Gelar Dayak: Penghormatan untuk Semua Perjuangan
Ada tradisi pemberian gelar dalam masyarakat Dayak. Masing-masing daerah memiliki tatacara sendiri. Di kelompok masyarakat Dayak Kayong, hebatnya, gelar tentimangan tidak hanya di berikan kepada golongan (yang termasuk) bangsawan Dayak saja. Tapi kepada semua warga, bahkan orang luar.
Jadinya, Gelar atau Golar Dayak Kayong adalah penghormatan untuk semua, dan penghormatan untuk perjuangan. Apa saja syaratnya, dan tanggungjawabnya, terhadap seseorang yang diberi gelar?
Berikut catatannya, yang saya nukilkan dari buku Dayak Kayong : Merajut Kehidupan dalam Adat (Desember 2015) karya Andika Pasti, dan Buku Dayak Mencari Sebayan Tujuh Saruga Dalam (2013) tulisan Pastor PC Dremono Harimurti, Pr.
Dalam masyarakat Dayak Kayong, seseorang lelaki akan mendapat golar tentimangan pada saat ia menikah. Atau melaksanakan adat kawin jaji suntong. Pelaksanaan kawin adat ini mensyaratkan dilaksanakannya kegiatan begendang begamal benari beigal. Begendang adalah musik tradisional Dayak yang alat musiknya terdiri dari Gong, Gamelan, Gendang, dan Kekansi.
Pada saat perkawinan adat berlangsung, pengantin duduk di atas gong besar yang dialasi kain batik. Pengantin lelaki di kanan, memegang tombak. Pengantin perempuan duduk di kiri. Irama begendang Taboh Kawen di pukul dengan nada cepat dan indah, melaporkan ke alam raya bahwa pesta perkawinan sedang berlangsung.
Berikutnya, setelah doa dari demong manter, penganten lelaki akan mendapat gelar.
Selain pada saat pesta perkawinan, pemberian gelar tentimangan atau Begolar sering dilaksanakan juga pada saat pindah rumah (peresmian) rumah baru, atau kegiatan adat kampung lain yang sesuai. Jika dilakukan saat pindah rumah, ini sebagai bentuk penghargaan kepada orang yang sudah membangun rumah. Bahwa ia sudah mampu membangun sesuatu untuk dirinya.
Pada saat pemberian gelar, peraga (alat) adat umumnya yang dipakai adalah tajau, batik, garam, tikar dan beliung. Prosesnya, seorang demong kampung yang ditunjuk akan memimpin proses begelar. Orang yang akan digelar memakai pakaian adat, memakai tekuluk ikat kepala. Di kepalanya diletakkan kain batik. Lalu sang demong, akan mengangkat dan memutar-mutar tajau sambil komat-kamit membacakan mantera. Sesekali, tajau di tempelkan ke kepala orang yang akan diberi gelar.
“Yak..yak…yak”, teriak demong pemberi gelar. Orang ramai menjawab: Yuukkkk. “ Ape kombang”, Tanya pemberi demong. “Lokan”, jawab urang ramai. Selanjutnya, diucapkanlah gelar untuk yang diberi gelar.
* *
Menarik di catat, bahwa dalam tradisi masyarakat Dayak Kayong terdapat beberapa tahapan atau urutan gelar mulai dari yang rendah sampai yang tinggi. Gelar untuk masyarakat umum, dikenal misalnya: Macan, Mas Kombang, Mas Jaeng, Pateh, Kenuruhan, Mas Gande, Urang Kaye, Gemale, Petinggi, Cendaga.
Gelar adat awal tersebut, kemudian diikuti gelar lanjutan yang disesuaikan dengan kerajinan, keahlian atau juga kondisi alam atau kondisi fisik seseorang. Misalnya, seseorang bergelar Macan Kilat, ini menunjukkan bahwa orang tersebut cepat tanggap (seperti kilat) dalam melaksanakan tugas atau tanggung jawab. Gelar Orang Kaye Dacing misalnya,menunjukkan bahwa orang tersebut berada pada golongan gelar yang tinggi, termasuk orang mampu (kaye), serta mempunyai sikap yang adil (dacing, timbangan).
Dalam aktivitas sehari-hari, gelar ini menjadi nama panggilan kepada seseorang.
Urutan-urutan gelar yang bisa didapatkan seseorang, selain menunjukkan kondisi yang demokratis. Tetapi juga menuntut adanya keinginan berprestasi. Bisa jadi semacam N-Ach-nya David McLeland itu. Yaitu, seseorang di kampung akan mendapat gelar pada tingkatan berikutnya yang lebih tinggi jika ia memiliki hasrat yang besar untuk meraih setingi-tingginya prestasi dalam hidup.
Seorang yang pertama kali mendapat gelar saat ia menikah. Ia kemudian bisa mendapat gelar ketika ia cukup hidupnya, bisa membangun rumah misalnya. Ia kemudian diberi gelar ketika anak-anaknya misalnya di sekolahkan tinggi menadi sarjana dan bekerja berhasil. Prinsipnya, seseorang akan (tetap) mendapat kesempatan mendapat gelar asal ia berprestasi berdasar prinsip : berumah bosar, bejurong tinggi, belakau dapat padi, bedagang dapat untong.
Tidak hanya keberhasilan fisik. Gelar juga akan diberikan oleh Demong Kampong, dengan persyaratan bahwa sesorang itu honda masok tamak, membantu menulong, hidop memburi mati menemurau (terlibat dalam kegiatan sosial, tolong menolong, ikut dalam kegiatan adat, membantu orang duka dan kematian serta sejenisnya).
* *
Golar atau gelar dalam masyarakat Dayak Kayong tidak hanya diberikan untuk penduduk kampung setempat saja. Tapi, dapat diberikan kepada pihak luar sebagai penghargaan. Mereka dari pihak luar ini, bisa jadi pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau tokoh agama.
Pastor Dremono Harimurti, seorang pastor Katolik dari Jawa yang bertugas di Keuskupan Ketapang, yang banyak terlibat dan peduli dengan masyarakat Dayak dimana ia bertugas,mendapat beberapa gelar adat. Di kampung Tebuar yang masuk dalam wilayah Dayak Kayong, ia diberi gelar “Orang Kaye Payung Desa”, yang bermakna Pejabat agama yang memberi perlindungan kepada orang kampung. Di Kampung Selupuk dalam wilayah Gerunggang, ia mendapat gelar ‘Orang Kaye Laut Bicara’ yang bermakna pejabat gereja yang mempunyai pengetahuan luas dan kemampuan bicara adat yang baik.
Pada kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang, selalu terdapat nilai-nilai luhur yang dapat menyumbang pada kebaikan hidup. Ketika seseorang mendapat golar, maka tanggungjawabnya besar dalam kehidupan sehari-hari. Tingkah lakunya menjadi sorotan dan contoh bagi warga masyarakat lainya. (*)