Wisata

Kopi Malinau yang Kumau

Rabu, 11 Agustus 2021, 20:39 WIB
Dibaca 955
Kopi Malinau yang Kumau
Cafe Lupis di Tanjung Rumbia, Kaltara (Foto: dok. Pribadi)

“Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya karena dihadapan kopi kita semua sama.”

Selarik puisi tentang kopi yang ditulis Vergie Crush ini begitu mendamba tentang kenikmatan minuman kopi. Saya yakin, Vergie yang begitu aktif menuturkan “kedasyatan” minuman kopi dalam bait-bait pusinya yang lain pasti akan menuangkan puisinya yang baru andai sempat mencicipi kopi asli dari Malinau.

Perkenalan saya dengan racikan minuman kopi Malinau terjadi secara tidak sengaja. Bukan di Malinau tetapi di Tarakan di media 2019 silam. Kali pertama ke Tarakan sekitar tahun 1999 saat ikut drooping pasukan Linud Kostrad di perbatasan Serawak dengan helikopter. Waktu itu saya masih berprofesi sebagai jurnalis untuk sebuah stasiun televisi swasta. Di muhibah ke dua, di sela-sela tugas saya melakukan survei popularitas dan elektabilitas semua kandidat kepala daerah di Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung dan Provinsi Kalimantan Utara yang akan mengadakan pemilihan kepala daerah secara serentak pada tanggal 9 Desember 2020, proses jajak pendapat harus dituntaskan segera untuk rancangan rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh salah satu partai politik.

Kepenatan pekerjaan karena harus memastikan dan memverifikasi responden dengan tingkat kepercayaan yang akurat, konsentarasi pikiran harus tetap fokus dengan analisa data kuantitatif dan kualitatif di lapangan menjadikan kopi sebagai “pendamping” dalam setiap kesempatan bekerja. Minum kopi seakan menjadi dopping untuk menjaga agar mata tidak terkantuk.

Mengelilingi wilayah Kalimantan Utara yang sangat luas, lengkap dengan keindahan bentang alamnya serta heterogenitas penduduknya, menjadikan survei di seluruh pelosok Kalimantan Utara seperti perjalanan yang menantang nyali. Wilayah Krayan yang terpelosok dengan kesulitan akses transportasi, daerah Tana Tidung yang lebih didominasi sungai dan perairan serta kepadatan rapat penduduk di Tarakan menjadikan survei di Kalimantan Utara menjadi sangat menguras energi dan memiliki tingkat kesulitan tersendiri ketimbang suvei di wilayah Sumatera atau di Jawa.

Salah satu faktor keberhasilan menggelar survei di Kalimantan Utara tepat waktu, salah satunya harus disematkan kepada kehadiran kopi yang memiliki cita rasa yang khas, yang jarang saya temui di daerah lain. Kopi itu adalah kopi asli Malinau.

Kopi Asmara atau Asli Malinau Kalimantan Utara

Tebaran kedai kopi di Tarakan, mulai kelas angkringan pinggir jalan yang menjual kopi sachetan, dari yang kelas legendaris seperti Warkop Indra Aseng atau caffee milenial seperti D’Boss, Galileo, Galaxy, The Uncle Coffee & Kitchen, Nuansa Rooftop Cafe hingga Up Hill Caffee yang berlokasi di Bukit Cinta, sebetulnya adalah etalase-etalase promosi kopi lokal. Sayangnya, kehadiran kopi lokal masih kurang mendapat sentuhan promosi dari semua kalangan, utamanya dari pemerintah.

Kopi lokal Malinau sendiri baru terangkat ke permukaan setelah mendapat perhatian dari Yansen TP, bupati Malinau ketika itu. Dari pengalaman panjang dan terentang lama sebagai wartawan dulu serta serta sebagai akademisi dan konsultan yang kerap bertandang ke berbagai pelosok negeri, kopi lokal baru mencuat ke tataran nasional jika ada kepedulian penuh dari kepala daerahnya.

