Sastra

Cerpen | Guruku Istriku

Rabu, 20 Januari 2021, 06:34 WIB
Dibaca 1.029
Cerpen | Guruku Istriku
dokpri

Pikiranku liar. Tak Ubahnya seperti babi hutan yang terluka saat ditombak pemburu. Aku coba menghentikannya namun tidak kuasa. Semakin aku berusaha menghentikan pikiranku dalam pengembaraan semakin dahsyat saja keliaran itu.

Berawal dari perkenalan di kelas. Ada guru baru ditugaskan ditempat aku menuntut ilmu. Ia masuk kelas didampingi oleh kepala sekolah. Aku tahu sedikit tentang guru baru ini saat kepala sekolah menjadi inspektur upacara. Ditengah-tengah jeda upacara kepala sekolah mengumumkan disamping pengumuman inti menyelipkan perkenalan guru Baru. Itu pun secara singkat saja.

Tidak diduga, ternyata hari itu ia masuk di kelasku. Ia tersenyum kepada semua siswa. Tidak terlihat ia sebagai guru yang galak. Tidak juga sebagai guru yang dapat dimainkan oleh murid. Setelah kepala sekolah meninggalkan ruangan kelasku, tinggal sendirilah guru baru ini. Ia tidak duduk. Hanya berdiri disamping kursi guru.

Rambutnya panjang namun terikat rapi. Antara baju dengan rok yang dikenakannya sangat serasi. Wajahnya manis dan menarik. Lipstiknya tidak terlalu tebal. Memerah sedikit menghiasi bibirnya. Pinggangnya langsing. Jari tangannya lentik dengan kuku yang sejajar dengan jari. Namun dibawah dagunya ada yang menggumpal. Sangat ranum. Menarik untuk dilihat. Entah mengapa perhatianku ada di area itu. Apakah aku tergolong siswa yang porno? Tidak juga. Melihat bagi ku tidak masalah kecuali menginginkannya kata guru sekolah adalah badosa.

Ia pun mulai menyapa. Berlanjut dengan menanyai satu persatu nama murid di kelas. Mulai dari menyebut nama. Tinggal dimana. Menggunakan sarana-prasarana apa datang ke sekolah. 

Masih ada orang tua atau tidak. Jumlah bersaudara. Hobi dan cita-cita ke depannya. Tanpa terasa satu jam setengah sudah berlalu. Semua siswa baik Laki- laki maupun perempuan sangat suka dengan cara guru ini. Ternyata guru ini tidak sekedar menanyai tetapi mencatatnya dalam buku kecilnya.

Sebelum meninggalkan kelas ia menyatakan diri sebagai wali kelas untuk menggantikan wali kelas kami yang akan pindah tugas di kabupaten lain yang ada di Kalimantan Barat.

Osang itulah namanya. Nama yang disebutkan oleh kepala sekolah saat jeda upacara bendera. Nama yang disebutkannya sendiri saat perkenalan di kelas. Nama yang sangat mengganggu pikiranku. Saat ia menanyaiku, aku gemetaran. Mukaku memerah kata kawan sebangkuku. Sempat terbata-bata tetapi akhirnya selesai juga. Gawat kalau sudah begini. Aku tidak tahu kenapa ada yang berbeda. Aku harus mampu menguasai keadaan.

Tiga bulan sudah berlalu sejak perkenalan dan diperkenalkan aku bukannya semakin mampu menguasai diri. Malah kenekatan yang memuncah. Aku ingat hari itu saat akan menyerahkan tugas pekerjaan rumah. Kuantar secara pribadi dengan buku tulis baru. Kuantar ke kantornya. Saat tidak ada guru di kantor. Kukatakan dengan berharap khusus untuk buka tugasku sebaiknya rumah dinasnya. Murid mengatur guru. Ini sudah tidak wajar.

Seminggu sejak aku menyerahkan buku Pekerjaan rumahku. Guru yang bernama Osang sangat berubah. Ia bersikap tidak biasa lagi. Bukannya ramah melainkan galak. Ia tidak lagi menatapku secara bersahabat. Mulai menatap secara sinis. Buku yang lain dikoreksi dan dikembalikan. Sementara bukuku tidak.

Aku ingat hari itu hari jumat. Sebelum pelajaran berakhir. Ia meminta tolong kepadaku. Meminta tolong membawakan buku dari kantor ke rumah dinas yang tidak jauh dari sekolah.

Guru meminta tolong kepada muridnya untuk hal-hal yang ringan sering terjadi. Membawa setumpukan buku bagiku sangat ringan. Kalaupun tumpukannya menggunung bagiku bukan masalah. Apalagi yang meminta tolong adalah guru Osang. Rumah dinas diperuntukkan untuk guru-guru baru yang belum punya rumah. Jaraknya dari gedung sekolah kurang lebih dua ratus meter. Namun jarak pandang dari rumah dinas ke gedung sekolah atau sebaliknya dari gedung sekolah ke rumah dinas terhalang oleh pepohonan.

Aku mengikutinya dari belakang dengan membawa buku siswa yang akan dikoreksinya. Katanya mengoreksi di rumah dinas jauh lebih tenang dan konsentrasi dibandingkan di sekolah. Bagi dia pekerjaan di sekolah dapat juga dikerjakannya di rumah.  Asalkan pekerjaan di rumah tidak dibawa dan dikerjakan di sekolah.

