Sosok

Intan Binti - Produser Film, Astrolog, dan Novelis "Olo Itah"

Rabu, 27 Januari 2021, 07:10 WIB
Dibaca 2.299
Intan Binti - Produser Film, Astrolog, dan Novelis "Olo Itah"
Intan Binti (berdiri, kiri Pembaca) di antara para pesohor negeri ini. Ia perempuan

Bawi itah, perempuan Dayak Ngaju ini, multitalenta.

Dikenal sebagai astrolog. Juga produser film terkenal "Rumah tanpa Jendela", dan novelis.

Intan Ophelia Binti, dikenal pula dengan Mirintan Petersen Binti, dan Rawintan Endas Binti. Wanita puak Dayak Ngaju kelahiran Banjarmasin pada 1 Januari ini dikenal sebagai produser film dan penulis skenario, selain sebagai astrolog dan cerpenis. Tidak puas menulis pendek, belakangan ia menulis novel yang panjangnya hingga 30.000 kata.

Intan tertarik dan mulai belajar astrologi di Denmark. Menurutnya, astrologi bukanlah ilmu klenik, melainkan ada rumus-rumus pasti di dalamnya.

Novel -- yang dikembangkan dari cerpen ini-- kental menuansakan budaya Kalimantan Tengah. Tentang kisah kasih seorang anak perempuan Katingan, yang tergila-gila dengan Aurora Borealis.

Alumna SMA 1 Palangkaraya (1984) ini pernah ikut summer course di Cornell University, USA (1995) bidang marketing. Ia pernah memangku jabatan PR Manager Nusa Dua Beach Hotel, Bali.
Mirintan adalah Executive Producer film musikal “Rumah Tanpa Jendela” yang sejak Februari 2011 ditayangkan di jaringan bioskop di tanah air.

Tahun 2011, film tersebut diputar oleh stasiun TV sampai sekarang pada setiap hari besar nasional dan hari libur anak sekolah.

Lewat film inilah Emir Mahira menang sebagai aktor terbaik FFI 2011. Ia juga menulis skenario film berjudul (Cara) “Mencari Jodoh”.

Mirintan telah menunis dan menerbitkan novel “Aurora Borealis” dengan latar pendahara, Katingan Kalimantan Tengah dan kota Tromso, Norwegia.Seperti diketahui, Aurora Borealis salah satu fenomena terindah di planet bumi. Sebuah keajaiban alam yang tergurat di langit disebabkan oleh tabrakan angin surya dan partikel bermuatan magnetospheric.

Cahaya dari Utara adalah novel berlatar tempatan - yang dikembangkan dari cerpen ini-- kental menuansakan budaya Kalimantan Tengah.
Tentang kisah kasih seorang anak perempuan Katingan, yang tergila-gila pada Aurora Borealis.

Mimpi pun jadi kenyataan. Si gadis mendapat beasiswa ke University of Tromso, Norwegia. Tromso salah satu tempat untuk melihat Aurora Borealis, selain Alaska, Islandia, dan Finlandia.
Wanita energik ini juga seorang world traveller yang malang melintang menjelajah 27 negara di dunia. Perjalanannya ke-27 mancanegara itu melingkupi 5 benua, dari Rusia hingga New Zealand.

Kekaguman dan cintanya pada keindahan alam dan budaya etnis-etnis di dunia, mendorongnya menulis novel Aurora Borealis. Sesederhana itu proses kreatif melahirkan karya besar. Suatu dorongan, yang dilandasi niat hati yang teguh. Itulah yang akan memunculkan apa yang disebut kekuatan kata, kata-yang-bekerja: the power of words! Yakni kisahan, tulisan, yang meninggalkan kesan pada Pembaca sekalian.

Belakangan, Mirintan makin berkibar lewat film. Satu di antaranya “Rumah Tanpa Jendela” karena berhasil membuat kisah biasa menjadi film yang luar biasa. Sebagaimana diketahui, film tersebut mengangkat kisah anak pemulung yang bermimpi punya jendela. Film ini bukan hanya menghibur, melainkan juga sarat nilai moral bagi anak. Karena itu, disukai anak-anak dan dianjurkan ditonton oleh para orang tua.