Kopi Kemiren yang merupakan kopi lokal asal Banyuwangi, Jawa Timur berhasil menjadi trending usai dikemas dengan maksimal oleh Abdullah Azwar Anas ketika menjadi bupati Banyuwangi. Agar dikenal meluas, Anas berkali-kali berhasil meyakinkan pejabat pusat untuk datang dan merasakan sendiri kenikmatan kopi Kemiren. Malah Menteri BUMN Dahlan Iskan ketika itu membuka gelaran Fetival Kopi Seribu di Kawasan Kemiren, Banyuwangi. Setiap kopi yang tersaji di semua warung kopi di daerah Kemiren, dijual dengan harga Rp1.000,- untuk meramaikan event tersebut. Acara tersebut sukses dan menarik minat banyak media untuk meliputnya. Pak Menteri puas dan menjadi daya tarik kementerian-kementerian lain untuk menebarkan program bantuan.

Pemasaran kopi ala Banyuwangi ini tidak saja mengangkat derajat kopi lokal tetapi di balik itu adalah memberi apresiasi kepada para penanam kopi akan jaminan harga yang baik dan pemasaran yang ajeg. Jamak dalam dunia perkopian, terkadang harga kopi yang tinggi ternyata tidak linear dengan peningkatan pendapatan para penanam kopi.

Kekuatan kopi Malinau adalah pada citarasanya yang unik dan khas. Kopinya hitam pekat dan kental. Tidak ada aroma khas seperti jenis kopi Gayo dari Aceh atau Wamena, Papua. Kopinya sangat gurih dan rasanya tajam dengan "sengatan” manis di setiap teguknya. Belum lagi jika ditautkan dengan kearifan lokal dari Suku Dayak Kenyah ketika mensajikan kopi kepada para tetamu yang datang ke rumahnya yakni tradisi Kepunan. Tradisi ini mensyaratkan tetamu untuk tidak boleh menolak sajian kopi yang dihidangkan tuan rumah. Sebuah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai filosofis.

Di balik kedigjayaan cita rasa kopi lokal, ada persoalan klasik yang ditemui di banyak daerah. Lemahnya promosi dan miskinnya kreatifitas dari para pemangku kepentingan.

Kalau pun promosi digarap, tetapi sifatnya parsial dan temporer. Padahal kisah sukses kopi lokal Banyuwangi bisa terjadi karena terjadinya kesinambungan program promosi. Perhatian pemerintah pun hanya acap bersifat tahunan dan seremonial belaka. Tumbuhnya ekonomi kreatif di kalangan muda di bidang perkopian, sebaiknya ditangkap sebagai peluang untuk membenahi struktur perkopian lokal secara utuh.

Membenahi di jalur hulu seperti cara penanaman, memanen dan memproses kopi tidak terlepas dengan mata rantai di hilir berupa sajian kopi di kedai-kedai dan penjualan kopi di beragam outlet penjualan. Penjualan secara offline seperti di kedai, di toko, koperasi bahkan di mall harus juga dibarengi dengan penjualan online yang tepat.

Hampir sama dengan fenomena munculnya kedai-kedai kopi di Tarakan, di Tanjung Selor pun mengalami hal yang sama. Mulai dari yang termahal untuk kelas Urban Caffee, Roadhouse Coffee & Eatery, Leppak Komai, Titik Temu hinga yang legendaris seperti ngopi di Warung Kopi Ria harusnya dijadikan entry point bagi pengembangan kopi lokal. Jika pasar sudah terbentuk, perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah juga mantap, maka pengembangan kopi Malinau akan setaraf dengan kopi lokal yang telah sukses di pasaran.

Kalimantan Barat yang tidak memiliki kopi lokal unggulan, justru sukses dalam meracik kopi dari daerah-daerah lain dan menjadi trade mark dan daya tarik pariwisata tersendiri. Kopi Aseng dan Asiang di Pontianak, kopi Pinyuh di Mempawah, kopi Sambas, kopi Singkawang kini menjadi kebanggaan di provinsi tersebut.

Alangkah lengkap sudah karunia yang dimiliki Kalimantan Utara. Kopi lokalnya enak, bentang alamnya pun luar biasa indahnya.

Andai berkunjung ke Tanjung Selor, sempatkan ke Warung Kopi Tanjung Rumbia Mart untuk menikmati kopi Malinau sembari menikmati ademnya anak sungai Kayan. Ternyata ngopi menyadarkan kita : walau kehidupan saat ini terasa pahit di masa pandemi seperti rasa kopi tanpa gula, tetapi percayalah keadaan ini akan membaik suatu saat nanti. Sama seperti ketika kita memilih kopi yang tersaji dengan campuran susu.

Selamat ngopi untuk menjaga kewarasan.

Ari Junaedi adalah doktor ilmu komunikasi, akademisi & konsultan.

***