The History of Dayak (10) Masa Peralihan : Dari Hindia Belanda ke Pendudukan Jepang
Borneo, sebagai sebuah kepulauan terbesar ke-3 dunia (743.330 km²), rupanya tidak mudah untuk disatukan dalam satu pemerintahan yang terpusat. Apalagi, kondisi geografi dan transportasi berabad yang silam jangan dibayangkan seperti sekarang.
Mencapai Borneo dari tepi ke tepi bisa bertahun-tahun. Ekspedisi para botanolog (Nieuwenhuis, 1894) melintas Kapuas Mahakam, Karl Helbig, atau Muller Schwaner telah membuktikan betapa beratnya medan itu, dan betapa tidak mudah medan perjalanan dilalui.
Pertimbangan kolonial Hindia Belanda bukan seperti yang dipikirkan saat ini yang menjadi pusat kendali atas Borneo. Bukan Paser Penajam, bukan Kalimantan Timur. Namun, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Undang-undang tentang reorganisasi pemerintahan kolonial Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1922 boleh dikatakan tonggak penting bagi pembangunan sistem pemerintahan penjajah di bumi Borneo. Dikenal dengan nama Bestuur Shervorningswet, undang-undang dimaksud berlandaskan kepada Decentralisatie Wet dan Decentralisatie Besluit dari pemerintah Kolonial.
Dengan dikeluarkannya undang-undang itu, terbuka kemungkinan untuk dibentuknya daerah-daerah otonomi yang lebih besar lagi dari apa yang disebut dengan gewest lama dengan apa yang disebut dengan provincie.
Dalam rangka Bestuur Shervorningswet Stb. 1936 Nomor 68, ditetapkanlah ordonansi tentang pembentukan Gouvernementan Sumatra, Borneo dan Groote Oos sebagai wilayah administratif. Masing-masing wilayahnya dikepalai oleh seorang gubernur. Ordonansi tersebut diberlakukan mulai 1 Juli 1938.
Nah, pertimbangan kolonial Hindia Belanda bukan seperti yang dipikirkan saat ini yang menjadi pusat kendali atas Borneo. Bukan Paser Penajam, bukan Kalimantan Timur. Namun, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Gouvernementan Borneo ditetapkan Banjarmasin sebagai ibukotanya. Terdiri atas dua wilayah residensi. Yang pertama adalah Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo yang ibukotanya adalah Banjarmasin. Dan yang kedua adalah Westerafdeling van Borneo dengan ibukotanya Pontianak.
Struktur pemerintahan bangsa kolonial di Borneo ini masih berlaku hingga zaman pendudukan Jepang. Yaitu di mana Kalimantan Barat masih berstatus sebagai Residentie Administrative (Syuu) sebagai bagian dari Borneo Manseibu Cokan.
Akan tetapi, usai Perang Dunia II, wilayah Westerafdeling van Borneo dikuasai oleh Nederlands Indies Administration (NICA). Dan dengan besluit (Surat Keputusan) Nomor 8 Tahun 1948, Borneo Barat diakui sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DKIB) yang berpemerintahan sendiri dengan kelengkapannya, yakni adanya sebuah Dewan.
Hindia Belanda Hengkang, Jepang Datang
Dalam sebuah grand design mendirikan Negeri Timur Jauh, Jepang memandang Pulau Borneo sangat strategis dari sisi letaknya sehingga menjadi incaran serius. Betapa tidak! Borneo merupakan gugusan yang sambung-menyambung dari utara ke selatan, yakni kepulauan Jepang, Formosa, Borneo, dan Celebes. Dalam Perang Asia Timur Raya, ada kecenderungan Negeri Matahari Terbit hendak menyatukan gugusan pulau-pulau tersebut menjadi sebuah wilayah kekuasaannya.
Kota-kota di sepanjang pantai Laut Cina Selatan seperti Sambas, Pemangkat, Singkawang, Mempawah, Sei Pinyuh hingga Pontianak amat strategis dan menguntungkan bagi Jepang sebagai benteng pertahanan dalam perang Asia Timur Raya. Pada masa pendudukannya, Jepang telah membentuk pemerintahan di Borneo Barat dengan membentuk tiga karesidenan dengan menambah wilayah baru, Kalimantan Timur dengan Samarinda sebagai ibu kotanya.
Borneo Barat pada waktu pendudukan Jepang di bawah pemerintahan Angkatan Laut (Kaigun) yang diberi nama Borneo Minseibu Cokan yang berpusat di kota Banjarmasin[1]. Borneo Barat masih tetap berstatus Minseibu Syuu yang dikuasai Syuu Tizi. Nantinya, pemerintahan bentukan Jepang ini berakhir tatkala pada tahun 1945, digeser oleh pemerintahan bentukan Belanda, Nica[2].
