Cerpen| Perempuan Pelukis Senja
Di suatu senja yang gerimis di bulan Februari. Seorang perempuan pemilik rumah di kawasan elit kota Jakarta duduk sendiri di ruang balkon. Secangkir kopi menemani kesendiriannya sembari menatap ufuk barat yang samar-samar tertutup rinai hujan. Ingin ia melukis senja itu bersama mimpi yang tak pernah terjadi dalam hidupnya yang nyata. Tetapi mimpi tinggalah mimpi.
Di usianya yang kini menginjak kepala enam, Diana masih menampakkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Hanya sedikit guratan dan kerutan penanda usia yang menua. Kulitnya yang putih masih nampak kencang, hal yang jarang terjadi pada perempuan seusianya. Ia begitu rajin merawat diri dan semua hal yang ada di rumah. Jangan pernah berharap menemukan sedikit pun noda atau barang-barang yang tak tertata apik di sana. Bahkan kamar mandinya lebih bersih dari kamar VVIP rumah sakit. Dengan tiga orang pembantu ia mengatur pekarangan rumah tinggalnya dengan amat sempurna.
Saking bersihnya ke mana-mana Diana tak lupa membawa tissue basah. Matanya tak boleh melihat sesuatu yang kotor menempel di semua barang yang dikenakannya. Apakah itu pakaian, mobil, ruangan kantor saat dia masih bekerja, dan semua hal yang terkait dengan dirinya. Andaikan ada kompetisi lomba kebersihan dan kerapian, Diana layak mendapatkan nilai 100.
Dalam dunia kerja, ia adalah perempuan yang smart dan bekerja dengan cermat. Setiap pekerjaan dan jabatan yang diembannya selalu dilakukan dengan sepenuh hati dan sarat prestasi. Tak aneh jika otak dan kecermatannya dalam bekerja mengantarkannya untuk dipercaya mengemban jabatan direktur, jabatan setingkat di bawah top manajemen di kantornya.
Tetapi segala prestasi sebagai wanita karir dan anugerah kecantikan yang dimilikinya tak berbanding lurus dengan prestasinya dalam hubungan cinta. Lelaki yang biasa-biasa saja akan silau memandang keberadaan dirinya. Hanya lelaki mapan dengan kedudukan yang minimal setara dengan dirinya serta berpenampilan rupawan tanpa cacat cela yang bisa menakhlukkan hatinya.
Itulah mengapa dulu Johan tak berhasil menjalin hubungan lebih lama dengannya. Hubungan kasih yang baru beberapa bulan kandas hanya karena satu masalah. Pria tampan yang berhasil memikat hati Diana itu kedapatan merokok. Padahal ia hanya sesekali merokok dan bukan perokok berat. Tetapi bagi Diana itu fatal.
Selain Johan, ada Rudi seorang pria mapan, berbibir merah dan berparas tampan selayaknya aktor drama Korea. Pun mengalami nasib yang sama. Di suatu malam yang tak diinginkan ia diputus begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk berubah. Malam itu Diana mencium bau minuman dari mulut Rudi. Tanpa ampun Diana langsung berikrar putus hubungan dengannya.
Lain lagi nasib Anton. Saat baru beberapa minggu menjalin hubungan, Diana lagi-lagi memutuskannya. Ia tak menyukai pria itu sejak ia melihat perut buncit Rudi saat hanya mengenakan celana kolor di pantai Kuta, Bali.
Bagi Diana, tak boleh ada satu pun sisi buruk pada pria yang akan menjadi suaminya.
Sudah puluhan kali kedekatan Diana dengan pria yang diharapkan menjadi suaminya selalu kandas. Ada yang karena kedapatan tidur mengorok, lalu Diana menjadi ill fill. Ada yang karena meludah di rumput tamannya yang selalu terlihat asri karena selalu dirawat dan dijaga, harus pulang dengan gigit jari plus patah hati.
Hingga saat usia menapaki kepala empat. Setiap kali berjumpa, ibundanya tak lupa menanyakan soal jodoh.
"Diana, apa kamu masih akan keras kepala juga sampai detik ini kamu tak kunjung selesai memilih calon suamimu?"
"Diana tetap pada pendirian, Bu. Seorang suami haruslah menjadi pendamping yang nyaman dan indah dipandang mata. Bukankah wajar bila ia ingin mendapatkan diriku yang tak hanya bermodal kecantikan semata, tetapi kemapanan dalam karirku yang seandainya tanpa lelaki pun aku bisa hidup nyaman tanpa kekurangan. Jadi aku berhak menentukan seperti apa seorang suamiku."
"Kira-kira kapan kamu akan menemukan lelaki seperti itu?"
"Suatu hari nanti pasti ada, Bu."
"Apakah kamu siap jika hal yang tak kauharapkan terjadi?"
"Maksud Ibu?"
"Andaikan jodoh seperti itu hanya ada dalam mimpimu."
"Andaikan seperti itu, aku siap Bu. Mungkin itu pilihan hidup yang harus kuambil. Lebih baik seperti itu dari pada tidak nyaman hidup bersama pasangan yang ujung-ujungnya mengakibatkan perceraian. Perceraian adalah mimpi buruk bagiku, sehingga aku merasa ketika berada pada tahapan memilih, maka tak boleh ada hal yang mengganggu pikiranku."
"Ya sudahlah, Nduk. Ibu hanya mengingatkan. Usiamu sebentar lagi akan memasuki setengah abad. Dan sebentar lagi kamu juga akan pensiun. Ibarat hari, kau tengah menuju senja. Dan Ibu mungkin tak akan bisa melihatmu hidup berumah tangga."
***
Kata-kata sang Ibu semakin nyaring terngiang di telinga Diana di usianya yang ke-60. Di setiap senja ia hadir. Tak terkecuali di senja yang gerimis di bulan Februari. Sang Ibu tak luput ia goreskan pada lukisan senja itu.
Ketika Diana hampir yakin bertemu dengan pria yang dikirim Tuhan untuk menjadi pendamping hidupnya tanpa cacat cela ia merasa tak berdaya. Di tahun terakhir menjelang pensiun, ia beremu pria yang terpaut dua tahun lebih tua. Diana begitu mendamba pria itu karena ia sangat memenuhi kriteria. Seorang pria yang sempurna meski sudah dimakan usia seperti dirinya. Sayang sekali, ia sudah menjadi milik perempuan lain dan menjadi bapak dari 5 orang anak.
Pria itu pun menjadi obyek lukisan senja di ruang balkonnya. Hingga secangkir kopi tiris tak tersisa. Kecuali air mata yang diam-diam mengalir bersama orkestra kesunyian. Yang tersembunyi di balik penampilan gemerlap dan kehampaan yang tak terkatakan.
Dan satu-satunya yang bisa ia lakukan di hari tua adalah, melukis senja.
***
Depok, 13 Februari 2021