Budaya

"Soulmate" dan Minyak Klatang

Senin, 28 Agustus 2023, 14:03 WIB
Dibaca 221
"Soulmate" dan Minyak Klatang

Pepih Nugraha

Penulis senior

Pekan lalu saya menjenguk Iwan Suryawan di kediamannya di Rancaekek, Bandung timur. Ia kena musibah, kaki kirinya bengkak. Infeksi akibat luka kena gores standar sepeda motor, lalu luka itu terkena air kotor kolam lele. Iwan teman kuliah saya, yang kerap mengunjungi rumah peninggalan orangtua saya di Ciawi-Tasikmalaya saat lewat, meski kedua orangtua saya telah tiada.

"Waas, Pep," katanya sekadar mengenang masa lalu, bahkan ia pernah berkirim foto rumah orangtua saya yang sampai saat ini tak berpenghuni. Mata saya yang kemudian merembes, ingat rumah itu, ingat almarhum dan almarhumah. Saat saya mendapat ujian dari Allah Januari lalu, Iwan salah satu sahabat yang menjenguk ke Tasikmalaya.

Di kediamannya, saya ngobrol dengannya, ditemani istri yang ikut serta. Saya bawa obat "klatang" Dayak asli, berupa empedu ulat klatang (hidup di batang pohon seperti ulat sebesar lidi) pemberian Pak Marli Kamis saat saya berkunjung ke Binuang, Nunukan, Kalimantan Utara, untuk Iwan oleskan di lukanya. Kucing-kucing kampung tiba-tiba ikut nimbrung, lalu "ngariung" (berkumpul). Itu kucing liar yang biasa dia beri makan, sampai "feel at home". Cukup banyak, salah satunya malah tidur di pangkuan saya tatkala saya asyik ngobrol. "Kucing-kucing ini datang silih berganti, membawa rezeki masing-masing," kata Iwan.

Saat saya melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta, Iwan berkirim foto lewat WA. Seekor kucing mati yang sudah dimasukkan ke dalam kardus. "Tadi dia ikut bersama-sama kita, datang belakangan, tapi dia 'pergi' lebih awal, badannya kejang-kejang," kata Iwan. "Itulah usia, boleh jadi itu akan menimpa kita juga."

Tentang kucing, saya teringat beberapa tahun silam. Ceritanya hampir sama tetapi dengan jalan kematian berbeda. Pernah seekor kucing betina mati di teras rumah saya. Ia kucing liar yang kebetulan lahir di sekitar halaman rumah. Karena anak saya suka kucing, saya ikut memeliharanya dengan memberinya makan. Saya namakan kucing itu “Neige” (dibaca “neis”). Neige berarti “salju” dalam bahasa Perancis, sekadar teringat komposisi gitar klasik “Tombe La Neige” yang berarti turun salju. Neige sempat beranak beberapa kali lalu pergi.

Lama Neige tidak pulang, tetapi tatkala pulang dia tergolek kepayahan. Napasnya tinggal satu dua. Badannya bunting. Pembantu saya di rumah memperkirakan, Neige bakal mati karena bayi-bayinya mati dalam kandungan. Terbukti, Neige mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Ratusan lalat mengerebuti sekitar perut dan kemaluannya. Neige akhirnya memang mati dan pembantu saya menguburkannya di halaman rumah.

Kematian Neige mengingatkan saya pada naluri gajah mati, yang pernah saya baca selintas dalam buku karangan Myra Sidharta. Myra menggambarkan filsuf MAW Brouwer yang ingin pergi ke negeri asalnya, Belanda, hanya untuk meninggal dunia di sana, sebagai naluri gajah mati. Menurut Myra, naluri gajah yang di ambang ajal cenderung mencari tempat di mana dia dilahirkan. Saya teringat Neige, jangan-jangan dia juga punya naluri gajah: mencari tempat kematian di mana dia dilahirkan!

Satu kata kunci dari kematian Neige adalah perihal “soulmate”.

Saya tidak terlalu paham apa padanan kata “soulmate” dalam bahasa Indonesia. “Belahan hati”, “belahan jiwa”, atau “teman hati”. Bagi saya urusan “soulmate” tidak sebatas pada kekasih atau istri semata, lebih dari sekedar itu. Kematian Neige, meski ia seekor binatang, memberi pemahaman saya mengenai makna “soulmate” di sini. Neige boleh saja menghilang sekian lama, tetapi ia mencari “soulmate”-nya tatkala ajal menjemputnya. Bagi saya, “soulmate” Neige bukanlah sejumlah kucing jantan yang pernah menungganginya, atau anak-anaknya yang ia lahirkan setelah itu hidup sendiri-sendiri. Bagi saya, “soulmate” Neige adalah saya, anak saya dan keluarga, dan bahkan mungkin pembantu saya!

Saya teringat pesan John Naisbitt dalam Megatrends, bahwa salah satu kecenderungan manusia adalah berubahnya hasrat dari manusia urban menjadi manusia suburban. Orang penat hidup di kota, dan ketika kepenatan memuncak apalagi menjelang pensiun (baca tua), ada hasrat atau dorongan untuk kembali ke desa, kembali ke alam, ke kampung halaman, ke tempat di mana mereka dilahirkan. Saya tidak tahu, apakah kecenderungan hasrat manusia ini juga merupakan naluri gajah atau naluri Neige. Tetapi bagi saya, manusia cenderung mencari “soulmate” yang lebih luas, “soulmate” yang membesarkannya, yakni alam pedesaan di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Ada dorongan sementara orang (mikrokosmos) untuk back to nature, kembali ke alam. Kembali ke sahabat lama, “soulmate” kita, yaitu alam sekitar kita (makrokosmos).

Pada akhirnya, ketika “soulmate” berujud sesama manusia sudah didapat, “soulmate” berupa alam sudah dan sebentar lagi akan diraih, saya sampai pada kesimpulan bahwa manusia seperti saya dan Iwan akhirnya akan mencari dan menemukan “soulmate” sejati di terminal paling akhir, yaitu Tuhan.

Tetapi kalau bisa meminta-Mu ya, Allah, kami masih ingin bersilaturahmi lebih sering dan lebih lama lagi.

***

NB: 3 hari setelah saya memberikan obat Dayak itu, Iwan mengabarkan lukanya sembuh total, mengering dan bengkaknya kempes. Ini bukan iklan karena obat itu tidak dijual, khusus diberikan kepada saya oleh Pak Marli Kamis karena penghormatan semata.