Untuk melancarkan usahanya menduduki dan menguasai Borneo Barat, Jepang telah mendaratkan sejumlah warganya jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti yang dilakukan kompeni Hindia Belanda dengan pembentukan VOC, demikianlah Jepang pun membuka perusahaan-perusahaan dagang di Borneo Barat. Tujuannya tidak lain: untuk menguasai. Dalam hal ini, awal yang seolah-olah tampak baik, bisa berakhir buruk. Itulah bentuk penundukan, hegemoni, yang senantiasa terselubung maksud dan tujuannya.
Fukuyama yang dikenal dengan Fuku Company masuk jalur perdagangan perkayuan dan perkeretaan. Nakahara Fuji Company fokus pada perdagangan kelontong dan barang pecah belah. Nomur Trading Co bergerak dalam usaha onderneming karet dan perusahaan besar. Honda adalah perusahaan yang menguasai toko potret dan usaha potret memotret. Sementara Sumitomo Kabushiki Kaisyo adalah perusahaan yang menguasai sawmill di Borneo Barat dan daerah lain
Pada 19 Januari 1942, kota Pontianak dibom. Peristiwa pemboman itu diberitakan ke seluruh pedalaman. “Akibatnya, banyak orang kebingungan,” seperti dicatat kata van Hulten yang pada saat itu bertugas di pedalaman Kalimantan Barat.
Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Barat, terutama yang sudah menganut ajaran Katolik, hubungan dengan para pastor, bruder dan suster, sangat akrab. Para misionaris ini adalah pemimpin rohani bagi orang Dayak.
Jepang melihat tidak ada usaha lain yang lebih cepat untuk melaksanakan maksud itu, kecuali tindakan pembunuhan massal atas semua penduduk Kalbar usia 15 tahun ke atas. Usaha ini dimulai dengan menangkap, menculik, dan menyekap, kemudian menghabisi penduduk secara kejam.
Di Kalimantan Barat, tindakan menghabisi penduduk yang dianggap melawan dan tidak sudi tunduk pada Jepang ini dikenal dengan “sungkup”. Yakni tindakan Jepang yang mula-mula menculik, lalu menutupi kepala korban yang kemudian dimasukkan dalam karung goni untuk seterusnya dihabisi tanpa kompromi.
Lokasi yang menjadi ladang pembantaian oleh Jepang adalah Mandor[3]. Tak terhitung korban rakyat kebanyakan, namun tokoh lokal setempat memang tercatat “hanya” 48 saja. Ini pun menurut versi Borneo Sinbun, sebuah suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang.
Dengan masuknya Jepang ke Kalimantan Barat, maka para pastor, bruder dan suster yang berasal dari Nederland (Belanda), termasuk yang bertugas di pedalaman, dikumpulkan di kota Pontianak. Maka pada tanggal 14 Juli 1942, perjalanan dengan kapal laut menuju ke utara dari Pontianak dimulai. “Dengan bisik-bisik kami bertanya kepada awak kapal, kemana gerangan kapal menuju.” “Ke Kuching,” jawabnya. Memang pada masa Jepang berkuasa, sebanyak 100 pastor dan bruder Belanda, serta 300 suster Belanda dan Inggris bersama anak-anak dan wanita Belanda ditawan di Kuching (Sarawak) oleh Jepang. Kisahan mengenai internir tersebut, dibahas oleh Hulten dalam Hidupku di antara Suku Daya (Grasindo, 1992) di mana saya memberi Catatan Awal untuk mengantar Pembaca.
Apa dampaknya bagi orang Dayak di pedalaman? Hanya tinggal satu orang pastor pribumi yaitu Adikaryana, SJ yang memberi pelayanan kepada umat Katolik di pedalaman. Beruntung apabila di stasi-stasi (stasi adalah lingkungan di bawah paroki) terdapat tenaga katekis peninggalan pastor yang ditawan Jepang. Katekis-katekis ini adalah orang Dayak. Mereka inilah yang membantu pastor A. Adikaryana, S. J. memelihara iman umat Katolik.
Setelah tiga tahun ditawan di Kuching Sarawak, tanggal 4 Desember 1945 para pastor, bruder, dan suster (ada beberapa orang yang meninggal di tahanan Kuching), tiba kembali di Pontianak. Dan pada Maret 1946 mereka boleh pulang ke paroki atau biara masing-masing, menyusuri sungai Kapuas dan cabang-cabangnya serta sungai-sungai lain untuk bertemu dengan umat Katolik.
