Mengindustrikan Inteligensi: Kado Kemerdekaan dari Prof. Saswinadi
Rasanya, tidak banyak yang berubah dari Pak Sas, panggilan untuk Prof. Saswinadi Sasmojo, seorang guru besar ITB, sejak saya mengenal beliau sekitar tahun 2000-an, berarti sudah hampir 20 tahun lamanya. Di usianya yang hampir 84 tahun, suaranya masih lantang, pikirannya masih segar, jernih, dan everlasting dalam menggerakkan arah kemandirian bangsa, terutama di bidang teknologi.
Salah seorang yang multidisiplin, menurut saya, mampu berpikir secara mendalam dan multidimensional. Beliau adalah guru besar di Teknik Kimia, namun juga menjadi salah satu pendiri jurusan Teknik Informatika ITB, bersama Pak Jorga Ibrahim dari Astronomi, Pak Kudrat Soemintapura dari Teknik Elektro dan lain-lain. Beliau juga penggagas dan pengampu S2 Studi Pembangunan di ITB yang menampung mahasiswa multidisipliner dari berbagai jurusan untuk mengerti lebih mendalam mengenai korelasi dari berbagai macam fenomena pembangunan di Indonesia.
Di bulan memperingati kemerdekaan ini, beliau berbicara mengenai perlunya mengindustrikan inteligensi, sebuah gagasan yang tidak sepenuhnya baru, karena beliau pernah mengajak saya membicarakannya 20an tahun yang lalu, tapi masih relevan hingga sekarang.
Banyak hal yang beliau bicarakan dalam forum tersebut, tapi menurut saya, gagasan dalam memandang bangsa ini menjadi menarik untuk bekal menjadi Indonesia di masa depan.
Menurut beliau, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang ada begitu saja, tapi merupakan bangsa yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dan sejarah yang terus bergulir dari sumpah pemuda, proklamasi kemerdekaan, hingga ke deklarasi Djuanda. Sampai sekarang, bangsa ini masih "in the making", karena menyatukan berbagai macam suku, budaya, agama, dan menyatakan diri sebagai bangsa merdeka pada 17 Agustus 1945.
Wilayah Indonesia sendiri tidak terjadi dengan sendirinya. Pada masa Hindia Belanda, wilayah Indonesia hanyalah pulau-pulau, sementara di luarnya adalah lau internasional. Dengan adanya Deklarasi Djuanda, mengubah persepsi dan hukum laut internasional mengenai negara kepulauan. Wilayah laut Indonesia bertambah dengan adanya lautan di antara pulau-pulau, sehingga luas lautnya menjadi sekitar 2/3 dari luas daratan Indonesia.
Sehingga, menurut Pak Sas, pandangan kita perlu diubah. Dari pulau-pulau yang dihubungkan dengan lautan, menjadi lautan yang ada pulau-pulaunya. Pandangan yang "out-of-the-box" ini, menurut beliau, seharusnya bisa mengubah paradigma dalam memandang Indonesia, termasuk bagaimana arah pembangunan bangsa ini, prioritas pengembangan dan potensi bangsa, yang kini dikenal sebagai poros maritim internasional.
Tentunya, hal ini membawa konsekuensi dan tantangan tersendiri dalam pengembangan teknologi di tanah air. Kebanyakan negara maju saat ini adalah negara kontinental, seperti Amerika, China, dan Kanada yang mengembangkan teknologinya berdasarkan cakupan daratan yang lebih luas dari lautnya. Sementara Indonesia negara kepulauan, tidak semua teknologi dari negara kontinental menjadi cocok untuk Indonesia.
Adalah orang-orang seperti Pak Habibie dan Pak Iskandar Alisjahbana yang berpikir untuk "mempersatukan" dan menghubungkan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan menggunakan pendekatan teknologi. Pak Habibie dengan pendekatan pembangunan teknologi pesawat yang bisa menghubungkan transportasi antarpulau di Indonesia dengan cepat dan mudah. Sementara Pak Iskandar yang berpikir untuk memanfaatkan satelit sebagai sarana telekomunikasi yang bisa menghubungkan seluruh pelosok Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Begitu banyak pesan-pesan beliau yang disajikan dalam waktu singkat untuk bisa memanfaatkan sains dan teknologi. Tidak hanya sekadar memiliki dan menguasai, tapi juga mendayagunakannya. Tidak hanya mempunyai kemampuan, namun juga mampu untuk belajar dan memanfaatkan kemampuan itu. Tidak sekadar belajar dan mengikuti prosedur di masa lalu, tapi juga harus berani mendobrak tatanan dan lebih kreatif dalam upaya membentuk masa depan bangsa ini.
Perguruan tinggi perlu menjadi institusi yang merdeka dalam berpikir dan mengembangkan budaya dan meningkatkan kecerdasan dalam kehidupan bangsa, tidak sekadar jargon merdeka, tapi ternyata malah jadi dibebani dengan beban administratif dan perankingan segala macam yang malah melupakan peranan dari perguruan tinggi itu di tengah masyarakat.
Perguruan tinggi juga perlu berperan sebagai "agent of change" atau agen perubahan di wilayah-wilayah Indonesia yang tertinggal dalam menegakkan pengindustrian inteligensi dan memandu pembangunan di wilayahnya.
Masih begitu banyak cerita dan pesan-pesan dari Pak Sas bagi bangsa ini. Pesan penutupnya adalah, menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang unggul dalam berteknologi merupakan "mission that have to be accomplished" melalui strategi pembangunan nasional yang memfasilitasi terjadinya proses-proses pengindustrian inteligensi secara berkesinambungan.
Satu pesan yang begitu mendalam dan begitu relevan di tengah arah pengembangan teknologi dan industrialisasi di Indonesia yang masih berkutat pada penyerapan tenaga kerja dan aspek perakitan, belum kepada riset berkelanjutan yang memberikan "value added" atau nilai tambah supaya sumber daya manusia Indonesia dan hasil produksinya menjadi bernilai lebih, tapi juga bermanfaat bagi bangsa ini sendiri. Inilah yang penting untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan mandiri secara teknologi. Semoga di hari kemerdekaan bangsa ini kita mampu melanjutkan cita-cita luhur para pendiri bangsa dan menjadi bangsa yang bersatu dan lebih baik lagi.
inspirasiharian