Budaya

Urban Rest Stop, Kamar Mandi Umum untuk Tunawisma

Selasa, 23 Februari 2021, 19:23 WIB
Dibaca 499
Urban Rest Stop, Kamar Mandi Umum untuk Tunawisma
Urban Rest Stop (Foto: lihi.org)

Tulisan ini adalah hasil adaptasi dari feature audio visual yang saya buat tahun 2006, di Seattle, Amerika Serikat.  Percakapan diambil dari dialog yang terekam kamera, sedang data-data saya ambil dari scrapbook wawancara dan riset saat itu, yang masih tersisa.

Saya tidak tahu apakah bentuk tulisan ini feature atau bukan, mohon kritik dan saran.....

Jam 5 pagi, Ronni Gilboa sudah keluar dari apartemennya di daerah suburban Seattle, Amerika Serikat. Matahari masih belum bersinar sepenuhnya saat Ronni  menjalankan Ford Escort biru tua miliknya. Di Eight Avenue, Ronni memarkir kendaraannya di tempat parkir umum, dari sana ia masih harus berjalan satu blok ke tempat tujuannya. 

“Saya terlalu gemuk. Dokter bilang olahraga akan baik buat saya,” katanya. 

Ronni memang gemuk, beratnya yang 110 kilogram terlalu berat untuk tingginya yang 175 sentimeter. Tapi ukuran tubuhnya tak menghalanginya bergerak lincah. Jalannya juga cepat. 

Setelah satu blok, Ronni mulai bertemu beberapa tunawisma berpakaian kumal. Sebagian duduk di trotoar dan sebagian lainnya mengantri di depan sebuah bangunan yang di dindingnya bertuliskan Julie’s. Beberapa orang bertampang sangar, dengan luka luka di wajah dan berewok yang tak terawat, serta tubuh seukuran beruang besar. Tipe orang yang akan dihindari saat berjalan di tempat sepi. Tapi Ronni malah menuju ke arah pintu bangunan tempat mereka mengantri.

Di depan pintu ia mendorong seorang pria kulit hitam bertubuh sangat besar. 

”Hei, minggir sedikit... Badanmu terlalu besar, Bud, ” pria itu memandang Ronni sejenak, wajahnya keras dan matanya keruh. Pria itu kemudian membuka penutup kepalanya dan bergeser memberi jalan. Sudut bibirnya naik sedikit, kelihatannya itu setara sebuah senyuman..

”Hello, miss Balboa..”

”Hei..hei.. nama saya  Gilboa, ... bukan Balboa..,” Ronni membuka pintu dan masuk. Sebelum itu ia sempat melepaskan senyum pada kerumunan yang mengantri. 

“Masih lima menit! Antri yang baik... siapkan kartu kalian! “

Terdengar suara menggumam dari para pengantri menyambut suara Ronni yang lantang dan keras.  Pintu kembali tertutup. Sebuah tulisan terbaca di bagian depannya, Urban Rest Stop.

Ronni adalah manajer di Urban Rest Stop, sebuah kegiatan nirlaba yang menyediakan pelayanan higienis bagi para tunawisma, non stop selama 7 hari seminggu. Ada 5 pekerja, yang lebih senang disebut relawan,  dipimpin oleh Ronni setiap hari. Mereka selalu melayani pendaftar atau tunawisma yang datang dengan hormat, akrab, tapi tetap tegas.

Tak ada simpati berlebihan dan tindakan merendahkan, para tunawisma dianggap seperti pelanggan yang membayar pelayanan. Menurut Ronni, perlakuan itu diharapkan bisa meningkatkan kepercayaan diri dan keinginan maju dari para tunawisma. 

”Para tunawisma terlalu sering mendapat hinaan, dan rasa kasihan. Mereka butuh perlakuan sama sepertiorang lain supaya bisa menghargai peraturan dan diri sendiri.”

Ruangan dalam  Urban Rest Stop terlihat  bersih dan terjaga. Begitu membuka pintu, langsung diambut sebuah podium panjang yang digunakan sebagai ruang pendaftaran. Dimbelakangnya berbagai alat mandi seperti sabun, shampo, sikat gigi, sampai pembalut, tersimpan rapi di kotak kotak plastik besar. Para tunawisma yang mendaftar bisa memperoleh alat alat itu secara gratis.

