Bersama Pastor Johan: Mengenang 75 Tahun CP di Indonesia
Pada bulan Juli 2021 ini Kongregasi Pasionis (CP) genap 75 tahun berkarya di Indonesia. Kehadiran CP di Indonesia ditandai dengan kedatangan 3 misionaris perintis di Ketapang, Kalimantan Barat. Tiga misionaris perintis ini adalah Pastor Plechelmus Dullaert, CP, Pastor Bernardinus Knippenberg, CP dan Pastor Canisius Pijnappels, CP. Tulisan berikut adalah pengalaman penulis bersama salah satu Misionaris CP terakhir di Ketapang, Tanah Kayong.
Menjadi Anak Buah Pastor
Dengan berbekal surat rekomendasi dari Pak Entji, Kepala sekolahku di SD Banjur Karab, Kecamatan Simpang Dua pada pertengahan bulan Juli 1981 saya pergi mendaftar ke SMP Usaba 5 Simpang Dua. Saya pergi dengan Absalon Nunai dan Rianto. Surat tersebut ditujukan kepada Pastor Johan. Surat itu berbunyi kira-kira demikian: “Anak yang membawa surat ini namanya Amon. Ia memiliki kemampuan dalam belajar. Ayahnya sudah meninggal, ibunya tuli dan neneknya buta serta adik-adiknya banyak. Oleh karena itu mohon dia dibebaskan dari uang sekolah”
Setelah membaca surat tersebut Pastor Johan berjanji akan membebaskan saya dari uang SPP. Beliau menawarkan apakah mau sekolah dari Banjur atau tinggal di Pastoran. Karena bingung, saya bertanya kepada Nunai : apakah sebaiknya sekolah jalan kaki dari Banjur atau tinggal dengan Pastor Johan? Menurut Nunai, lebih baik tinggal di Pastoran saja. Kalau berjalan kaki setiap hari dari Banjur – Simpang Dua yang jaraknya 8 km, tentu akan terasa capek.
Setelah mendengar pendapat Nunai, kusampaikan kepada Pastor Johan saya akan tinggal di Simpang Dua. Pastor Johan mengatakan bahwa saya akan menggantikan Jelasius membantu di Pastoran. Jelasius yang juga berasal dari kampung Banjur baru saja lulus. Ia akan segera pulang ke Banjur. Tugas-tugas yang diberikan Pastor Johan kepadaku antara lain: mengurusi dua ekor sapi, menebas rumput, mengurusi mesin listrik, mengambil makanan Pastor di tempat Pak Acang, mencuci pakaian pastor, menyapu lantai.
Hari pertama masuk sekolah saya masih berjalan kaki dari Banjur. Pukul 05.00 kami sudah berangkat dari Banjur. Teman-teman yang sekolah dari Banjur antara lain Ludang, Paer, Budi, Rianto dan Sepo. Karena takut terlambat kami setengah berlari. Jalan yang kami lalui adalah jalan buatan Belanda. Jalan tanah yang dicangkul yang lebarnya sekitar 3 meter. Sampai di Kampung Karayapantoh, kami harus melalui titian dari kayu yang berada di puncuk pohon sengkuang. Sebelum pukul 07.00 kami sudah harus di Simpang Dua.
“Anak yang membawa surat ini namanya Amon. Ia memiliki kemampuan dalam belajar. Ayahnya sudah meninggal, ibunya tuli dan neneknya buta serta adik-adiknya banyak. Oleh karena itu mohon dia dibebaskan dari uang sekolah”
Setelah beberapa hari sekolah dari Banjur, saya mulai tinggal di Simpang Dua. Saya dibawa Jelasius ke rumah penggiling karet yang letaknya di tepi sungai Banjur di samping pangkalan motor air Pak Acang. Rumah itu biasanya disebut rumah beres. Rumah tersebut berukuran 3 m x 3m dan bertingkat dua. Di lantai bawah berisi mesin penggiling karet, sedangkan di lantai dua itulah Jelasius tinggal. Di situlah nantinya saya akan tinggal. Ketika melihat tempat tinggal Jelasius di lantai dua, kepalaku sedikit pusing. Ada bau semerbak seperti ikan busuk. Kutanya kepada Jelasius bau apa itu, ia jawab itu bau cencalok. Cencalok adalah makanan dari udang yang diasinkan.
Ternyata tempat itu berantakan. Tikar, piring-mangkok, dan kuali yang belum dicuci. Saya berinisiatif untuk membersihkan ruangan dan segala peralatan makan Jelasius tersebut. Maka kuali, piring, mangkok dan sendok kubawa ke sungai untuk dicuci. Karena kuali begitu hitam, perlu tenaga ekstra untuk mencucinya. Tidak bisa hanya menggunakan sabun. Saya mengambil pasir untuk menggosoknya agar kelihatan bersih.
