Sosok

Norhayati Andris - Politisi Perempuan dari Kalimantan Utara

Kamis, 14 Januari 2021, 15:04 WIB
Dibaca 852
Norhayati Andris - Politisi Perempuan dari Kalimantan Utara
Cover buku Norhayati Andris

Judul: Norhayati Andris – Merah Putih Sudah Saya Kibarkan di Perbatasan

Penulis: R. Masri Sareb Putra

Tahun Terbit: 2020

Penerbit: Lembaga Literasi Dayak                                                                        

Tebal: xvi + 234

ISBN: 978-623-7069-66-9

Sebuah biografi yang baik adalah biografi yang menginspirasi. Pembacanya mendapat inspirasi dari perjalanan hidup sang tokoh atau terhadap pandangan dan apa-apa yang telah dibuatnya. Buku “Norhayati Andris – Merah Putih Sudah Saya Kibarkan di Perbatasan” karya Masri Sareb Putra ini memberi inspirasi kepada saya bahwa seorang yang mau tekun belajar akan mendapatkan apa yang dikejarnya. Buku ini juga memberikan pengalaman bahwa kerja keras dan keteguhan hati adalah modal untuk mencapai sukses.

Norhayati Andris adalah anak seorang guru yang bertugas di pedalaman Kalimantan Utara. Perempuan yang lahir di Tanjungselor tanggal 27 September 1973, saat sang ayah menjalani tugas belajar Kursus Pendidikan Guru ini hidup bersama keluarganya di pedalaman saat kecil. Norhayati terbiasa hidup berladang. Ia dan saudara-saudaranya terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat di Long Peso dan Long Telenjau. Norhayati Andris mengalami betapa susahnya hidup di pedalaman. Ia pernah menangis karena harus membawa beban berat dari ladang ke tepi sungai sebagai konsekuensi seorang anak kampung (hal. 8).

Selain dari kehidupan di pedalaman, Norhayati kecil juga dihadapkan pada situasi sosial akibat dari perseteruan Indonesia-Malaysia yang masih sangat membekas di masyarakat. “Semuanya masih membekas hingga kini. Dampaknya sungguh terasa hingga sel-sel terkecil kehidupan masyarakat setempat,” kata Norhayati (hal. 60).

Baru setelah bersekolah SMP ia pindah ke Tanjungselor supaya mendapatkan Pendidikan yang baik. Anak keempat dari tujuh bersaudara ini terpaksa terpisah dari kedua orangtuanya untuk menimba ilmu di SMP dan SMA di Tanjungselor. Kehidupan jauh dari orangtua tidak membuat Norhayati menjadi tak terkendali, tetapi malah membuatnya menjadi kuat dan bertanggung jawab.

Ada kisah menarik tentang kehidupan perempuan yang akrab dipanggil “Ati” ini saat bersekolah di Tanjungselor. Anderis Usat, sang ayah membangun rumah di Tanjungselor untuk anak-anaknya yang bersekolah di kota yang saat itu masih sepi tersebut. Sang ayah yang hanya seorang guru tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai pembangunan rumah tersebut. Karena ia dipercaya, ia mendapatkan utang berupa papan kayu dari seorang pedagang kayu etnis Tionghoa. Anderis Usat mengangsurnya saat ia datang ke Tanjungselor. Bukan hanya itu, kehidupan sehari-hari Norhayati dan saudaranya yang berada di Tanjungselor didukung oleh toko milik etnis Tionghoa. Segala kebutuhan mereka disediakan oleh Toke Akun. Nanti saat sang ayah datang, baru biaya hidup tersebut ditagihkan (hal. 37).

Selain dukungan dari etnis Tionghoa, Norhayati dan saudaranya juga mendapat dukungan dari tukang sayur. Mereka bisa mengambil sayur apa saja dari si tukang sayur yang datang setiap pagi. Sebagai imbalannya si tukang sayur bisa memanen pisang di halaman rumah Anderis Usat. Kisah ini sangat menarik. Sebab menunjukkan bagaimana kebhinekaan diimplementasikan dalam kehidupan praktis sehari-hari. Norhayati hidup dalam suasana yang demikian membuatnya meyakini akan betapa bermanfaatnya kebhinekaan. Keberagaman bukan sebuah masalah yang harus dihindari, tetapi sebuah berkah yang harus disyukuri.

Hubungan Norhayati dengan etnis Tionghoa tidak berhenti sampai pada saat ia bersekolah. Setamat SMA, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda Tionghoa asal Sumatra Utara. Ia menikah dengan manager kayu tempat ia bekerja. Pemuda yang beruntung tersebut bernama Sunarto. Pernikahan ini membuat Norhayati dikaruniai seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Sang suami adalah seorang yang sangat mendukung karier Norhayati sebagai seorang politisi.

