Sastra

Cerpen | Obituari Bertha

Jumat, 30 April 2021, 10:14 WIB
Dibaca 630
Cerpen | Obituari Bertha
dari cerpen ke novel. ada jurus khususnya.

HALIMUN masih menyisa dingin pada ujung daun. 

Ungu pada bunga bungur  gugur. Melayang-layang di udara. Diterbangkan angin di pengujung tahun. Oranye warna boungevil seperti membias keping-keping  mimpi tak bertepi. Berbaris rapi. Menyambut pagi tiba. Berjajar dengan riang sepanjang tol masuk bandara Soekarno-Hatta

Aku melirik arloji di pergelangan tangan. "Ehm, benar juga," batinku. Tak keliru  Brigjen Supardjo jelang Gestapu dulu bilang Jakarta tak pernah tidur! Subuh pun jalanan Jakarta tetap padat merayap.

Dari rumah aku sudah berangkat 2,5 jam sebelum waktu check in. Kini tinggal 40 menit lagi. Taksi berhenti persis di depan terminal 1 A. Dan aku buru-buru masuk ruang keberangkatan pesawat.

Ransel kulepas. HP kukeluarkan dari saku dan langung masuk dalam box untuk di-screen. Namun, setelah lewat petugas pemeriksaan bandara, lagi-lagi aku sebal.

Tit, tit, tittt! Alat detektor berbunyi. "Apalagi sih, Pak?" tanyaku. "Orang bawa barang terlarang beneran kalian gak tahu. Saya yang gak bawa apa-apa malah dicurigai!" aku menunjukkan rasa kesal pada petugas. "Kalian memperlambat waktuku yang sangat berharga! Kalian hanya membuat saya ditinggal pesawat."

"Maaf, pak! Ini prosedur. Alat kami mendeteksi logam di kepala ikat pinggang Bapak!"

"Asem!” kata saya seraya berlalu sesudah meraih semua barang bawaan.

Tiba di loket check in, saya menunjukkan e-ticket dan KTP.

"Semua penumpang sudah boarding. Tinggal Mas!" ketus petugas. Senyumnya masih ramah. "Tinggal satu seat di muka, eksekutif. Mestinya ditinggal, tapi sepertinya mas perlu jadi kami tunggu. Mas di 01-F. Gak ada bagasi?"

Aku menggeleng lalu mengangguk. Tak tahu bahasa tubuh yang tepat bagaimana menyatakan sesungguhnya.

Segera aku ke arah ruang tunggu dan hanya lewat saja di situ. Buru-buru menuju pesawat yang hanya menungguku untuk segera take off. Sampai di pesawat, berdiri dua pramugari di muka pintu. Satunya tinggi semampai. Ketika berada di depannya, aku hanya sebahunya saja. Satunya sedang, kulit kuning langsat, rambut lurus tergerai, senyumnya ramah.

"Aduuuh, Mas bro! Hampir saja ketinggalan pesawat," celoteh yang tinggi semampai. Aku hanya senyum. Kemudian berlalu. Mencari seat-ku. Memasukkan ransel ke bagasi di atas. Duduk. Lalu mengunci sabuk pengaman.

Sejenak aku mencuri pandang ke arah pintu pesawat yang masih terbuka. Pramugari tinggi semampai jongkok. Ia akan menutup pintu pesawat. Ketika itulah darahku serasa berhenti mengalir. Pemandangan depan mataku sungguh menggoda.

Dari celah-celah kain kebayanya yang terbelah aku menyaksikan keindahan sempurna. Jantung serasa berhenti memompa dan menghentikan alirkan darah ke segenap penjuru tubuhku. Inikah namanya cinta pada pandang pertama? Aku serasa dibimbing melafalkan syair lagu lawas yang dipopulerkan kembali Sheila Majid.

***
PRAMUGARI tinggi semampai itu jongkok. Tangannya lincah memegang gagang pintu pesawat. Kakinya yang jenjang ia naikkan sedikit. Terlihat sesuatu di balik belahan sarung kebayanya. “Jeger, jeger, tup!” dengan lincah ia menutup pintu pesawat hanya sekali putar.

“Sukses!” ucapnya sembari mengosok-gosokkan kedua belah tapak tangannya. Jemarinya lentik. Cat kukunya tidak begitu terang warna alami. Aku memperhatikannya.

Raungan mesin pesawat yang semakin keras menandai lepas landas. Selama menukik ke udara dan belum stabil, pramugari penutup pintu minta izin duduk di sampingku. Seperti penumpang lain, ia kenakan sabuk pengaman sementara kawannya yang lain memperagakan alat keselamatan.

Betapa anggun dan cantiknya ia mengenakan kebaya polos sarung batik. Ia duduk dekatku. Belahan sarungnya ia biarkan menganga.