Melihat upayaku bersusah payah mencuci barang-barang Jelasius, Rawen (Mak Mala) – menantu Pak Acang yang merupakan keluarga yang mengurus makanan Pastor–berjanji akan mengusulkan kepada Pak Acang (Kek Mala) agar saya bisa tidur di rumah mereka di bagian depan. Bagian depan rumah mereka dulunya adalah bekas Toko. Sekarang Pak Acang sudah tidak berjualan lagi. Dia sudah bangkrut. Dulunya Pak Acang adalah orang yang paling kaya di Simpang Dua. Selain memiliki toko yang besar, ia juga memiliki beberapa motor air yang digunakan untuk mengangkut karet ke Teluk Melano. Dari Teluk Melano karet ditukar dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari yang kemudian dijual kembali untuk membeli karet. Rumah di depan itu memang kosong, sesekali bila ada tamu Pastor ruangan itu digunakan untuk tempat penginapan.
Lolos dari Maut
Setelah beberapa hari tinggal di rumah beres, akhirnya Pak Acang memperbolehkan saya tinggal di rumah bagian depan. Sedangkan mereka tinggal di rumah bagian belakang. Untunglah tidak berlama-lama tinggal di rumah beres itu, karena beberapa hari setelah pindah dari rumah itu, rumah itupun runtuh. Rumah yang bentuknya seperti menara itu runtuh ke sungai. Bila masih di situ, tidak tahu nasib apa yang akan kualami. Tuhan begitu baik melindungiku dari bahaya. Saya lolos dari maut.
Menjadi anak buah Pastor tidak semudah yang kubayangkan. Selain mengerjakan pekerjaan yang diberikan Pastor Johan seperti mengurus sapi, menebas rumput, mencuci piring, mencuci pakaian, mengantarkan makanan, mengisi dan menghidupkan diesel; saya juga harus bekerja di tempat Pak Acang seperti mencuci piring dan mengambil kayu api. Bila Nek Mala (Bu Acang) sakit, saya harus memasak juga untuk Pastor. Dihadapkan dengan banyak macam pekerjaan itu saya sering bingung dalam membagi waktu. Kadang kecapekan dan terkantuk-kantuk ketika sedang menebas rumput. Sering pula tepergok Pastor Johan ketika terkantuk-kantuk waktu menebas rumput di halaman Pastoran.
Menjadi Gembala Sapi
Pengalaman yang tidak terlupakan adalah ketika menjadi gembala sapi. Mengurus sapi itu susah-susah gampang. Jika rumput di sekitar sapi itu ditambat sudah sedikit tinggal kita pindahkan ke tempat lain. Jika haus tinggal kita berikan air. Menurut Pastor air minuman sapi harus diberi garam untuk menambah tenaganya.
Seringkali saya pusing mengurusi kedua sapi Pastor tersebut. Yang paling ditakutkan adalah kalau sapi itu lepas dan lari makan tanaman penduduk. Tidak jarang telingaku panas diomeli tetangga karena sapi Pastor lepas dan makan tanaman mereka.
Pernah suatu pagi ketika mencari sapi di tambatannya, ternyata tidak ada. Kedua sapi itu hilang. Sudah dicarinya kemana-mana, rupanya kedua sapi itu terbelit talinya di kebun karet di belakang rumah Pak Acang. Terpaksa terlambat masuk sekolah karena harus mengurusi sapi-sapi itu.
Sering malam-malam kalau mendengar gonggongan anjing saya tidak bisa tidur dan harus keluar rumah untuk melihat jangan-jangan sapi lepas lagi. Pada kesempatan lain salah satu dari kedua sapi tersebut sempat membuatku cemas. Tali
pengikatnya terlepas simpulnya dan menjerat lehernya hingga lehernya luka sampai berulat. Untunglah sapi tersebut jinak sehingga berhasil dibetulkan tali pengikat di lehernya. Pernah juga ketika pergi ke kampung dan sapi kutitipkan ke Akim, anak Pak Acang untuk mengurusnya. Ternyata sepeninggalku kedua sapi itu terjun ke sungai. Untunglah masih bisa diselamatkan. Kalau tidak mungkin akan dimarah habis-habisan oleh Pastor Johan. Waktu itu Pastor sedang milir ke Ketapang.
Pernah pula suatu ketika Pastor Johan meminta saya membawa kedua sapi tersebut kepada orang Madura yang tinggal di tengah kampung untuk dikawinkan dengan sapi orang Madura tersebut. Kedua sapi pastor tersebut betina, jadi harus dicarikan pejantannya. Namun karena terpikir kalau kedua sapi itu masing-masing punya anak maka semakin repot mengurusnya. Jadi sampai lulus SMP permintaan Pastor tersebut tidak pernah kulakukan. (Maaf ya Pastor Johan…)
Selain bekerja di Pastoran dan di tempat Pak Acang, sayapun sering diminta Kepala sekolahku Pak Harjo dan Bu Harjo untuk membantu mereka di rumah. Keluarga Pak Harjo tinggal berdekatan dengan Pastoran. Kegiatan membantu mereka ini biasanya terjadi kalau Pastor Johan tidak sedang ada di rumah.