Ruangan itu terbagi dua. Di sebelah kanan adalah ruang tunggu kecil. Ada mesin pembuat kopi di meja pojok. Di sebelah kiri ada ruang mandi dan cuci. Ada 5 kamar mandi mini dengan shower. Setiap pelanggan hanya memperoleh jatah 15 menit di kamar mandi, dan 15 menit di toilet yang terpisah.

Di depan ruangan mandi,  berderet delapan mesin cuci koin. Pelanggan rest stop bisa mengoperasikan mesin dengan koin yang diperoleh di resepsionis. Ada juga 6 pengering baju elektronik ukuran besar. Pelanggan bisa langsung mengeringkan baju yangsudah dicucinya..

Begitu  masuk  ke dalam rest stop, Ronni menggunakan celemek seragamnya. Di dalam ruangan sudah ada 4 orang bercelemek serupa dan seorang pria kurus berkulit hitam bertopi. Ia hanya mengenakan kaos singlet dan sedang menyetrika. 

”Hei, Ronni.. , ” sapanya ramah. 

” Alex, jangan menyetrika di luar giliranmu, ya!” Ronni terus mengatur meja resepsionis. Ia tersenyum, tapi suaranya tetap keras dan tegas. 

Alex membuka topi dan menghormat sambil tertawa pada Ronni.

Setelah meja dirapikan, pukul 6 tepat, Ronni membalik tanda open dipintu depan.

” SIAP SEMUAA.!! pelanggan datang!” 

Teriakan Ronni mengejutkan pelanggan di depan pintu, tapi para relawan hanya tersenyum. Teriakan itu, tanda rutin bagi mereka, artinya kesibukan pagi sudah dimulai.

Para pengantri kemudian masuk satu persatu. Mereka mendaftar di meja resepsionis sesuai kedatangan dan mencatatkan keinginannya. Mau mandi, mau cuci pakaian atau pelayanan kesehatan. Mereka akan diberitahu dapat giliran jam berapa, jadi tidak perlu menunggu terlalu lama di rest stop itu. 

Ruangan rest stop tak cukup untuk mereka semua. 

Alex masih mengenakan topinya saat membereskan tumpukan handuk. Sebetulnya pria kulit hitam ini bukan pekerja rest stop, ia benar-benar relawan yang tak dibayar. Dulu ia adalah seorang tunawisma yang juga pengguna rest stop ini, sekarang dia sudah bekerja. Sebagai rasa terima kasih, ia memutuskan menjadi relawan di rest stop ini.

”Hanya Rabu dan Kamis... hanya Rabu dan Kamis, kerja gratisan seperti ini..” Dengan gaya khas Alex memainkan topi baseball wildcats yang selalu menutupi kepalanya. Sepintas gayanya seperti tiruan dari Eddie Murphy, aktor komedi kulit hitam Hollywood, tapi Alex mengaku idolanya adalah Denzel Washington.

”Kami ada hubungan, kamu tahu? Denzel dan saya masih.. umh.. satu keturunan.. kami berdua keturunan dari Afrika tentunya ...hahaha.” 

Pintu berderit terbuka. Alex menatap Seorang pria bertubuh kurus dengan baju berlapis-lapis dan penutup kepala yang dekil tampak berdiri kebingungan. Pria di pintu membuka penutup kepala dan meremas-remasnya. Ia tampak kebingungan. 

Alex meninggalkan pekerjaannya dan menyapa pria itu.

”Hai, Bro.. can I help you?”

“Eh.. saya... ingin ..um... mandi ..” pria itu tampak ragu-ragu.

Alex maju ke depan. Terlihat seperti mau merangkul, tapi kemudian mengubahnya menjadi memegang pundak.

“ Okay. tenang saja... gampang. Maju saja ke wanita galak di sana!” Alex menunjuk Ronni yang ada di belakang meja resepsionis sambil nyengir. Suaranya sengaja dikeraskan. Ronni pura-pura memasang muka marah beberapa detik, lalu tersenyum dan melambai pada pria itu.

”Kalau butuh sesuatu, panggil saja saya.. nama saya Alex”

Urban Rest Stop saat ini menjadi tempat perhentian sementara bagi kaum tunawisma atau warga miskin yang butuh pelayanan kebersihan. Para pengguna bukan hanya kaum pengangguran yang tak punya rumah, banyak juga  pekerja berpenghasilan sangat rendah yang tak mampu punya rumah yang layak.

Pagi pagi sebelum berangkat bekerja, mereka biasanya datang untuk mandi dan membersihkan diri. Malamnya mereka kembali setelah pulang kerja, karena itu Urban Rest Stop buka pagi sekali, jam 5.30, dan baru tutup jam 9.30 malam.

