Budaya

Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak

Selasa, 25 Agustus 2020, 23:00 WIB
Dibaca 426
Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak
Para inisiator, aktor, dan fasilitator Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak. Penting, sebab telah membuahkan 7 Deklarasi Bengkayang.

Kongres Internasional I Kebudayaan Dayak di Bengkayang, Kalimantan Barat yang dihelat pada 2 – 6 Juni 2017 telah berlalu. Namun, gaung dan gegap gempitanya sungguh luar biasa.

Terutama 7 butir deklarasinya, yang dikenal dengan "Deklarasi Bengkayang". Sungguh menjadi tonggak sejarah pedoman arah bagi suku bangsa Dayak di mana pun berada. Sebab, bagai dian, ia bukan disimpan bawah gantang. Melainkan di atas dan menyalakan terang dalam gelap dan gamangnya malam yakni ancaman modernisme dan hedonisme.

Antusiasme pun berdatangan dari berbagai penjuru. Tak kurang dari 400 peserta, lebih dari 40 penarasumber dari disiplin dan ilmu, serta diperkaya floor telah memerkaya, sekaligusmeneguhkan bahwa Dayak hari ini berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan etnis lainnya di muka bumi ini.

Selamat tinggal semua hal yang serba peyoratif, yang menjadi labeling di masa lalu. Kini suku bangsa Dayak, dalam beberapa segi, boleh disebut terdepan. Sekadar menyebut contoh, di bidang pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Dengan konsep ekonomi kerakyatan yang dipelopori Credit Union dan pola antitesis-pembangunan nasional yang digagas Yansen TP, dengan Gerdema-nya membuat wajah baru desa-desa Dayak yang dalam bahasa sementara kita sebut "prakapitalisme di desa-desa Dayak".

Kami membaca (kembali) bagaimana antropolog Clifford Geertz menemukan tori "aliran" untuk menggambarkan pola struktur sosial dan politik desa di daerah etnis Jawa awal zaman kemerdekaan. Antropolog, yang karyanya banyak dikutip ini, tinggal di desa Pare.  (Saya pernah ke sana pula), Jawa Timur selama dua tahun (1952-1954).

Dari hasil amatannya, Geertz lalu menulis sebuah karya  berjudul “The Javanese Village" yang diterbitkan dalam sebuah buku Local, Ethnic, and National Loyalties in Village Indonesia. Disimpulkan: masyakarat Jawa sebenarnya sudah lama hilang kemampuan untuk menyusun KEHIDUPAN BERSAMA.

Bagaimana dengan Dayak dan The Dayak Village?

Tidak perlu peneliti dari luar. Kongres Internasional yang mempertemukan 42 pakar dan praktisi, diikuti 400 partisipan, akan merumuskan bagaimana struktur Kehidupan Bersama Manusia Dayak. Bagaimamana etnis dengan polulasi sekitar 7 juta itu tetap survive, bahkan semakin diperhitungkan di berbagai segi kehidupan.

Hal itu dapat dilihat dari saripati tiap-tiap paper yang mengerucut ke satu dan sama terminologi yakni “keBUDAYAan” yang menurut Kroeber dan Kluckhon (1952) mencakup:

1)      bahasa,

2)      sistem pengetahuan,

3)      organisasi sosial,

4)      sistem peralatan hidup dan teknologi,

5)      sistem matapencaharian hidup dan ekonomi,

6)      agama, dan

7)      kesenian.

Oleh sebab itu, Kongres Internasional I ini disebut “Kongres Kebudayaan”, karena selain mengupas tuntas semua aspek kebudayaan, juga termaktub di dalamnya agenda aksi, bukan sekadar menyemaikan gagasan seperti lazimnya seminar.

Selamat tinggal semua hal yang serba peyoratif, yang menjadi labeling di masa lalu. Kini suku bangsa Dayak, dalam beberapa segi, boleh disebut terdepan

Para pakar dan praktisi datang dari berbagai penjuru dunia dan mewakili berbagai provinsi, negara, dan subsuku Dayak. Dan Bengkayang sebagai tuan rumah mendapat kehormatan yang luar biasa dan dapat diibaratkan dengan Damang Batu yang menjadi tuan rumah pertemuan besar sekaligus bersejarah di Tumbang Anoi pada tahun 1894.

Dalam pada itu, pada akhir Kongres, R. Masri Sasreb Putra, M.A, sebagai ketua Steering Commitee, memibacakan butir-butir Deklarasi yang disarikan Tim Perumus dari pancingan paper di depan podium dan diperkaya peserta yang menanggapi dari floor sehingga menjadi kesepakatan bersama yang mengikat secara emosional dan adat budaya. Adapun butir Deklarasi yang dikenal sebagai “Deklarasi Bengkayang” menelurkan 7 butir komitmen:

Kami suku bangsa Dayak dengan ini mendeklarasikan:

1.      Menjunjung tinggi kebudayaan Dayak.

2.      Mengakui satu Dayak yang tidak dapat dipisahkan oleh batas-batas.

3.      Menghadirkan Dayak dalam kehidupan sehari-hari.

4.      Mengakui bahwa setiap orang yang menikah dengan Dayak, keturunannya adalah Dayak.

5.      Memanfaatkan bumi, air, tanah, dan udara secara arif dan bijaksana.

6.      Mengikuti dan tanggap pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) untuk kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia.

7.      Berbahasa Dayak.

Bengkayang, 6 Juni 2017

Itulah ke-7 butir Deklarasi Bengkayang yang merupakan saripati semua paper dan pemikiran Kongres. Namun, kesemuanya dapat disimpulkan dalam dua kata: etnisitas dan nasionalime. Bagaimana kebudayaan Dayak, dahulu, kini, dan masa depan; dibahas tuntas dalam buku ini.

Beberapa paper merupakan sari dari power point yang dipesentasikan, sehingga yang disajikan hanya intinya saja. Kami memandang, hal ini tidak masalah. Bukankah sebuah buku, yang penting: menginspirasi?

Oleh karena itu, silakan pembaca meneruskan gagasan-inti tersebut, dalam bahasa sendiri, layaknya seorang pembelajar-dewasa yang dianggap mampu belajar-mandiri. Sebaliknya, kami memuat utuh paper yang panjang untuk dinikmati sampai puas dan tuntas.

Kongres Internasional I ini disebut “Kongres Kebudayaan”, karena selain mengupas tuntas semua aspek kebudayaan, juga termaktub di dalamnya agenda aksi. Bukan sekadar menyemaikan gagasan seperti lazimnya seminar.

Tentu saja, ini sebuah langkah kecil anak manusia, namun langkah raksasa bagi peradaban umat manusia. Dengan populasi sekitar 7 juta, terbagi ke dalam 447 subsuku, Dayak sesunguhnya sejak zaman baheula telah menerapkan Bhineka Tunggal Ika.

Kita akan melihat ke depan, bagaimana suku bangsa yang sedang gencar membangun dalam berbagai dimensi kebudayaan ini tetap menjaga filosofi tersebut.

Tags : budaya