Sosok

Dr. Afri ST Padan dan Sawah Tradisional Lundayeh

Minggu, 4 Juli 2021, 23:05 WIB
Dibaca 1.529
Dr. Afri  ST Padan dan Sawah Tradisional Lundayeh
Dr. Afri, buku, dan sukacitanya hari ini.

"Jangan dulu siapa pun tahu, sebelum terbit, ya bro! Saya ingin bikin kejutan," demikian pesannya pada saya. Dan saya menyimpan rahasia itu dengan saksama.

Hingga hari ini, ia sendiri yang mengumumkan.

"Syukuran sederhana. Atas penerbitan buku saya sore tadi. Minggu, 04 Juli 2021. Bersama sebagian narasumber yang pernah saya wawancarai dulu, waktu penelitian. Mereka akademisi, penyuluh, Kades, dan tokoh masyarakat."

Saya menerima pesan via WA. Disertai dua gambar sukacita itu.

Proses penerbitan buku ini memakan waktu lebih setahun sedikit. Cukup pelik dan berliku. Kesan saya, Afri ST Padan termasuk "perfeksionis".

Tak usah saya, sebagai Penerbit dan Editor, menjelaskan detailnya. Namun, pada akhirnya saya katakan, "Itulah laliofobia. Yakni 'ketakutan' seseorang jika bukunya terbit. Membayangkan di luar sana, banyak orang mencela dan mengritiknya."

"Ya kah bro?" selanya.

"Ya!" jawab saya. "Ini bukan Alkitab. Sesempurnanya manusia, tetap ada kekurangannya. Nah, kekurangan itu, kita sempurnakan pada cetakan yang berikutnya."

Afri --begitu saya menyapanya- pun mengalah. Jadilah bukunya tiba seminggu lalu. Kami kirim ke Malinau, tempat tinggalnya. Via Lion Parsel.

Bukunya 149 halaman, kertas HVS, dan gambar full color. Membuat buku, yang diolah dari disertasinya ini, terasa smart. Ukuran buku: 15 x 23 cm. International Series Book Number (ISBN) 978-623-7069-38-6. Diterbitkan Lembaga Litrasi Dayak (LLD).

Di bawah judul Sawah sebagai Kearifan Lokal Manusia Dayak di Desa Pulau Sapi, Kaltara Afri menjelaskan sawah bukan saja sebagai kearifan lokal. Melainkan juga banyak nilai di dalamnya, salah satunya: baya (febaya) atau feruyung dalam bahasa Lundayeh yang artinya: gotong royong, saling bantu.

Benar-benar daging semua!

Tak syak. Dengan itu, saya menangkap watak seorang Afri. Pake peribahasa Jawa saja, lebih pas menggambarkannya. "Sepi ing pamrih, rame ing gawe". Diam-diam umbi berisi. Tak banyak cakap, banyak bekerja.

Berikut intisarinya:

Pola bercocok tanam padi sawah di Desa Pulau Sapi mencerminkan kekuatan lokal yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity) dalam melestarikan alam dan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Hal itu sebagai ekspresi aspek ekonomis dari usaha pertanian. Secara kearifan lokal, desa tersebut mampu menyediakan bahan pangan yang memadai secara umum.

Pada umumnya, orang mengetahui bahwa ladang adalah cara bercocok tanam padi orang Dayak. Menggunakan hutan yang dikelola secara berpindah-pindah berdasarkan siklus waktu tahunan. Hal ini berlaku pula di seantero Kalimantan. Di mana manusia Dayak tinggal, hidup, dan berada sejak zaman baheula.

Akan tetapi, hanya sedikit yang mafhum bahwa selain berladang, sawah juga merupakan pola kultivasi menanam padi yang dipraktikkan orang Dayak. Terutama di dataran tinggi Borneo, khususnya Pulau Sapi, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Dari manakah keterampilan olah sawah itu didapat? Sudah pasti, dari kebiasaan nenek moyang yang diturunkan dari generasi ke generasi menyesuaikan kondisi lahan yang mau mereka tempati.

Manusia Dayak sudah bersawah sejak zaman semula-jadi dengan menggunakan kerbau sebagai sarana bercocok tanam sebagai suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli dari kearifan lokal (indigenous or local knowledge). Praktik ini masih ada di Krayan, Kalimantan Utara.