Di Urban Rest Stop, para tunawisma bisa mendaftar untuk mandi dan mencuci baju gratis. mereka juga bisa mendapat sabun, sikat gigi, cukur jenggot, handuk dan bahkan sampo gratis. Bagi tunawisma yang ingin mencuci baju yang dipakainya, rest stop ini menyediakan baju ganti sementara. Sehari rest stop ini melayani sekitar 400 orang untuk mandi dan 250 cucian. sayangnya karena keterbatasan tempat sering harus menolak pendaftar.

Tugas Alex di sini, utamanya adalah menjelaskan peraturan penggunaan fasilitas di rest stop pada setiap pelanggan. Terutama bagi pelanggan baru. Biasanya selalu ada relawan tak terjadwal yang membantu rest stop ini, tapi hanya Alex yang selalu datang saat ia libur.

Beberapa tunawisma memang hanya datang sekali ke rest stop, tapi banyak yang menjadi langganan seperti Alex. mereka sudah menganggapnya sebagai rumah. tak heran mereka selalu berusaha melindunginya. 

Ada beberapa peraturan yang ditegakkan sendiri oleh para pelanggan, seperti; tidak boleh pergi ke rest stop dalam keadaan mabuk, atau dalam pengaruh obat. Mereka membantu menegakkan peraturan itu. Mereka juga membantu relawan membersihkan tempat mandi setiap kali setelah digunakan, menjaga kamar mandi dan ruang lainnya selalu bersih, nyaman dan jauh dari kesan jorok.

Alex sukarela membantu para tunawisma yang datang ke rest stop, karena dulu dia juga seperti mereka. Tunawisma yang tak punya rumah dan masa depan. 

Bisa dikatakan, Alex adalah contoh sukses dari program rest stop ini. Sebelum menjadi anggota rest stop, ia sulit memperoleh pekerjaan karena penampilannya kumuh dan kotor. Jangankan melamar kerja, untuk masuk ke sebuah kantor saja ia dicurigai dan diusir.

Sejak mengenal Urban Rest Stop ini, Alex dapat memperbaiki penampilannya. Ia kini bekerja sebagai buruh bangunan, dan bahkan sudah menjadi anggota serikat pekerja setempat. 

Alex bukan contoh tunggal dari kesuksesan itu. 

”HEI... SIAP SEMUAAA... Boss datang! ,”

Teriakan Ronni memenuhi ruangan saat seorang wanita mungil memasuki pintu rest stop. Sharon tersenyum kecil pada Ronni, yang menyambutnya dengan anggukan dan senyum jauh lebih lebar. Jam Menunjukkan jam 12.30 siang.

Wanita mungil itu adalah Sharon Lee.  Ia koordinator sekaligus penggagas urban rest stop ini. Tugasnya adalah memonitor administrasi dan mencarikan sponsor untuk membiayai proyek nirlaba ini. Ia berkantor di tingkat atas gedung yang sama. 

Sharon Lee, seperti namanya, adalah seorang Amerika keturunan China. Sejak remaja, ia sudah aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Saat bicara, suaranya lembut tapi meyakinkan. Penuh semangat, apalagi kalau menyangkut kesejahteraan masyarakat kelas bawah. 

Biaya operasional rest stop sehari rata-rata mencapai 200 dollar Amerika. Itu belum termasuk pembayaran untuk para relawan, yang meskipun murah tetap saja memberatkan. Sharon biasa bekerja 15 jam sehari untuk memastikan kelangsungan pendanaan rest stop.

Kantornya yang hanya berukuran 4 kali 5 meter itu, dipenuhi buku dan kertas. 

Perabotnya sebuah meja kerja dan sebuah kursi berlengan, dan sebuah sofa untuk tamu di depannya. Agak dipojok, sebuah mesin faximili tergeletak dilantai, nyaris tertutup timbunan kertas. Diatasnya, sebuah daftar nama tertempel di whiteboard. Ada sekitar 150 nama. Daftar itu adalah nama-nama penyumbang rest stop yang harus dihubungi Sharon setiap bulan. Ia juga harus mencari donatur lain untuk mengumpulkan dana ekstra.  

Sharon berharap untuk bisa membuka pelayanan sejenis di tempat lain.

Dari kantor kecilnya, Sharon menjalankan tugas.

Tidak ringan memang, tapi ia tetap menjalankan tugas dengan serius, karena rest stop ini adalah impiannya. 

