Jangan Biasakan Remehkan Kebiasaan
"People do not decide their futures, they decide their habits, and their habits decide their futures!"
Ya, nggak ada orang yang bisa memastikan masa depannya sendiri. Siapa saja orangnya cuma bisa memastikan kebiasaannya sendiri, atau apa yang bisa mereka biasakan.
Setelahnya, kebiasaan atau apa yang dibiasakan itulah yang menentukan masa depan orang tersebut.
Pesan ini mungkin cuma kita temukan dalam dialog film doang, yang judul filmnya saja kita lupa. Paling tidak, ada benang merahnya bisa dilihat dari kita masing-masing.
Ini juga yang sempat berkelebat saat sekali waktu kusempatkan ke lokasi padepokannya "Tashawuf Underground" di Ciputat, Tangerang Selatan. Di sana bisa bersua dengan mantan anak jalanan, anak-anak punk, yang memutuskan untuk mengakrabkan diri dengan kebiasaan baru.
Jika di jalanan biasanya mereka bisa melakukan apa yang mereka suka, di padepokan itu mereka justru harus belajar menyukai hal-hal baru; mengaji, mengikuti ceramah agama, hingga mengenal cara berwiraswasta.
Ustaz Halim Ambiya, ustaz muda yang beneran bikin aku terkagum-kagum, pasang badan untuk membuka jalan buat mereka bisa melihat hidup lebih baik dan lebih optimis.
Ustaz Halim ini bahkan rela minum segelas kopi yang lebih dulu dicicipi anak-anak punk tersebut, untuk meyakinkan mereka bahwa tidak semua "orang baik" meremehkan mereka yang hidup di jalan.
Bahkan di kesempatan lain, meskipun ia ustaz namun beliau bersikap lembut dan bersahabat saat mendapati anak-anak tersebut "ngefly" karena obat-obatan hingga minuman oplosan. Alhasil, dalam keadaan mabuk pun anak-anak tersebut tetap menghargainya, dan bahkan masih bisa berbicara baik dengannya.
Tak hanya itu, anak-anak punk yang "ngefly" itu bahkan meminta Ustaz Halim untuk mengajari mereka mengaji.
Keinginan baik untuk bisa menjadi lebih baik ditunjukkan anak-anak punk ini membuat Ustaz Halim sebagai dosen yang punya banyak relasi, memberi peluang itu untuk mereka.
Keinginan baik akan bertemu dengan keinginan baik. Jadinya, saat Ustaz Halim berencana bisa memberikan tempat untuk anak-anak punk itu belajar, ia bisa melakukan itu karena niat baiknya dibantu oleh beberapa filantropi yang dikenalnya.
Karaniya Dharmasaputra, salah satu pengusaha tenar di Jakarta, menjadi salah satu yang turut membantu Ustaz Halim mewujudkan rencana membantu anak-anak punk tersebut untuk belajar dan supaya mereka bisa terbiasa dengan kebiasaan baru.
Pak Karaniya yang merupakan seorang penganut Budha, membantu seorang ustaz. Menarik.
Sebab, akhirnya mereka yang terbiasa dengan kebaikan, takkan memagari diri mereka dengan sekat apa pun juga. Beda agama tak lantas menjadi penghalang untuk sebuah kesamaan; sama-sama ingin menebar kebaikan.
Kini, anak-anak punk di sana yang biasanya "nge-fly" dengan obat-obatan, kini cukup "nge-fly" dengan zikir. Dulu mereka hanya bisa mendengar suara pengajian di masjid, kini mulut mereka sendiri sudah bisa melantunkan ayat-ayat Tuhan dengan cara mengaji sendiri.
Bima, anak punk dengan tato sampai wajah, menjadi salah satu sosok yang pantas dikagumi. Meskipun dari kecil ia terbiasa di jalanan, dengan kebiasaan yang mungkin asing bagi sementara kalangan, kini menemukan hidup lebih baik, ya, setelah ia memantapkan tekad untuk lebih baik; berteman dengan orang baik, berguru dengan orang lebih baik, dan belajar bagaimana melakukan kebaikan untuk hidup lebih baik.
Kebiasaan. Ustaz Halim dan anak-anak jalanan sampai anak punk itu menjadi bagian cerita orang-orang yang awas terhadap kebiasaan. Selain membiasakan diri berbuat baik, juga bisa menggerakkan banyak orang untuk kebaikan.
Bagaimana dalam konteks diri kita sendiri? Ini yang muncul di benakku setiap kali merenungi orang-orang sebaik Ustaz Halim dan Pak Karanita tadi.
Ustaz Halim yang berpendidikan tinggi, membangun kebiasaan untuk mau memberi perhatian kepada mereka yang acap dipandang rendah.
Pak Karanita yang terkenal punya kekayaan besar, membiasakan diri untuk tidak hanya membesarkan perusahaannya dan kekayaannya, tetapi membiasakan diri membawa manfaat besar.
Ya, siapa saja akhirnya memang memiliki jalan masing-masing untuk menciptakan kebiasaan baru. Tidak hanya kebiasaan baik untuk kebaikan diri sendiri dan puas merasa baik sendiri, tetapi juga membuka jalan untuk orang lain menjadi lebih baik.
Kita sendiri, gimana?
Hari ini, misalnya, apakah kita sendiri masih menjaga cara berpikir positif, cara melihat yang luas dan jernih, atau merespons situasi buruk dengan cara baik?
Atau, lebih sederhana lagi, di tengah segala kesibukan, apakah Anda masih memberi waktu untuk bercengkrama dengan anak, istri, dan membangun kehangatan di rumah?
Di kantor, apakah kita masih bisa menjaga kebiasaan untuk menghargai waktu, membiasakan menuntaskan pekerjaan?
Soal kebiasaan (habits) tersebut juga bisa dilihat lagi lebih jauh dari sekadar kebiasaan kita sendiri. Gini...
Mereka yang terbiasa bernyanyi, besar kemungkinan akan menjadi penyanyi, wartawan musik, pemilik dapur rekaman, dan profesi lainnya yang punya korelasi dengan musik.
Mereka yang senang menjadi tontonan, mungkin menjadi aktor, MC, politisi, dlsb.
Seperti juga orang yang senang merekam segalanya ke dalam tulisan, besar kemungkinan akan menjadi penulis, copy-writer, dlsb.
Bahkan seorang penjahat pun bisa lahir karena kebiasaannya memilih cara cepat selama dirasa menguntungkan dengan cepat. Jadi, dari sana lahir pencuri, copet, jambret, atau bahkan koruptor.
Ringkasnya, sebuah kebiasaan akhirnya memang banyak terbukti menentukan nasib seseorang.
Inilah kenapa, banyak pakar psikologi hingga spiritual menganjurkan sekali: pekalah dengan kebiasaan Anda sendiri.
Sederhananya, apa yang disukai mata Anda untuk dilihat, untuk didengar telinga, yang senang disentuh oleh tangan, hingga ke mana saja kaki senang melangkah, adalah hal-hal yang berperan menciptakan kebiasaan.
Inilah yang berkelebat di pikiranku pagi ini, saat menggerakkan kaki sambil melirik kanan-kiri. Ya, sambil menunjuk jidatku sendiri, "Ada berapa kebiasaan baik yang kautumbuhkan selama ini, Bung?"
***