Sosok

Lap Tangan Sang Maestro

Rabu, 19 Agustus 2020, 08:33 WIB
Dibaca 408
Lap Tangan Sang Maestro
Affandi (Foto: an1magine)

Jika belum siapa-siapa, apa pun yang Anda tulis, dibilang: jelek. Jika maestro, penulis terkenal, sampah pun yang Anda tulis dibilang: ruar biasa! Padahal, yang Anda tulis sama saja.

Baik kiranya kita pasang mata-hati untuk kisahan yang berikut ini. Tentang lap tangan Affandi. Kebangetan kalau tak tahu. Ia seorang maestro seni lukis yang pernah kita miliki.

Syahdan, suatu hari. Datang pecinta sekaligus kolektor lukisan ke galeri lukis sang maestro.

Lama berkeliling melihat, tak satu pun yang menarik hatinya. Sang pengujung yang ugahari, tampak luar seperti orang kere, sebenarnya karena bosan kaya. Ia geleng-geleng kepala, setelah tak menemukan apa yang dicari. Lalu memutuskan pergi dari galeri itu.

Begitu membalik badan, matanya tertumbuk ke satu sudut, di halaman luar. Yakni lukisan abstrak yang tak sembarang orang bisa menikmati dan menjelaskan maknanya.

“Ini lukisan ruar biasa,” katanya memuji. Entah pura-pura agar terkesan tinggi selera seninya, entah memang seorang kolektor lukisan yang bosan kaya.
“Yang mana, pak?” tanya Affandi.
“Yang itu!” ia menunjuk di sudut paling pojok.

Affandi terperanjat ketika mengamati dengan saksama arah telunjuk seorang asing itu. Tapi masih bisa menyembunyikan kekagetannya. Ke sana biasa ia datang ketika tangannya blepotan cat, sehabis melukis.
“Saya suka lukisan ini di antara yang lain. Saya mau beli yang ini!”
“Mohon maaf, pak!” sahut Affandi separuh membungkuk. “Khusus itu tak dijual.”
“Tak dijual? Mengapa?”
“Hanya koleksi pribadi saya. Dan memang bukan untuk dijual.”
“Tapi saya terlanjur suka. Berapa pun saya bayar!”
“Tak ternilai, pak, harganya. Maaf sekali.”
“Ini cek,” kata si pengunjung galeri sembari menyobek selembar. “Silakan Pak Affandi mau isi berapa nilainya.”

Orang bosan kaya itu lalu menyerahkannya selembar cek kosong kepada Affandi untuk diisi seberapa suka. Saya pernah mengalaminya, meski tidak mengisi berapa mau. Anda pun, suatu waktu, pasti akan mengalaminya.

Tahu lukisan yang disebut mahakarya dan hebat luar biasa tersebut?

Itu adalah lap tangan Affandi!

Sehabis blepotan melukis, ia selalu menyapu tangan di situ. Namun, orang yang bosan kaya menganggapnya unik. Satu-satunya, tak ada di antara rangkaian galeri lain. Dan ia bangga memiliki satu-satunya di dunia lukisan abstrak yang menurutnya hanya orang berjiwa seni tinggi yang memahaminya. Itu adalah akumulasi dari seluruh lukisan Affandi yang lain.

Jadi, ketika Anda bukan-siapa siapa, maka apa pun yang Anda haslkan dibilang: jelek. Tapi, ketika Anda maestro, sampah pun, lap tangan sekalipun, apa pun yang Anda kerjakan akan dibilang: bagus luar biasa.

Maka, simpan selalu tulisan yang Anda anggap paling sampah sekalipun. Suatu waktu, ada orang gila, yang bosan kaya, menyebut sampah Anda luar biasa, dan memberi cek untuk diisi sendiri nilainya berapa kepada Anda!

Hal ini sepadan dengan apa yang dikatakan empu para penulis, Mark Twain,

“Write without pay until someone offers pay. If nobody offers within three years, the candidate may look upon this as a sign that sawing wood is what he was intended for.”

Yang kerap terjadi ialah penulis pemula gampang patah arang. Memang menulis untuk diri sendiri, entah di beranda FB, entah di blog pribadi, mudah. Hal ini karena tidak ada pihak ketiga, yang profesional, menilai tulisan kita.

Namun, jika sebuah tulisan sebagai komoditas, artinya dimuat media dan untuk itu penulis mendapat bayaran, lain lagi ceritanya. Harus ada unsur-unsur yang dipenuhi. Wajib ada di dalam tulisan aspek-aspek yang dapat dirumuskan hanya dalam dua patah kata: indah dan berguna.

Alah bisa karena biasa. Tajam pisau karena diasah. Menulis bukanlah bakat, melainkan keterampilan. Karena itu, biasakan diri Anda. Setiap hari, menulis. Berlatihlah terus. Berkanjang pada bidang Anda.

Tidak ada yang luar biasa. Yang ada adalah kebiasaan. Maka biasakan diri Anda menulis setiap hari. Hingga suatu masa, tulisan yang Anda anggap “sampah”, hasil belajar-menulis, dikatakan luar biasa oleh orang.

Itu sebuah sebuah proses! Barang siapa yang berkanjang, persisten, ia akan menuai hasil.

Persoalannya: apakah Anda seorang climber? Atau seorang pecundang. Yang gagal di tengah jalan hanya karena tidak bisa mengubah tantangan jadi peluang?

Jika ini masalah Anda, saya punya obat mustajab. Ikuti: ngopi sembari ngo pi (ngolah pikir) yang berikutnya.

***