Mengapa Membenci Waria?
Coba sesekali tanya ke mereka, ke waria, wadam, banci, bencong, transpuan atau apapun istilahnya; apakah mereka menghendaki diri mereka seperti itu. Boleh jadi jawabannya: tidak!
Jadi, mereka tidak ingin seperti mereka. Mereka tentu ingin normal seperti kita-kita. Tetapi apa mau dikata, Yang Maha Berkehendak berkemauan lain, mau-Nya... mereka ya seperti mereka itu.
Waria, sependek pengetahuan saya, sudah ada di kampung di mana saya dibesarkan, tatkala saya masih kanak-kanak.
Jika waria di kota bisa mendapat pekerjaan di salon atau penghibur, di kampung kami yang belum mengenal salon saat itu (Satu-satunya Ade Salon) mereka cuma jadi pengamen, mengobral nanyiannya yang nge-bass dengan diiringi gitar berdawai karet kolor tiga banjar plus kotak sabun untuk menampung getaran yang dihasilkan karet itu.
Dengan alat musik bikinan sendiri itu mereka keliling kampung, mengukur jalanan, masuk ke gang-gang, mengetuk pintu-pintu rumah atau kerumunan, berharap ada orang yang melempar receh sehabis suara diberikan.
Kaum normal, yang terekam oleh ingatan kanak-kanak saya saat itu, biasa mencemooh mereka, tidak sedikit yang menggodanya secara kurang ajar, kurang manusiawi. Masih untung merundung setelah uang diberikan. Kadang, perundungan yang diterima waria tanpa imbalan atas suara yang telah mereka berikan.
Ingatan saya merekam, ada seorang waria di kampung kami yang mencegat angkutan pedesaan jurusan Ciawi-Pagerageung. Ia berdiri di mulut jalan Panulisan samping toko Mang Odo, tak satu pun mobil angkutan pedesaan yang berhenti.
Barangkali sudah tiga atau empat mobil lewat begitu saja, padahal waria itu sama-sama calon penumpang juga, pasti bayar juga. Kernet di belakang mobil bukannya memberi aba-aba berhenti kepada sopir di depan, malah ikut-ikutan mencemooh dengan kata-kata tidak senonoh. Saya berpikir saat itu, "Apa salah dia?"
Tetapi pada akhirnya rasa iba saya berakhir ketika ada mobil Elf jurusan Tasikmalaya-Bandung yang berhenti justru saat waria itu tidak mencegatnya. Saya lihat dia seperti tidak percaya. Akhirnya dia masuk mobil dan menghilang ditelan jalan yang menurun tajam.
Waktu berlalu demikian cepat, secepat angin yang berembus. Presiden pun sudah berganti beberapa kali, nasib waria ya begitu-begitu saja. Sampai kemudian saya membaca seseorang bernama Ferdian Paleka yang mengibuli (prank) para kaum waria dengan memberikan "sembako" berisi sampah dan batu-bata di masa pandemi ini, di mana orang butuh sesuatu untuk dimakan.
Tindakan Paleka demi menangguk dollar dari Youtube itu bukan sekadar penghinaan terhadap kaum waria, tetapi ini sudah pelecehan terhadap kemanusiaan.
***