“Mas bro, maaf ya. Mau aku ambilkan koran apa? Ingin baca apa?”

Aku jadi grogi. “Ehm… belum mau baca. Terima kasih.”

“Atau baca ini saja? Ada artikelku lho,” katanya. Ia menyodorkan berkala maskapainya. Ia tunjukkan halaman yang memuat artikelnya. Sebuah feature tentang upacara Naik Dango.

Ia terus mengajakku ngobrol. Banyak hal ditanyakannya. Yang tak kusangka ialah, “Mas bro sudah married?”

Aku tak menjawab. Aku anggap ia hanya melakoni tugas sebagai duta maskapai yang ramah tamahnya hanya dibuat-buat, bukan keluar dari hati yang murni.

“Ah, kamu hanya pura-pura ramah saja. Bukankah setiap pramugari sebagai front liner berhubungan langsung dengan penumpang diwajibkan ramah pada semua penumpang?”

“Memang demikian. Tapi penumpang satu ini istimewa.”

“Karena terlambat?”

“Bukan. Karena aku suka.”

Suka? Suka apanya? Aku merasa heran. Aku merasa biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Postur tubuhku sedang-sedang saja, bahkan terbilang agak mungil. Tinggi 164 cm dan berat 58 kg. Dibanding dirinya kalah jauh. Kutaksir, tinggi pramugari itu lebih 10 senti dariku. Bobotnya kurang 3 kg dibanding aku. Sangat ideal. Diam-diam, ada getar aneh merayap perlahan di sekujur tubuhku. Asalnya dari dada. Getar yang baru kurasa ketika pertama bertemu wanita yang bukan muhrimku.

“Ke Pontianak dinas kantor?” ia bertanya.

Aku bingung harus menjawab apa. Tercenung. Benar-benar tak mengira ia bertanya demikian.

“Terbang biasa saja!”

“Ah, masa. Pasti cari bahan untuk menulis. Wawancara narasumber, begitu?”
 Aku hanya bisa melongo. Menahan napas. Sepertinya wanita udara ini melebihi paranormal. Tanpa diberi tahu, ia sudah mafhum. Di hadapannya, aku merasa begitu telanjang. Akhirnya aku mengangguk.

Aku melepas pandang keluar jendela. Pesawat terbang menembus awan. Segumpal tampak begitu pekat. Ada rasa seperti ketika naik mobil ketika berada di atas polisi tidur. Ternyata, di udara ada juga polisi tidurnya.

“Kau memandang apa?”

“Memandang apa saja.”

“Kau pasti sedang melihat awan hitam,” katanya. Lagi-lagi aku dibikin kaget. Ia bisa membaca pikiran dan isi hatiku.

Aku memberanikan diri menoleh ke arahnya. Kubaca pin yang melekat tepat pada dada sedikit di atas sebelah gunungnya yang berlekuk indah: BERTHA.

“Kau lihat apa?” tanyanya.

“Aku melihat nama seorang enjel udara,” sahutku sekenanya setengah gugup.

“Ah, masaaak!” ia menyela. Lagi-lagi aku dibikin kaget. Ia seperti tahu aku memang mengeja namanya, tapi sebenarnya lama terpana menatap gundukan bawah pin namanya. Sungguh indah. Dari balik bajunya aku bisa melihat lekukan-lekukan seperti lorong, lumayan terjal, sepolos pualam, yang pasti membuat betah cecak berada di sana.

“Mas bro pengarang, ya?” ia bertanya.

Aku hanya diam.

“Aku demen baca. Nulis sih hanya sekadar hobi. Tapi pernah sekali cerpenku dimuat Horison.”

Mendengar Horison, aku kaget. Lalu duduk tegak. Jika seseorang sudah bisa menembus majalah itu, bukan main-main pikirku. Aku hanya bisa melongo ke arahnya. Wajahya bersemu merah. Ia menunduk. Selekuk pipinya seperti memar.

“Apa ada yang aneh dengan kataku?” ia balik bertanya.

Aku menggeleng.

“Hanya aneh, cerpenis kesasar jadi pramugari.”

Ia hanya tertawa.

“Karena itu, aku akrab dengan wajah mas bro. Aku membaca profil pengarang Indonesia di Leksikon Susastra Indonesia. Dan aku yakin, salah satu pengarang muda itu adalah mas bro,” katanya. “Wajah Mas bro unik. Pasti kamu.…”

Pesawat membentur awan. Kami bergetar. Namaku batal disebutnya. Aku terpana. Ia tahu rupanya. Wawasannya sungguh luas.

Ia lalu menyodorkan kepadaku secarik kertas dan sebatang ball point. “Aku minta dibuatkan Obituari.”

“Obituari? Gak salah?” aku bengong.