Saat tiba di rumah dinas, ia memintaku meletakkan buku-buku di meja kerjanya. Kuletakkan semua. Kutata rapi sesuai daftar absensi. Ia mengambilkan air minum dan menyodorkan kepadaku.

 “Udo minumlah, hanya air putih yang ada”.

“Tidak usah bu” jawabku. Tetapi akhirnya kuteguk juga. Kami tidak berlama-lama di ruang tamu yang sepi. Dia mengajakku di talobo rumah yang ada kursi dan mejanya. Dia memintaku tidak langsung pulang melainkan memintaku duduk di kursi yang ada di talobo.

Di talobo udara sangat segar. Dengan pemandangan yang indah. Sekalipun sudah siang rindangnya pohon bintawa, pohon ruku, pohon tampi, pohon angkabakng membuat sekitarnya teduh. Ditambah lagi adanya bunyi buria, bunyi keto dan sesekali bunyi burung binau yang memutar-mutar dilangit biru.

Aku duduk di kursi yang ada di pinggir. Sedangkan Bu Osang memilih menduduki kursi yang dekat pintu. Sebelum duduk, bu guru membawa setumpukan buku tugas siswa. Di atas tumpukan itu aku mengenali bukuku. Guru Osang mengambil bukuku. Dan menyodorkannya kepadaku. Lalu memintaku untuk membacakan dengan bersuara dan perlahan.

Aku tidak saja salah tingkah. Tetapi gementar. Kucuran keringat mulai membasahi bajuku. Padahal embusan angin alami cukup kencang menerpa kami. Aku tidak bisa membuka mulutku. Aku tertunduk. Dengan memegang buku yang belum terbuka. Terdengar suara dari mulut guru Osang: ”Berani berbuat berani bertanggungjawab, hanya membaca saja dan tidak harus bersuara keras. Ayo baca!”.

Aku akhirnya memberanikan diri. Di tangannya ada buku dan pensil. Ia mengarahkan pandangannya ke arahku. Jika ada orang yang melihat ke arah kami, orang tidak akan curiga. Ada jarak diantara kami yakni sebuah meja. Kami saling berhadapan.

Aku pun mulai membacakan tulisanku sendiri di buku tugas. Demikian isi tulisan itu:

 “Ibu guru Osang. Jarak usia dan status kita berbeda. Aku seorang murid yang tidak saja kagum. Lebih dari itu. Aku tidak dapat mendefinisikan perasaanku kepada mu. Aku tidak dapat. Aku berusaha mengalihkan rasa itu. Aku tak kuasa. Ibu mungkin sudah dapat mengetahui tingkahku. Aku malu. Namun aku memberanikan diri.

Dalam buku tugas ini sengaja kutulis serapi mungkin untuk mewakili seluruh jiwaku kepada Ibu guru, bahwa aku suka padamu. Sekalipun akhirnya aku akan tertolak. Penolakan tidak akan meniadakan rasaku ke padamu.

Maafkan aku telah mencintaimu, dari seorang muridmu, Udo.

Udo berhenti membaca. Membaca tulisan tangannya sendiri. Tulisan yang mengungkapkan suatu rasa. Rasa yang tidak biasa. Dan ini yang pertama. Sebelumnya tidak pernah ada. Banyak adik kelas. Kakak kelas dan yang satu kelas dengannya, murid perempuan Dayak yang cantik jelita. Kulit putih. Rambut panjang. Senyum manis. Tetapi satu orang pun tidak ada yang ada dalam pikiran dan perasaannya.

Seperti seorang pesakitan di ruang penyidik KPK, Udo tertunduk. Ia tidak berani menatap Ibu Guru Osang.

Ia benar-benar tidak tahu diri. Tidak sopan. Melanggar etika dan adat- istiadat Suku bangsa Dayak. Dalam adat-istiadat bahwa orang yang lebih tua apalagi seorang guru harus dihormati bukan untuk dicintai.

Tiga puluh tahun kemudian….

Dalam acara renunian akbar di sekolahnya SMP Swasta Rinjuang Mentonyek di pedalamam Kalimantan Barat.

Udo menggandeng tangan seorang perempuan. Di gandengannya tangan itu secara erat.  Udo dan pasangannya seperti mau pamer kepada sesama alumni bahwa mereka adalah pasangan serasi.

Lalu Mereka menulis di buku tamu dengan nomor urut 40. Udo dan Osang. Itulah nama yang tertera di buku tamu.

***

Catatan:

- Osang adalah nama yang banyak digunakan untuk anak perempuan.

- Udo adalah nama kebanyakan yang diberikan oleh orang tua untuk anak laki-laki.

- Badosa adalah sebutan untuk perbuatan yang salah, yang tidak benar, yang berdosa.

- Bintawa, tampi, angkabakng, ruku adalah nama jenis pohon yang buahnya dapat dimakan

- Keto, Buriak dan Binau adalah nama jenis burung yang sering kali dianggap membawa pesan penting   dalam komunitas Dayak Kanayatn . Burung yang dikeramatkan. 

- Talobo adalah pendopo rumah yang digunakan untuk bersantai yang zaman dahulu sering dijumpai   diperkampungan Dayak Kanayatn

- Angkabakng adalah tengkawang.