Di tempat Pak Harjo biasanya disuruh mencari rumput untuk makanan kelinci, menggali ubi, mencangkul di kebunnya, mengoreksi ulangan dan membantu mereka mengisi tugas administrasi seperti laporan bulanan, menulis Ijazah dan mengisi buku induk. Sebagai imbalan selesai kerja biasanya disuruh makan di situ. Di tempat Pak Harjolah pertamakali makan makanan yang serba manis. Sayur dan lauk mereka ditambah gula. Kelak pengalaman ini sangat membantu ketika kuliah di Jogja. Ketika masuk asrama Realino di Jogja, saya tidak terlalu terkejut dengan makanan Jogja yang serba manis. Kedua guruku itu memang berasal dari Jogja.
Menjadi anak buah Pastor tidak semudah yang kubayangkan. Selain mengerjakan pekerjaan yang diberikan Pastor Johan seperti mengurus sapi, menebas rumput, mencuci piring, mencuci pakaian, mengantarkan makanan, mengisi dan menghidupkan diesel; saya juga harus bekerja di tempat Pak Acang seperti mencuci piring dan mengambil kayu api.
Setiap Hari Pakai Baju Pramuka
Berkerja dengan Pastor Johan banyak suka-dukanya. Sukanya hampir semua kebutuhanku diurusnya. Untuk pakaian dijahitkan dua setel pakaian. Keduanya berwarna coklat. Belakangan baru tahu bahwa pakaian itu adalah pakaian pramuka. Senin sampai Rabu memakai pakaian pramuka dan Kamis sampai Sabtu juga pakai pakaian pramuka. Untuk alas kaki tidak dibelikan. Ke sekolah saya telanjang kaki, kadang pakai sandal jepit. Kalau dibandingkan teman-teman lain pakaianku masih tergolong bagus, karena kebanyakan teman berpakaian seadanya. Hampir semua telanjang kaki dan berpakaian seadanya. Untuk keperluan sekolah seperti buku-buku dan alat tulis dibelikan oleh Pastor. Untuk makanan sehari-hari tidak kesulitan. Apa yang dimasak Bu Acang yang juga dimasak untuk Pastor itu juga yang kumakan.
Meskipun segala kebutuhan sudah disiapkan, tapi hampir setiap hari tenagaku terkuras. Karena harus berkerja di dua tempat. Di Pastoran dan di tempat Pak Acang. Pernah suatu kali saya kepergok Pastor ketika terkantuk-kantuk waktu menebas rumput. Pernah pula di siang hari yang panas Pastor mencariku ke rumah tetangga karena tidak kelihatan di kebun. Waktu itu panas begitu terik. Saya pergi ke tempat tetangga (Bapa Juan) untuk mengasah parang. Pernah pula telingaku dicubit oleh Pastor Johan ketika tidak beres menyapu lantai kapel.
Pastor Johan ini terkenal sebagai Pastor yang disiplin dan rajin bekerja. Di masyarakat beliau terkenal dengan sebutan “Pastor Pembangunan” Beliaulah yang melobi perusahaan HPH Hutan Raya untuk menggusur jalan antara Simpang Dua – Banjur. Berkat beliaulah anak-anak sekolah dari kampung Banjur, Bukang dan Karab bisa naik sepeda jika pergi sekolah ke Simpang Dua. Salah satu nasehat Pastor Johan yang masih kuingat adalah: “Kalau mau berhasil jangan malas. Jangan seperti beberapa orang di kampung, yang kalau mau menorah ngobrol dulu sampai matahari terbit. Mereka itu tidak tekun dan kurang disiplin dalam bekerja”.
Misionaris CP Belanda Terakhir
Pastor Johan yang nama lengkapnya, Johan Verbeek, CP adalah seorang misionaris yang berasal dari Negeri Belanda. Beliau lahir di Poeldijk 29 November 1940. Pada 1 Juli 1967 ditahbisan menjadi imam. Bersama dengan Pastor Abel Tinga, CP tiba di Ketapang pada bulan Agustus 1970. Mereka adalah misionaris terakhir dari negeri Belanda yang dikirim ke Ketapang. Setelah mereka berdua tidak ada lagi misionaris yang dikirim ke Ketapang.
Bekerja dengan Pastor Johan ikut membentuk watak dan keperibadianku. Lewat beliau saya belajar banyak hal seperti disiplin, kerja keras dan semangat pantang menyerah. Sikap-sikap ini kelak sangat membantuku terutama dalam upaya mencapai cita-citaku untuk menjadi seorang sarjana
Pada tahun 1970 – 1977 Pastor Johan bertugas di Paroki Tanjung. Dan sejak tahun 1977 beliau bertugas di Paroki Santo Mikael Simpang Dua. Ketika saya masuk SMP Usaba 5 Simpang Dua tahun 1981 dia telah 4 tahun bertugas di situ. Beliau banyak membantu masyarakat bukan hanya lewat pelayanan di gereja saja, tapi juga dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pembangunan.
Bekerja dengan Pastor Johan ikut membentuk watak dan keperibadianku. Lewat beliau saya belajar banyak hal seperti disiplin, kerja keras dan semangat pantang menyerah. Sikap-sikap ini kelak sangat membantuku terutama dalam upaya mencapai cita-citaku untuk menjadi seorang sarjana. (***)