Budaya

Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (2)

Sabtu, 23 Januari 2021, 07:31 WIB
Dibaca 865
Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (2)
Sumber: https://kalimantanreview.com/wp-content/uploads/2019/09/de65ed3e-1f51-4e41-ba98-5e751a911550-1-800x445.jpg

Monahtik (membuka lahan)

Pada tahap ini masing-masing kepala keluarga akan memilih dan menentukan luas lahan yang akan dikelola sesuai dengan kemampuannya. Selanjutnya, mereka akan memberi tanda atau patokan sebagai pembatas wilayah lahannya.

Biasanya, untuk menandai batas lahan, mereka menggunakan benda sekitar yang mudah dilihat dan dapat diingat dalam jangka waktu panjang. Misalnya, puun kajuk jok hajok (pohon kayu besar), bahtuk hajok (batu yang besar), sokorong (undukan tanah/bukit), sungoi koik (aliran sungai yang kecil).

Bukan tanpa alasan mereka memberi tanda sedemikian rupa. Karna selain sebagai tempat menanam padi, lahan ladang tersebut juga akan ditanami karet, kopi, kayu ulin dan beraneka buah yang akan tumbuh dalam jangka waktu yang panjang. Dan kebun tersebut akan diwariskan kepada anak cucunya nanti.

Setelah selesai membuat patokan, pada hari berikutnya mereka akan melakukan kegiatan menebas. Penebasan lahan untuk ladang disebut "monahtik". Monahtik merupakan proses pertama yang dilakukan untuk membuka sebuah lahan umok (ladang).

Kegiatan menebas yakni memotong rumput dan semak belukar (kajuk denek). Lalu menyisakan bagian batang pohon yang besar. Alat yang digunakan untuk menebas lahan adalah parang yang besar dan tajam. Sebutan dalam bahan Uud danum nya adalah iso hajok.

Proses monahtik (menebas) ini dilakukan dengan cara bekerjasama antar para petani. Kegiatan gotong-royong atau bekerjasama ini disebut "handop".

Kegiatan handop dalam berladang ini akan terus menerus berkelanjutan dari sejak awal membuka lahan ladang sampai masa memanen padi.

Kegiatan menebas lahan berlangsung sekitar satu bulan lamanya. Biasanya mulai dikerjakan pada bulan juni sampai dengan bulan juli. Setelah pekerjaan menebas selesai, maka proses selanjutnya adalah menebang pohon yang disebut nowong umok.

Akan tetapi, pohon kayu ulin/tobolion dan pohon yang berbuah biasanya tidak ditebang. Di biarkan agar tetap hidup dan menghasilkan buah. Nobong umok (penebangan pohon) merupakan proses selanjutnya setelah monahtik (menebas).

Nyahak Umok (membakar lahan)

Pohon yang telah selesai ditebang akan biarkan layu dan mengering selama 1-2 bulan. Proses pengeringan pohon yang ditebang ini disebut ngihang dowak. Tujuan pengeringan pohon ini adalah untuk mempermudah proses pembakaran pada saat membakar ladang.

Ketika memasuki musim kemarau sekitar bulan agustus dan september barulah lahan kering mulai dibakar. Proses pembakaran lahan ini tidak boleh sembarangan. Harus dilakukan oleh orang yang profesional dengan cara yang sangat berhati-hati. Cara dan waktu pelaksanaan membakar lahan tidak sembarangan dilakukan.

Selain ritual adat, beberapa hari sebelum membakar lahan, warga harus menyediakan air, membuat jalan api dan membersihkan sekeliling lahan hingga tidak ada ranting dan daun yang tersisa. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran di luar lahan.

Beberapa orang khusus yang sudah ahli dipilih untuk membakar lahan ladang. Sedangkan warga yang lainnya turut mengambil peran. Baik laki-laki, perempuan, pemuda dan remaja turut membantu untuk menjaga dan mengawasi di sekeliling lahan. Tidak boleh ada setitik api pun yang coba-coba mau keluar dari area.

Biasanya ranting-ranting pohon bersama daunnya yang masih segar juga digunakan sebagai media untuk memadamkan api dengan cara dipukul/dihempaskan pada bagian percikan api yang hendak menyebar.

Proses pembakaran lahan ladang biasanya berlangsung selama 2-3 jam. Meskipun api telah mulai padam pada siang hari, namun pemilik lahan masih tetap menunggu di lahan nya sampai sore hari hingga larut malam untuk mengawasi sekeliling lahan. Terkadang sampai menginap di tengah hutan demi memastikan dan menjaga agar tidak ada api yang menyala. Rela bertaruh nyawa asalkan alam tetap terjaga.

Bagaikan minum racun dan seperti disambar petir, sakit nya tak terungkap bagi kami orang Dayak jika kami dituduh merusak hutan dan membakar hutan. Tak pernah ada sejarahnya orang Dayak membakar hutan apa lagi merusaknya. Yang ada adalah membakar lahan ladang untuk bercocok tanam.

Baca Juga: Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (1)

Masih banyak lagi cara-cara lain yang dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan. Tak sanggup rasanya menjelaskannya satu persatu karena keterbatasan pengetahuan ku tentang cara membakar lahan.

Namun, satu hal yang ku tahu pasti, bahwa hingga kini, tak ada sejarahnya kebakaran hutan di wilayah kekuasaan Dayak Uud Danum.

Bahkan, hutannya semakin tumbuh lebat dan menghijau. Beraneka ragam satwa, flora dan fauna hidup rukun di sana.

Kami bisa langsung minum air dari air terjun dan dari sungai-sungai di hutan tanpa harus memasaknya. Karna alamnya tetap terjaga dan dilestarikan. Sebab hutan telah dianggap sebagai ibu dan rumah kedua bagi kami sejak dari jaman nenek moyang.

Kami bangga menjadi anak rimba, kami tetap bersyukur meski sangat jauh dari keramaian kota. Tapi kami merasa lebih tenang, hidup rukun dan bersahabat dengan alam semesta.

Keesokan harinya, setelah ladang selesai dibakar, maka sisa-sisa ranting dan daun yang tidak terbakar akan dibersihkan. Proses pembersihan lahan ladang dari sisa pembakaran ini disebut ngoh'kap.

Ranting-ranting pohon dan daun yang tersisa akan dikumpulkan dan ditumpuk menjadi sebuah gundukan-gundukan kecil untuk dibakar. Hasil pembakaran tersebutlah yang akan menjadi pupuk yang sangat subur bagi tanaman apa saja yang akan tumbuh di sebuah umok (lahan ladang).

***

Tulisan sebelumnya: Sistem Berladang Padi Gunung Suku Uud Danum (1)