Persinggungan Norhayati dengan politik diawali pada tahun 2004. Saat itu, untuk memenuhi kuota calon perempuan dalam pemilihan anggota legislatif, Norhayati ikut kontestasi di Kabupaten Tana Tidung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski awalnya hanya sebagai pelengkap, namun Norhayati ternyata dicintai rakyat Tana Tidung. Ia terpilih menjadi anggota legislatif. Bahkan pada periode pemilihan berikutnya (tahun 2009) ia terpilih lagi.

Pada tahun 2014 ia naik ke tingkat Provinsi. Melalui partai yang sama Norhayati mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Provinsi Kalimantan Utara. Ia terpilih dan mendapat jabatan sebagai Ketua Komisi. Pada pemilihan 2019, sekali lagi ia terpilih dan mendapat mandat sebagai Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Utara. Kerja kerasnya sebagai anggota partai dan anggota dewan membuatnya dipercaya mengemban jabatan penting tersebut.

Di PDIP, jabatan Norhayati juga terus meroket. Dari anggota biasa, menjadi bendahara DPD dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris DPD PDIP Kalimantan Utara. Para birokrat dan politisi memberikan kesaksian bagaimana Norhayati adalah sosok yang hebat. Laksamana Pertama TNI Haris Bima Bayusena, sang Komandan Lantamal XIII Tarakan menyatakan bahwa Norhayati adalah seorang yang penuh optimisme, humble dan cerdas. Seorang yang bekerja keras untuk membuat mimpinya terwujud (hal 196).  Andi Hamsyah, koleganya di DPRD Provinsi mengatakan bahwa Norhayati adalah seorang yang pandai membangun komunikasi, sosok pemimpin yang mendengar dan tidak arogan. Andi Akbar M Djuarzah, kolega lainnya di DPRD menyatakan bahwa Norhayati adalah seorang yang ulet dan disiplin. Bahkan Wakil Gubernur terpilih Yansen TP menganggap “adiknya” ini adalah inspirasinya (hal. 195).

Meski kariernya meroket sebagai politisi, Norhayati tidak mengabaikan peran sebagai istri dan sebagai ibu. Pengakuan sang suami (hal. 191) menunjukkan betapa mesranya mereka. Kompak, share, saling support satu sama lain dan komunikasi adalah kunci. Mereka berdua mendiskusikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan berdua. Anak-anaknya pun menyatakan bahwa Norhayati selalu menyempatkan melakukan video call saat bertugas jauh dari mereka (hal. 193). Kesuksesan dalam karier tidak merusak peran beliau sebagai ibu rumah tangga.

Buku ini banyak membahas kehidupan Norhayati sebagai pribadi. Namun belum banyak membahas sisi lain kehidupan Norhayati. Yaitu kehidupan Norhayati sebagai seorang anggota dewan. Selama saya tinggal di Tanjungselor (dari tahun 2017-2020) saya mendapati bahwa Provinsi Kalimantan Utara adalah sebuah provinsi yang berkembang sangat pesat. Untuk menjadi provinsi, Kaltara harus memiliki ibu kota yang representatif. Itulah sebabnya saat ini sedang dibangun sebuah Kota Mandiri yang bisa memberikan support kepada berjalannya pemerintahan provinsi. Kaltara juga berada di dekat calon Ibu kota baru Indonesia. Ini tentu sebuah peluang bagi masyarakat Kaltara. Tidak hanya itu, pembangunan hydropower di Peso dan di Malinau serta pembangunan kawasan Pelabuhan di Tanah Kuning tentu memerlukan pemikiran-pemikiran dari eksekutif dan legislatif. Apa peran dan pandangan Norhayati kurang dielaborasi dalam buku ini.

Demikian juga dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Provinsi Kaltara di bidang pelayanan dasar (Pendidikan dan Kesehatan). Sebagai wilayah yang infrastrukturnya belum berkembang, Kaltara menghadapi masalah pemerataan mutu Pendidikan dan pelayanan Kesehatan. Persoalan narkoba juga cukup meresahkan. Saya melihat upaya yang luar biasa sudah dilakukan di Kaltara. Namun buku ini belum menggambarkan bagaimana kiprah sosok perempuan hebat ini dalam menangani peluang dan tantangan masyarakat Provinsi Kalimantan Utara. (566)

Saya berharap akan ada jilid 2 biografi Norhayati yang membahas lebih mendalam sisi lain dari hidupnya.