Aktif di dunia perfilman, dan memahami seluk beluknya, menjadi portfolio yang mengantar Mirintan pada 2012 terpilih menjadi juri Festival Film Indonesia untuk kategori film televisi bersama Ratna Riantiarno dan Arswendo Atmowiloto.

Sudah aktif di dunia tulis menulis sejak 20 tahun lalu, wanita multitalent ini banyak menulis topik seputar masalah budaya di harian The Jakarta Post. Sebagai penulis dan jurnalis lepas, ia pernah mewawancarai sutradara Oliver Stone dan pelukis Itali, Renato Christiano.

Bukunya Sukses Finansial lewat Astrologi dan Peta Kehidupan diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK).

Berikut ini sepenggal  Bab 1 novelnya berjudul Cahaya dari Utara: Kisah Aurora dari Pendahara.
(1)
PAGI kelabu. Musim kering terasa begitu panjang.
Angin kemarau merayap perlahan dari arah Sungai Katingan yang mulai surut. Gosong-gosong pasir yang menumpuk di tepinya membentuk gunung-gununan kecil dengan sekawanan burung sansulit berjalan menggoyang-goyangkan pantat.

Tak jauh dari situ, di teras rumah kayu yang rapuh, dua orang lelaki muda duduk berimpit. Seketika, mereka terkenang masa kecil waktu mendengarkan kesah1 Tambi2 tentang “Indu SagumangManjual henda” dan “Kambe Hai.”

Saat kesah “Kambe Hai” sampai pada bagian hantu yang menyeramkan, suasana terasa semakin menakutkan, maka semakin rapatlah duduk mereka, bahkan beberapa dari mereka sampai berpelukan.

Tukang sansana paling terkenal di kampung itu datang dua malam sebelumnya. Namanya Indu Masni. Ia dipanggil untuk bercerita sebagai bagian ritual melepas seorang lelaki muda yang akan pergi jauh melanjutkan sekolahnya. Seperti pada acara sansana yang resmi, kemenyan pun dinyalakan. Di hadapan tukang sansana telah disiapkan sangko3 berisi beras, batok kelapa bulat, sisir, puplen, jarum jahit di atasnya. Tak lupa pula tanak undus4 dan kain tapih merah marun di bawah sangko, sebagai hadiah untuk Indu Masni.

Di antara semua yang hadir di situ, tampak jelas seorang lelaki muda berambut ikal yang menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju kepadanya.
Beberapa orang datang bergantian menyalami dan memeluknya. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai.

Wajahnya sedikit kasar dan gelap, akibat terpanggang sinar matahari yang tajam karena kebiasaannya malan5.
Matanya yang selalu memancarkan keceriaan, kecerdasan dan kehausan akan ilmu pengetahuan, kini tampak layu dan lelah.

Barangkali ia tak tidur semalaman karena memikirkan perjalanan jauhnya ke Banjarmasin. Apalagi belum pernah ia pergi sejauh itu seumur hidupnya. Ia akan naik taksi danum6 hingga Kasongan, menumpang mobil ke Palangka Raya, lantas mengarungi sungai dengan bus air menuju Banjarmasin. Perjalanan itu, setidaknya, akan menghabiskan waktu dua hari, karena ia juga harus menginap semalam di Palangka Raya.
Lelaki muda itu seperti tengah melamun. Matanya menerawang jauh. Ia tidak berkata sepatah kata pun sejak pagi.

Keadaannya sekarang sungguh sangat berbeda dengan yang dikenal orang selama ini. Keceriaan yang selalu ia tampakkan ketika mangaruhi7 di Danau Lawang dan pulang maumah lontong8 penuh ikan atau saat ia menenteng binokuler ke Petak Ungguh di malam hari dengan langkah-langkah cepat diikuti eman-temannya, kini tak tampak bekasnya sedikit pun.

“Tahukah kau, kawan, bahwa matahari dan planet-planet mengelilingi pusat massa tata surya?” Dia berkata layaknya seorang astronom sejati sambil menggoyang-goyangkan badannya.

Penasaran ingin terus membacanya?

Beli bukunya! Bagi yang berada di Palangka Raya dan sekitarnya, ada dijual di Gallery & Resto Tjilik Riwut Jalan Sudirman. Saya juga membelinya, di sini.

Tags : sosok