Padi adan yang dikenal sebagai produksi lokal Krayan sampai ke Malaysia. Dibawa dan ditanam oleh petani di Desa Pulau Sapi. Akan tetapi, terdapat perbedaan rasa bagi orang yang terbiasa mengkonsumsinya. Padi adan dari Krayan lebih pulen.

Dengan itu, saya menangkap watak seorang Afri. Pake peribahasa Jawa saja, lebih pas menggambarkannya. "Sepi ing pamrih, rame ing gawe". Diam-diam umbi berisi. Tak banyak cakap, banyak bekerja.

Dengan aromanya yang khas walaupun jenis varietas lokal unggul ini sama-sama ditanam di sawah. Oleh sebab itu, menarik untuk menulis teknik kultivasi padi oleh manusia Dayak di Pulau Sapi. Agar orang mafhum bahwa bercocok tanam sawah ini juga dikenal masyarakat Dayak sejak zaman baheula.

Praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah di Kabupaten Malinau masih dilestarikan melalui penggunaan sarana dan prasarana pertanian. Musim tanam menjadi warisan dari generasi ke generasi.

Penggunaan bibit padi unggul lokal yang mampu memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga secara mandiri. Dalam perkembangannya, ada petani yang mulai mengikuti perkembangan pertanian modern.Terutama mekanisasi pertanian, sarana produksi, dan teknologi penanamannya. Hasilnya, terjadi kombinasi yang baik antara penerapan kearifan lokal diikuti dengan teknologi pertanian modern dalam bercocok tanam sesuai peruntukannya.

Tahapan budidaya padi sawah secara tradisional, dapat dikolaborasikan dengan pertanian modern melalui teknik system of rice intensification (SRI) sebagai salah satu metode pertanian yang mempertahankan kelestarian lingkungannya. SRI memiliki keunggulan.

Dari segi produksi, dengan mengefisienkan penggunaan bibit tanaman, mengutamakan penggunaan pupuk organik, dan pestisida yang bersumber dari bahan nabati. Tentunya, meningkatkan produksi dan produktivitas pangan dengan tetap menjaga ekosistem yang ada dengan mereduksi nilai-nilai praktik kearifan lokal yang tidak sesuai perkembangan zaman. Caranya dengan mengekstraknya menjadi formula pengembangan pertanian organik modern. Hal itu agar mudah diintroduksi, diadopsi, dilestarikan, dan bermanfaat.

Adanya faktor pendukung internal berupa kemauan masyarakat petani untuk tetap melestarikan cara bercocok tanam. Mereka memilih benih lokal unggul yang dianggap lebih tangguh menghadapi tantangan iklim, hama, dan penyakit. Faktor pendukung eksternal dari pemerintah daerah, melalui pendampingan petugas penyuluh pertanian (PPL) dan penerbitan kalender musim tanam sesuai kondisi alam dan iklim lokal. Hal tersebut menjadikan kearifan lokal petani masih dipraktikkan pada musim tanam padi lokal unggul.

Adapun faktor penghambat internalnya adalah masyarakat mulai meninggalkan budaya gotong royong (felibal) yang merupakan bentuk kerja sama dan tanggungjawab berkelompok yang menjadi jaringan sosial sebagai modal sosial yang dinilai tidak efisien.

Dengan penggunaan alat mesin pertanian, kebiasaan gotong royong dalam tahapan budidaya dan pascapanen mulai digantikan dengan sistem upah. Dibayar dengan uang dan mengarah kepada sistem kapitalis. Faktor eksternalnya adalah belum adanya kebijakan standarisasi upah kerja di bidang pertanian. Selain itu, kurangnya kuantitas dan kualitas PPL karena minimnya dukungan anggaran daerah.

Praktik kearifan lokal dalam bercocok tanam padi sawah dengan permasalahan strategis pertanian seperti iklim, sarana prasarana, regenerasi petani, kebijakan dan anggaran dapat dijadikan formula penyusunan kebijakan yang dirumuskan dalam sebuah model pembangunan pertanian yang berbasis empris sehingga memiliki pola tindakan yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Pengembangannya dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan dan dapat diadopsi oleh stakeholders di daerah.

Pelestarian kearifan lokal bercocok tanam padi sawah harus dijadikan prioritas utama dalam isu pertanian oleh pemerintah daerah. Dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pelaku utama (petani), pelaku usaha pertanian, dan pemangku kepentingan (dinas, instansi terkait, Gereja, Lembaga Adat, perguruan tinggi, lembaga pemerhati lingkungan, dan sektor swasta).

