bawaan dari rumah. Orang tua. Lingkungan. Sebenarnya, logika kami sederhana saja soal MBG. Kalau orang tua sejahtera, anak pasti sejahtera. Kalau makan orang tua cukup, maka makan anak pun cukup. Gizi anak pun cukup. Kami pun sejahtera. Itulah kemerdekaan Indonesia bagi kami. Mimpi 80 tahun tidak pernah terwujud. Sirna.

Hari ini, kami pun mulai berani bermimpi jadi warga negara tetangga. Malaysia. Hanya sebatas mimpi saja. Tidak soal patriot atau nasionlis. Jadi jangan tanya soal nasionalisme kami lagi. Ini mimpi saja koq. Sama halnya kami bermimpi sejahtera dari Republik Indonesia yang kami cintai sampai akhir hayat.

Demikian catatan siang dari Pojok Kopi Dialektika agar hari terasa bermakna dan segelas kopi terasa bermanfaat. Hanya kopi saja yang mampu membuat saya berani berpikir sendiri.

***

 

Penulis: Gat Khaleb A

Nnk, 19 Februari 2025

πŸ‡²πŸ‡¨πŸŒΎπŸŒ±**GKA**β˜•οΈβ˜•οΈ