Ekonomi

Resensi Buku: Hutan Kita Bersawit

Selasa, 26 Januari 2021, 10:52 WIB
Dibaca 607
Resensi Buku: Hutan Kita Bersawit
Hutan Kita Bersawit

Judul: Hutan Kita Bersawit

Editor: Irfan Bachtiar, d.k.k

Tahun Terbit: 2019

Penerbit: Yayasan KEHATI                                                                                     

Tebal: ix + 113

ISBN: 979-623-7041-01-6

 

Yansen TP dalam bukunya "Kaltara Rumah Kita" tidak menempatkan perkebunan dan tambang sebagai sektor utama ekonomi Kaltara. Ini adalah sebuah wacana luar biasa untuk masa depan Kaltara. Meski menghasilkan pemasukan yang besar dalam waktu yang singkat, sektor tambang dan perkebunan mempunyai implikasi kepada lingkungan yang perlu diperhatikan.

Meski demikian, sektor perkebunan, terutama perkebunan sawit tak bisa diabaikan perkembangannya di Kalimantan dan Papua, termasuk di Kalimantan Utara. Itulah sebabnya sangat penting untuk memahami persoalan-persoalan sengketa lahan kebun-hutan seperti yang diungkap di buku ini.

Baca juga: Resensi Buku Kaltara Rumah Kita 

Saya suka judul buku ini. “Hutan Kita Bersawit.” Judul tersebut sungguh sangat menggambarkan sektor perkebunan sawit di Indonesia. Perkebunan sawit di Indonesia bertumbuh sangat pesat dan merambah kawasan hutan tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk membendungnya.

Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengalahkan Malaysia dalam produksi sawit. Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia. Sejak itu sawit menjadi sumber pendapatan penting bagi Indonesia. Namun pada saat yang sama juga menimbulkan masalah-masalah, khususnya kerusakan hutan. Itulah sebabnya tekanan kepada produk sawit dari Indonesia, khususnya dari Eropa sangat besar. Produk sawit Indonesia dianggap sebagai biang kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu produknya tidak selayaknya dibeli oleh pihak-pihak di Eropa.

Membuang perkebunan sawit untuk alasan lingkungan tentu tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu upaya-upaya untuk membuat memperbaiki perkebunan sawit supaya lebih ramah lingkungan perlu terus dilakukan. Buku ini memberikan beberapa gagasan solutif untuk memecahkan masalah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perkebunan sawit. Khususnya solusi untuk kebun sawit di Kawasan hutan.

Perkebunan sawit yang sudah dikenal sejak jaman Belanda itu menjadi bertambah luasnya sejak tahun 1970. Pemerintah melalui PT Perkebunan, dengan model plasma-inti mulai mengembangkan perkebunan-perkebunan sawit. Sejak tahun 1999, perusahaan-perusahaan swasta mulai berinvestasi di sector sawit. Akibatnya perkembangan luas lahan sawit melonjak sampai 700%. Pada tahun 2019 luasan sait Indonesia telah mencapai 16,8 juta ha. Indonesia adalah negara dengan luasan kebun sawit terbesar di dunia.

Mengapa luasan kebun sawit bisa begitu cepat tumbuh? Tak bisa dipungkiri masuknya sector swasta ke bisnis sawit adalah faktor utama perkembangan luasan yang fenomenal. Apalagi masuknya sector swasta itu dibarengi dengan desentralisasi kewenangan perijinan pembukaan perkebunan sawit kepada pemerintah daerah. Sementara itu tata ruang daerah masih belum sepenuhnya ditetapkan.

Akibatnya perkembangan kebun sawit ini merambah ke Kawasan hutan. Fakultas Kehutanan UGM menemukan 2,8 ha kebun sawit di Kawasan hutan pada tahun 2018, sementara itu dari overley peta, ditemukan ada 3,4 ha kebun sawit di Kawasan hutan. Masuknya sawit ke Kawasan hutan ini telah menimbulkan kerusakan hutan yang parah. Kerusakan lingkungan hutan juga menyebabkan negara-negara Eropa menolak produk sawit.

Baca juga: Menakar Nilai Hutan Adat

Apa saja upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kerusakan hutan karena perkebunan sawit?

Upaya paling aneh yang pernah dicoba adalah mengubah sawit sebagai tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan. Jika sawit diterima sebagai tanaman hutan, maka perkebunan sawit di Kawasan hutan tidak lagi menjadi masalah. Namun upaya licik ini tidak bertahan lama. Sebab banyak pihak yang menentangnya.

Upaya-upaya lain segera dilakukan, diantaranya adalah pengetatan perijinan sawit, sembari memantabkan tata ruang di wilayah-wilayah yang potensial terkonversi menjadi kebun sawit. Upaya paling besar terjadi di era Joko Widodo. Presiden RI mengeluarkan moratorium perijinan sawit, supaya ijin-ijin yang sudah terbit dan bermasalah bisa diselesaikan. Inpres No 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perijinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit adalah senjata ampuh untuk menindak para pelaku perkebunan sawit yang melanggar aturan.

Dengan keluarnya Inpres ini upaya-upaya penindakan dan penegakan hukum mulai dijalankan secara intensif. Penyelesaian perkebunan sawit milik perusahaan dilakukan melalui: (1) mempercepat evaluasi perijinan yang sengkarut, (2) melakukan penegakan hukum, (3) menerapkan kebijakan satu peta perkebunan sawit hasil evaluasi perijinan. Sedangkan sawit masyarakat/desa diselesaikan melalui: (1) reformasi agrarian, dan (2) penerbitan lahan usaha milih BUMDes.

Selain dari upaya-upaya penyelesaian melalui peraturan perundangan dan penegakan hukum, upaya penyelesaian masalah sawit di kawasan hutan juga dilakukan melalui upaya agronomis, yaitu Agroforestri Kebun Sawit. Upaya agroforestri adalah upaya untuk mengubah perkebunan sawit monokultur menjadi polikultur. Kebun-kebun sawit, terutama yang berada di kawasan hutan ditanami dengan tanaman-tanaman kayu. Contoh-contoh di kebun masyarakat yang berhasil mulai didiseminasikan. Demikian juga bagi lahan-lahan perkebunan milik swasta.

Mencontoh model hutan jati di Jawa, dikenalkan model Strategi Jangka Benah (SJB), yaitu strategi untuk mengembalikan kawasan monokultur kembali menjadi lahan berfungsi hutan. Ada dua tahap SJB, yaitu Tahap Jangka Benah (TJB) I dan TJB II. TJB I adalah memasukkan tanaman-tanaman lain (tanaman buah atau tanaman kayu) ke dalam kebun sawit monokultur. Sedangkan tahap II adalah mengembalikan fungsi lahan menjadi fungsi hutan.

Model-model kebun campuran ini telah muncul di kalangan kebun sawit rakyat. Namun, apakah model ini akan sesuai dengan perkebunan swasta? Masih banyak tantangan untuk menerapkan SJB di kebun swasta. Sebab, selain diperlukan biaya tambahan untuk memasukkan jenis-jenis tanaman lain di kebun monokultur, bagi swasta pengelolaan kebun polikultur lebih repot. Belum lagi sawit adalah tanaman yang tidak tahan naungan, sehingga memasukkan tanaman-tanaman dengan tajuk yang menaungi berpotensi menurunkan produktivitas tanaman sawit.

Jadi? Upaya penegakan hukum adalah satu-satunya cara ampuh untuk menyelesaikan masalah perkebunan sawit swasta di kawasan hutan.