“Ya, gaklah….”

“Bukannya biografi?”

“Bukan!”

“Obituari? Gak salah?” sekali lagi aku meyakinkannya.

“Ihhh, benarlah Mas bro!” katanya seraya mata melotot. “Artinya berita kematian seseorang yang dimuat dalam suatu media, disertai dengan riwayat hidupnya kan?”

“Husssh!” kataku sembari menempel telunjuk di mulut. “Kamu bicara apa? Masih muda jangan omong soal obituari.”

“Gak masalah, kan? Kini sudah bukan tabu. Toh banyak di medsos, terutama Fb, ramalan mengenai akhir kehidupan seseorang termasuk karena apa?”

“Omong apa kamu ini!” aku menyela seraya mengalihkan ke pembicaraan lain. Ketika ia pun beranjak dari kursi lalu kembali menunaikan tugasnya sebagai pramugari. Pesawat siap-siap akan mendarat di lapangan udara Supadio. Tak terasa waktu berlalu sudah sejam lamanya.

“Pokoknya, selama 10 menit ini, sebelum keluar pesawat, aku sudah mendapat inti Obituari itu,” pesannya.

Aku melongo.

Sepeninggalnya menunaikan tugas sebagai pramugari, aku berusaha mencoret-coret permintaannya. Aneh. Sungguh aneh. Benar juga kata pakar komunikasi, Leslie Rae bahwa menulis pendek jauh lebih sulit daripada menulis panjang. Aku sulit menulis saat ini, meski menulis pendek sekalipun. Mana otakku buthek begini. Lagipula kaget separuh schock bertemu angel udara yang kuanggap aneh bernama Bertha.

Tak banyak yang bisa kutulis untuknya. Hanya beberapa baris saja.

 ***

14 Februari, di Hari Valentine.

Sebuah berita tersiar stasiun TV. Pesawat Love Air jatuh di perairan antara Tanjung Pandan dan Pontianak setelah sempat hilang kontak.

Tak seperempat tercatat di secarik kertas itu Obituari Bertha yang kutulis asal saja. Ketika pesawat pun seperti menghunjam perut bumi Khatulistiwa.

Pramugari tinggi semampai itu kembali menunaikan tugasnya. Membuka pintu pesawat sambil berjongkok terlebih dahulu. Kali ini seperti sengaja. Belahankain sarung kebayanya menghadap lebar ke arahku. Kembali sedetik jantungku berhenti berdetak.

Karena menempati kursi paling muka, aku duluan turun. Setelah mengambil ranselku di atas, aku pun turun tangga pesawat.

“Ini Obituarimu,” kataku sembari menyodorkan kertas yang terlipat.

“Ma kasih ya Mas bro,” katanya sembari tangannya menyalamiku. Diselipnya secarik kertas di genggam yangan yang letik itu. Aku menuruni tangga dengan langkah goyah dan dada gemetar. Sudah sampai di ruang kedatangan, baru aku membukanya. Nomor PIN BB-nya.

***

GERIMIS yang rinai mengantarku keluar ruang kedatangan bandara Supadio. Mencari taksi berjalan kaki beberapa langkah, tapi gegabah, ketika memasukkan ransel ke bagasi taksi, secarik kertas itu jatuh. Aku memungutnya. Lalu mengusapnya dengan gemetar. Isi tulisan kertas ini sangat penting. Aku harus menyimpannya.

Dua minggu wawancara narasumber di Pontianak. Aku terpana suatu pagi ketika breakfast. Aku selalu mengambil meja makan depan layar TV. Hari itu 14 Februari 2015. Terbetik kabar mengejutkan sekaligus mengenaskan. Sebuah pesawat jurusan Jakarta – Pontianak jatuh setelah kehilangan kontak.

Astaga! Semoga bukan pesawat yang pintunya dibukakan pramugari tinggi semampai, doaku. Aku berusaha tenang. Semoga bukan. Semoga bukan! Aku merogoh kantong mengeluarkan dompet. Kubuka secarik kertas kusam. Tertera Pin BB di sana. Aku menyesal tak sempat invite.

Dengan jantung berdebar aku mengikuti perkembangan. Satu demi satu nama korban terbaca pada overlay graphicTV. “Aman!” aku merasa lega. Tak ada namanya dalam senarai korban.

“Satu lagi pemirsa,” kata reporter lapangan. “Baru kami terima data korban, yakni….” sembari wajahnya penuh empati, seolah-olah sang reporter turut merasakan dalamnya duka peristiwa nahas itu. “Bertha Valentine Setiani”.

Tak salah lagi. Pramugari tinggi semampai penutup dan pembuka pintu pesawat salah satu korban pesawat nahas itu.

Aku menyesal.

Telah sembarangan menulis obituarinya. ***

Tags : sastra