Pada akhirnya, kolaborasi kearifan lokal dengan pengetahuan teknologi pertanian dapat mensinergikan pembangunan pertanian yang ramah terhadap lingkungan. Kiranya dapat menjadi solusi dalam meningkatkan dan menjaga ketahanan pangan daerah yang berkelanjutan.

***

Masih ada hal menarik dari buku ini, yang barang kali tidak ditemukan dalam bahasan topik serupa, di buku lain. Yakni tentang nilai gotong royong sebagai berikut.

Sikap gotong royong masyarakat Kabupaten Malinau menjadi bagian penting dalam kegiatan bercocok tanam. Gotong royong dilakukan diladang untuk mereka yang terlambat menanam. Dan dibantu baya (febaya) atau feruyung dalam bahasa Lundayeh (Sakius, Petani wilayah PPRS Desa Pulau Sapi 2018).

Ada beberapa jenis kegiatan gotong royong.

 Bala Lundayeh gotong royong adalah felibal misalnya inan teman-teman nai ni tuda burur ne.Misalnya 6 burur kudeng ame’ neku yeh hari inikan nepa inan teman kai ne dikai me satu nih nah ne di mayar 6 buru peh neh 6 hari kai te among-among en kai ngayan pehkan kadang kai makai 5 jam 6 jam kereb kai nefu.Nibu dan ngerani felibal kai peh feruyung neh febaya 1 mo en kai mepeh kan ngadan neh feruyung dikai me kerja wen nefa di baru kai me ring 1 neh feruyung ngadan neh kalau gerufen peh yeh misal ibet nadi ngeneu’. lati rayeh anakku di we nguit lun fe ngeret berek nguet bara neh en kai ngelola kenen luk lun ku nguet na di nok ne feruyung lati nadi fe na di mayar  ngadan ne ngeruyung na pe ye keluarga pian peyeh me’ na mude te nekini feyeh karna mula kerja lun fe jarang lun ngeneu’ nefeh.” (Daring, Anggota Kelompoktani Pa’ Lenom 2018).

Terjemahannya:

Budaya gotong royong dalam kelompok tani ini masih ada dan dengan jenis dan peruntukan bermacam-macam, untuk gotong royong (felibal/feruyung) dilakukan untuk beberapa orang biasanya 6 orang melakukan penanaman atau pemanenan secara bergantian dan berputar sampai selesai dilahan mereka biasanya dilakukan masig-masing mendapatkan jatah 1 hari dengan waktu 5-6 jam perlahan.

Berikutnya, ada juga gotong royong yang istilahnya ngerufen ini dilakukan untuk keluarga yang memerlukan orang banyak untuk menyelesaikan pekerjaan membukalahan (menanam, memanen)dalam 1 hari di mana keluarga yang memanggil ini menyiapkan semua konsumsinya biasanya memotong babi (sapi) sesuai kemampuan dan kerja ini tidak dibayar akan tetapi sehubungan kesibukan keluarga gotong royong jenis in sudah jarang dilakukan akan tetapi masih ada. (Makda Daring, Anggota Kelompok Tani Pa’ Lenom 2018).

Ada beberapa alasan yang membuat masyarakat bergotong-royong. Kami senguyun (felibal), misalnya kalau ada keluarga saya sakit tidak bisa bekerja. Keluarga yang lain akan membantunya atau biasa disebut ngeruyung. Budaya ini masih lestari di pulau sapi ini (Suarni Matius, Anggota Kelompoktani Sawah Tengah 2018).

Saat ini tidak semua warga ikut melaksanakan gotong royong atau lebih tepat berkurang. Faktor kesibukan karena ada yang bekerja di sana sini. Sehingga cenderung mengupah orang yang di sekitar. Kadang orang lain (pendatang) mencari kerja dengan sistem bagi hasil.

Ada juga yang tidak fokus dalam bertani. Sebab dua minggu kerja disawah kemudian pindah dikebun. Akibatnya, lahan sawah tidak terurus dengan baik. Biasanya ada 4-5 orang berkerja sama secara bergantian menanam dengan sistem bergaji (menepar) (Yus Arun, Anggota Kelompoktani Buduk Kinangan 2018).

Selengkapnya, baca bukunya!

Tags : sosok