RA Kartini: Untuk Perempuan Kuat dan Tangguh di Negeri Ini
Sejak pagi, grup WA, FB, Twitter diramaikan dengan ucapan selamat hari lahir Raden Ajeng Kartini (21 April 1879-17 Sept 1904). Saya pun tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan. Kebiasaan politisi, tidak mau ketinggalan kereta. Tidak mau kehilangan momentum berucap. Penting, kata para ahli politik soal momentum tindakan.
Ada lebih 3 status WA saya tulis, ada lebih 5 foto RA Kartini saya kirim. Tapi saya tidak puas. Hati kecil saya terus bertanya. Saya merasa perlu membaca sejarahnya.
Saya yakin, generasi milenial sekarang tidak banyak yang tahu atau ingin tahu soal Kartini. Umumnya tahu, Kartini seorang tokoh wanita, pejuang emansipasi, kesetaraan gender, dst.
Juga sebatas tahu soal lagunya: "Ibu kita Kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya." Dan setiap HUT RA. Kartini, para wanita Indonesia bersolek dengan sanggul, kain dan kebaya untuk mengidentifikasi diri dengan RA. Kartini yg memang saat itu biasa atau lazim mengenakan kebaya/sanggul --- sebagai seorang anak priayi.
Saya sendiri juga tidak tahu banyak. Sebelum ke kantor saya baca dua artikel. Juga sampai kantor saya lanjut baca tiga artikel lagi. Lanjut sorenya saat tiba di rumah dari kantor. Semuanya soal Kartini.
Saat membaca, saya harus memegang pulpen dan kertas, karena ada beberapa poin penting yang harus dicatat memperkuat narasi. Juga ada beberapa bahasa Belanda.
Ada yg salah dengan cara pandang dan cara kita mendeskripsi Kartini masa kini: harus dibagi, pikir saya. Berbagi pengetahuan untuk mengingatkan kita kembali soal makna hakiki dibalik peristiwa penting tersebut.
Bersanggul dan berkain kebaya tentu bagus dan enak dipandang. Tetapi mengidentikkan Kartini dengan sanggul dan kain kebaya sungguh menyempitkan makna perjuangan Kartini.
Busana seperti itu justru dikecam oleh Kartini sebagai kurungan feodalisme. Tulis Kartini, "Mengapa perempuan dikekang dengan aturan harus berbusana begini begitu? Mana mungkin kita maju kalau main badminton pun harus bersanggul dan berkain kebaya?" Secara sinis ia menyebut "perempuan cantik bersuntingkan kembang cempaka layu pada kondenya." Dalam sebuh bukunya, Kartini menulis simbolisme sarkastis, "ayolah nona ayu, jangan nampak begitu sayu, mentari secumil itu takkan mengubah warna kulitmu... Apa pula gunanya payung kecil genit yang kau bawa-bawa itu?".
Kartini berobsesi memajukan perempuan bukan melalui busana dan upacara. Sama sekali bukan! Obsesi Kartini adalah memajukan kaum perempuan dengan buku, yaitu agar anak perempuan suka membaca buku. Pintar. Bisa berkarya. Melakukan semua pekerjaan yg umumnya -- saat itu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Kartini menentang "pembatasan" gerak para kaum perempuan oleh tradisi atau budaya para priayi yg sangat patriarki. Dia cemburu atau iri melihat teman-teman perempuan Belandanya yang bebas!
Kartini melihat teman-teman Belandanya di Jepara maju dan pandai karena banyak membaca. Oleh karena itu ia ingin agar para perempuan Indonesia juga suka dan banyak membaca. Kartini sendiri melahap ribuan novel dan esei di perpustakaan Jepara. Baik karya pengarang Belanda maupun karya pengarang Eropa lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Buku favoritnya adalah De Kleine Johannes, Moderne Maagden, De Wapens Neergelegd, Hilda van Suylenburg, De Vrow en Sociaalisme, dan Max Havelaar.
Pertanyaannya ialah bagaimana cara Kartini meningkatkan minat baca kaum perempuan Indonesia? Ya, Kartini melakukannya dengan cara menulis sebanyak-banyaknya.
Dalam hidupnya yg singkat, hanya 25 tahun (1879-1904), ia menulis ratusan novel, reportase, puisi, esai, nota, dan surat. Semuanya dalam bahasa Belanda yang sempurna.
Sungguh ironis, kita menghormati Kartini setiap tahun tetapi kita tidak tahu siapa dia. Tidak tahu kerangka berpikirnya. Ide-idenya. Saya sendiri juga baru tahu, ternyata ada ratusan judul tulisan RA. Kartini.
Yang kita kenal hanyalah "Habis Gelap Terbitlah Terang", karena sering diulang-ulang di sekolah dasar. Tapi itu pun hanya sebatas judulnya saja. Tidak tahu isinya. Pasti sebagian besar kita dan anak muda sekarang belum pernah membacanya.
Habis Gelap Terbitlah Terang, sebenarnya memuat hanya sebagian dari buku aslinya yang berjudul, " Door Duisternis Tot Licht" yang terbit tahun 1911, tujuh tahun setelah kematian Kartini. Isinya adalah 105 pucuk surat yang diedit dari ratusan surat pribadi kepada teman-temannya.
Buku ini cepat meluas di Belanda karena simpati masyarakat pada cita-cita Kartini. Penyebaran buku ini dibiayai oleh banyak gereja, yayasan, dan juga sumbangan dari Ratu Kerajaan Belanda. Hasil penjualan itu dipergunakan untuk membangun sekolah-sekolah Kartini di Indonesia. Buku ini pun diterbitkan di Amerika, Rusia, Spanyol dan Tiongkok.
Judul "Habis Gelap Terbitlah Terang" dipetik dari judul lagu gereja Belanda: "Daar is Uit's Werelds Duistere Wolken Een Licht Der Lichten Opgegaan".
RA. Kartini lahir dan tumbuh di lingkungan kerajaan. Lahir dari ayah seorang Patih, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat --- kemudian menjadi Bupati Jepara setelah Kartini lahir. Ibunya Ngasirah, orang biasa, seorang selir. Istri pertama tapi bukan utama karena bukan bangsawan. Saat itu, aturan kolonial mewajibkan seorang Patih harus menikah dgn keturunan bangsawan. Istri utama (permaisuri) sang Patih adalah Raden Adjeng Woejan, keturunan langsung Raja Madura.