Urban Rest Stop memang dimulai dari kekesalan seorang Sharon Lee pada peraturan pemerintah Seattle yang melarang orang kencing sembarangan, tanpa menambah fasilitas umum.  Saat diterapkan, yang paling banyak terjaring adalah orang orang yang tak punya rumah. 

Sharon kesal karena peraturan itu tidak diikuti peraturan agar pemerintah kota menyediakan tempat kencing umum. Tunawisma sering ditolak masuk tempat umum, seperti pertokoan atau mall,  jadi tak heran mereka kencing sembarangan ‘kan? 

Sharon memutuskan untuk membantu kaum tunawisma dan membuat WC umum di pusat kota. 

Menurutnya, tunawisma yang mau berusaha keluar dari kemiskinan, sering kali tak bisa mendapat kepercayaan dan pekerjaan, karena masyarakat keburu mengecapnya buruk dari tampilan luar yang dekil dan kotor. Jadi dengan memperbaiki penampilan mereka sama artinya memberi kesempatan bagi para tunawisma untuk memperbaiki hidup.

Sharon memutuskan melakukan sesuatu. Membuat sebuah tempat dimana tunawisma bisa mendapat kesempatan memperbaiki penampilan mereka. Mandi dan membersihkan diri.

Mulailah dia melobi ke sponsor, membujuk masyarakat sekitar, dan mengajukan permohonan budget ke lembaga sosial atau pemerintah. 

Dengan dana pas pasan hasil sumbangan masyarakat sekitar, langsung saja ia mendirikan Urban Rest Stop itu. Beruntung project itu kemudian diketahui oleh sebuah lembaga bernama Low Income Housing Institute, yang memiliki visi serupa.  

Tahun 1999, Urban Rest Stop pertama berdiri di Seattle. Lokasinya di sebuah gedung tua yang dibangun tahun 1929. Julie’s building namanya. 

Sharon pun diminta menjadi penanggungjawab program Urban Rest Stop itu.

Sejak bulan pertama dibuka, Urban Rest Stop sudah melayani 815 orang. Enam bulan berikutnya pelanggan Urban Rest Stop sudah menjadi 28.212 orang lebih. 

Setelah setahun berdiri bahkan ada tambahan dana dari pemerintah untuk memperbaiki prasarananya. Dari hanya sekedar tempat mandi dan cuci, Urban rest stop berkembang menjadi penyokong  berbagai program yang memberikan pelayanan bagi para tunawisma. Mulai program pendataan sampai sosialisasi safesex untuk menghambat penyebaran penyakit seksual.

Di dinding kantor Sharon ada juga beberapa grafik besar tertempel. Ada yang dikeluarkan kepolisian, survey dari koran lokal setempat ‘Seattle P-I’ sampai data lembaga statistik resmi Seattle. Isinya berbagai data tentang kegiatan, kejadian dan kejahatan yang terait dengan kelompok tunawisma.

Kepada siapa saja yang datang, Sharon menyampaikan interpretasinya terhadap data itu. 

Sejak Urban Rest Stop didirikan, tingkat kriminalitas yang dilakukan para tunawisma menurun. Mulai dari kencing sembarangan sampai tindak penodongan berkurang secara signifikan. 

Itu menurut Sharon. 

Ia percaya sekali bahwa dengan memberi kepercayaan diri dan penghargaan pada para tunawisma, mereka akan lebih bersemangat berusaha dan mencari kerja  daripada melakukan tindak kriminal.

Matahari sudah terbenam saat Ronni membereskan pakaian pengganti dan handuk-handuk kotor sisa pakai. Ia memasukkannya ke karung-karung plastik, dibantu seorang relawan lain. Besok tengah hari, handuk-handuk itu akan diambil petugas laundry untuk dicuci. 

Di seberang ruangan, Alex dan seorang relawan lain memisahkan sampah bungkus sabun dan shampo kedalam tempat sampah recycle. 

Sudah jam 9.30 malam, Urban rest stop selesai beroperasi. 

Para Relawan pun membersihkan tempat kerja mereka.

Seorang pria tua keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar, walau bajunya masih kumal. Dia pelanggan terakhir hari ini. Ronni melepas celemek sambil menerima baju pengganti dari pria itu.  Begitu si pelanggan keluar dari pintu, Ronni tersenyum dan berteriak.


”HU YA... SEMUA ISTIRAHAT..  pelanggan sudah pulang!!.” 

***