Sosok

Yansen yang Hanya Ingin Menjadi Pelopor, Bukan Pengekor (Persamuhan 1)

Jumat, 28 Februari 2025, 11:12 WIB
Dibaca 749
Yansen yang Hanya Ingin Menjadi Pelopor, Bukan Pengekor (Persamuhan 1)
Persamuhan Esplindo (Foto: Istimewa)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Persamuhan adalah ajang setiap persona saling menumpahkan kerinduan. Terpisah jarak dan waktu yang melesat bagai angin bukan sesuatu yang layak disesali, tetapi hikmah dan pengalaman yang didapat. Hikmah dan pengalaman yang kemudian mengkristal menjadi pengetahuan khas itulah yang siap kami tumpahkan dalam setiap persamuhan.

Demikian yang terjadi saat kami berempat, pegiat literasi yang menamakan diri Esplindo (Empat Sekawan Pelopor Literasi Indonesia) bertemu di epicentrum Jakarta setelah sekian lama terpisah jarak dan waktu. Yansen TP adalah penggerak literasi di antara kami berempat, sementara saya, Dodi Mawardi dan Masri Sareb Putra cukup menamakan diri sebagai pegiat literasi. Mengapa Yansen kami daulat sebagai penggerak? Sebab dialah yang menjadi “elan vital” dalam berbagai kegiatan literasi, bahkan nama “Esplindo” untuk kami berempat pun dialah yang menginisiasi.

Di dalam “Esplindo” tersemat kata “Pelopor” yang dalam persamuhan itu menjadi perbincangan utama kami seraya menikmati sop daging dan ikan laut segar yang dipungkasi dengan ngopi-ngopi di tempat yang sama. “Setelah lepas dari dunia birokrasi, ke depan saya hanya ingin menjadi teladan dengan memelopori segala aktivitas yang bermanfaat buat orang banyak,” kata Pak Yansen, demikian saya biasa memanggilnya.

Saya pribadi memandang wajah Yansen yang malam itu didampingi Ibu Ping, istri tercintanya, cerah ceria sebagaimana biasanya. Kekalahan dalam kontestasi besar Pilkada Kalimantan Utara sejatinya membuat Yansen murung. Sebaliknya, ia sangat bersemangat. “Saya bersyukur berada di antara kawan-kawan saya ini,” katanya seusai menyapa kami yang entah mengapa kami bertiga -kecuali Yansen- mengenakan batik, padahal tanpa saling mengikat janji. Tetapi demikianlah perasaan “sehati” berbicara.

Sebelum berbicara tentang pelopor, kami selintas berbicara tentang aktivitas politik Yansen, wakil gubernur Kalimantan Utara yang maju sebagai kandidat gubernur di Pilkada lalu. Bukan untuk mengorek luka lama di mana hasilnya kita tahu bersama: Yansen tidak berhasil mengalahkan petahana gubernur, Zainal Palliwang. Akan tetapi teladan Yansen dalam palagan Pilkada itu akan menjadi catatan sejarah tersendiri, dia menjadi pelopor “No Money Politics” dalam kontestasi yang “rawan” ini.

Mengapa saya sebut rawan, karena sejujurnya Masyarakat Kaltara sendiri belum siap dengan Gerakan revolusioner yang dipelopori Yansen ini: Tidak membeli suara rakyat! Alih-alih bekerja sama dengan pengusaha komprador yang sebenarnya bisa saja menggelontorkan uang demi pemenangan Pilkada, Yansen lebih memilih menggerakkan sukarelawan di empat kabupaten dan satu kota di Provinsi Kaltara.

Yansen percaya, sukarelawan bergerak bukan karena uang, melainkan karena keyakinan untuk memperbaiki Kaltara dalam berbagai sendi, termasuk dalam menyejahterakan rakyat Kaltara. Tetapi pada akhirnya realitaslah yang berbicara di lapangan. Sukarelawan kehilangan separuh semangatnya sementara rakyat Kaltara masih berpikir praktis: uang suap di tangan lebih berharga dari sekadar utopia atau cita-cita.

Yansen tahu semua risiko itu, termasuk tidak popular di mata rakyat Kaltara, tetapi ia bahagia karena sudah memelopori prilaku politik yang berbeda: “No Money Politics”.

Yansen adalah pelopor politik bersih (selama ini politik identik dengan kotor) di Kaltara sekaligus pencetus Gerakan “No Money Politics” yang sulit diterima rakyat Kaltara sendiri. Perjuangan memang memerlukan waktu, sebab di ujung perjalanan waktu biasanya rakyat tersadarkan sendiri, betapa nasib yang mereka pertaruhkan hanya senilai Rp100.000 atau Rp200.000 dari isi amplop yang mereka terima saat “serangan fajar” berlangsung.

Untuk itulah, dalam panggung politik di mana pragmatisme sering kali mengalahkan prinsip, Yansen adalah satu nama yang mencerminkan keberanian untuk melawan arus: “No Money Politics”. Ia bukan sekadar politisi yang gagal dalam Pilkada karena menolak money politics sekaligus mengobarkan semangat “No Money Politics” itu tadi, ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem korup yang sudah sedemikian menjelaga sehingga menjadi hitam-legam. Ia seorang idealis yang lebih memilih kehilangan jabatan daripada kehilangan harga diri untuk sebuah perjuangan adiluhung.

Dalam perjalanan hidupnya, kekalahan politik tidak menjadi titik akhir, tetapi awal dari sebuah perjalanan yang lebih bermakna, yakni menjadi guru bangsa dan pelopor perubahan yang berpihak kepada orang banyak, jika kata “rakyat” seolah-olah sudah menjadi milik politikus.

Yang saya tangkap dalam persamuhan malam itu, Yansen memahami dengan baik bahwa politik di Indonesia, seperti di banyak negara berkembang lainnya, masih jauh dari kemurnian ideal, masih jauh panggang dari api etika politik. Politik bukan lagi sekadar pertarungan gagasan dan program kerja, tetapi telah terdistorsi menjadi arena transaksi, di mana suara rakyat memiliki harga dan kemenangan sering kali ditentukan oleh seberapa dalam kantong kandidat. Itulah yang terjadi di Kaltara dan Yansen tidak ingin menyesalinya. Ia hanya ingin menatap serta berjalan ke depan.

Dalam konteks ini, keputusan Yansen untuk tidak membeli suara rakyat adalah sebentuk keberanian yang langka. Ia memilih jalan terjal, berliku, penuh duri, tetapi tetap tersemat mahkota martabat di kepalanya. Kekalahannya bukan sekadar hasil dari pertarungan politik, tetapi juga cerminan dari sebuah sistem yang masih rapuh, yang saat itu Yansen percaya diri dapat mendobraknya.

Namun, di balik kekalahan itu, ada kemenangan moral yang lebih besar: Yansen telah membuktikan bahwa politik masih bisa dijalankan dengan integritas dalam bentuk lain, yakni dengan menjadi pelopor!

(Bersambung)