Sosok

Bapak Satelit dan Misteri Habibie

Jumat, 6 Agustus 2021, 18:25 WIB
Dibaca 622
Bapak Satelit dan Misteri Habibie
Iskandar Alisjahbana

Ada satu episode kehidupan yang sering saya dengar dari cerita almarhum BJ Habibie, mantan menristek dan presiden Indonesia ketiga, yang ternyata belum saya dengar sepenuhnya. Kisah itu manakala Pak Habibie diminta pulang oleh Pak Harto dan diberi amanah untuk memimpin kementerian riset dan teknologi.

Waktu itu, Pak Habibie menukas dan mungkin agak berkeberatan. Saya hanya tahu membuat pesawat terbang, Pak, ujar Habibie. Tapi Pak Harto berkeras, bahwa Pak Habibie adalah pilihan terbaik, dan berpesan supaya Pak Habibie membangun industri pesawat terbang dengan sebaik-baiknya.

Yang tidak saya ketahui sebelumnya, bahwa Pak Habibie waktu itu, sempat mengajukan nama lain yang dianggap lebih tepat dan lebih layak untuk diajukan sebagai menristek. Nama itu dianggap Habibie, lebih cerdas, lebih punya wawasan luas, dan mampu membangun masa depan industri teknologi Indonesia. Namun tetap, nama itu ditolak oleh Pak Harto, karena di tangannya ia telah memegang dan membaca semua dokumen mengenai sepak terjang Habibie terutama saat pendidikan dan bekerja di Jerman.

Habibie menduga, mungkin Pak Harto belum begitu mengenal atau tidak mempunyai dokumen mengenai orang yang ia ajukan, sehingga tidak memilih orang tersebut. Tapi mungkin bukan Pak Harto tidak tahu, tapi situasi dan kondisi politik waktu itu yang mungkin tidak memungkinkan.

Bagaimana mungkin Pak Harto tidak mengenalnya? Ia adalah tokoh di balik peluncuran satelit Palapa, sampai-sampai dijuluki sebagai Bapak Satelit Indonesia? Satelit yang berhasil "menyatukan" telekomunikasi di seluruh Indonesia, sehingga semua bisa terkoneksi dengan televisi, telepon, dari Sabang sampai Merauke, suatu hal yang mungkin tidak terpikirkan saat itu, karena teknologinya masih sulit dan mahal. Sampai akhir tahun 80-an, baru tiga negara yang menguasai dan berhasil meluncurkan satelit telekomunikasi ke luar angkasa, salah satunya adalah Indonesia. Bisa dibayangkan, betapa advancednya penguasaan teknologi Indonesia saat itu, dan visi besar untuk menyatukan dan memajukan seluruh pelosok Indonesia dengan pendekatan teknologi.

Namun semua itu seakan jadi tidak berarti manakala berhadapan dengan politik dan kekuasaan orde baru. Gelombang protes mahasiswa di Indonesia, termasuk ITB, yang menolak kepemimpinan Suharto pada tahun 1978 menyeretnya untuk turun menjadi rektor ITB waktu itu, karena dinilai terlalu dekat dengan mahasiswa dan tidak bisa mengendalikan mahasiswa. Setelahnya, kampus diduduki oleh tentara dan diberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus yang berupaya untuk meredam kebebasan kampus untuk berekspresi dan berpendapat, terutama pada mahasiswanya. Semenjak itu, kehidupan kampus dirasakan berbeda, di tengah represi orde baru selama kurang lebih dua dasawarsa selanjutnya.

Meskipun demikian, Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana, nama rektor ITB yang diberhentikan itu, tidak kemudian berhenti berkarya. Buah karyanya beragam, mulai bidang telekomunikasi, bioteknologi, elektronika, pangan, dan sebagainya, menghiasi kancah pemanfaatan teknologi Indonesia.

Dan setelah dua puluh tahun berikutnya, pada tahun 1999, Pak Habibie, orang yang mengaguminya, mengundangnya ke Istana Negara untuk menerima Bintang Mahaputra Utama untuk jasa-jasanya memajukan teknologi di Indonesia, suatu yang mungkin tidak akan diberikan di masa rezim Suharto.

Berbagai kilasan kisah ketauladanan, keteguhan, visi, nasionalisme, dan kerja keras dari putra kedua Sutan Takdir Alisjahbana, seorang pujangga kenamaan Indonesia, ini tercakup dalam buku "Iskandar Alisjahbana - Teknopreneur Indonesia". Terima kasih kepada STEI ITB yang telah mengirimkan buku yang sangat berharga ini. Semoga kita bisa meneruskan cita-cita luhur, semangat, serta technopreneurship Prof. Iskandar ini dalam berbagai bidang yang kita geluti saat ini, demi masa depan dan kejayaan Indonesia.

#inspirasiharian