Saat pemerintahan dikuasai oleh kolonial Jepang, nasib orang Dayak tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan semakin buruk. Orang Dayak tetap menjadi hamba bagi penguasa dan raja-raja lokal beserta pengikutnya. Bagi pemerintahan kolonial Jepang, masyarakat Dayak tidak ada artinya.
Hubungan rakyat dengan tentara Jepang sangat buruk. Karena rakyat tidak tahan lagi melihat perlakuan orang Jepang yang kejam, main pukul, sandang pangan tidak ada. Puncaknya adalah perang melawan kolonial Jepang. Perang yang cukup sengit ini terjadi di daerah Meliau, Kabupaten Sanggau, yang disebut perang "Madjang-Desa". Nama ini diambil karena nama para panglima perangnya berasal dari Madjang (Dayak Iban) dan dari suku Desa di Meliau. Para panglimanya adalah Pangsuma, Pang Linggau, Pang Iyo, Pang Doesi, Pang Rati, Pang Ranggon, Djampi bin Sangga, dan Panglima Burung. Tujuannya adalah untuk mengusir orang Jepang dari daerah Meliau dan sekitarnya (M.Y. Tui “Obi Lintang Barugo”).
Jadi, bukan hanya Pangsuma. Ada banyak tokoh Dayak terlibat aktif di dalamnya. Salah satu di ataranya adalah Pang Budjang (Panglima Budjang), ayahnda Uskup Agung Pontianak saat ini, Mgr. Agustinus Agus (Dengarkanlah Uskupmu, 2020: 41-49).
Dalam suatu riset, yang dibiayai oleh Jakob Oetama (2015), saya dan Tim (Yayasan Rindang Banua) menemukan fakta sejarah yang berikut ini.
Kronologi perang melawan kolonial Jepang adalah sebagai berikut:
- Tanggal 13 April 1945 mereka menyerang orang Jepang di Sekutjing-Labai dipimpin oleh Pangsuma dan Pang Linggau. Hasilnya menewaskan Osaki sebagai pimpinan perusahaan Jepang.
- Tanggal 3 Mei 1945 Pangsuma dan pasukannya menuju kampung Embuan dan Kunyil (pusat pemerintahan darurat) untuk menyusun rencana dan mengumpulkan pasukan.
- Tanggal 5 Mei 1945 pangsuma dibantu Pang Iyo, Pang Desi, Djampi serta pasukan, menyerbu rumah penginapan Jepang Nagatani, Yamamoto dan heiho M. Yamani.
- Tanggal 7 Juni 1945 penyerbuan kekota Meliau yang dipimpin Pang Doesi dengan kekuatan pasukan 1000 orang. Pang Badjung dari Kampung Meranggau gugur.
- Tanggal 27 Juni 1945 penyerbuan kedua ke kota Meliau, dengan pasukan dua kali lipat.
Pangsuma dibantu oleh Pang Linggau, Pang Ranggon dan Pang Rati. Pangsuma gugur dalam pertempuran ini. Demikian juga Pang Linggau dan Apay bin Modang dari kampung Kunyil Embuan. Gugurnya Pangsuma karena dikhianati rakyatnya sendiri.
Baca Juga: Antonino Ventimiglia dan Orang Dayak
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, suku bangsa Dayak belum mengalami kemajuan berarti. Keterbelakangan dan marginalisasi dari pelbagai aspek masih saja terjadi, baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa setelah Jepang menyerah, dalam waktu yang sangat singkat, orang tidak dikenal mengambil senapan (bedil lantak) di kampung Lape dan Nyandang. Penduduk dua kampung tersebut etnis Dayak. Mereka tidak berdaya menghadapi sebuah kekuatan yang menghegemoni pada waktu itu.
Perlawanan terhadap Jepang dan Taktik Perang Dayak
Dimulailah sungkup[3] yang mengerikan itu dilancarkan Jepang. Seluruh kaki tangan dan karyawan di perusahaan Jepang dijadikan mata-mata yang dapat memberikan informasi penting bagi penambilan keputusan. Sedemikian rapinya, sehingga mata-mata Jepang tidak dicurigai dan tidak diketahui sama sekali.
Mata-mata yang paling tidak disangka-sangka ialah didatangkannya para gadis langsung dari Negeri Matahari terbit. Mereka dijadikan pelacur-pelacur yang bertugas memata-matai. Umpan-umpan menawan ini merupakan kaki tangan Jepang, sumber informasi rahasia dan sangat penting dan tidak mungkin didapat langsung oleh pemerintah kolonial.
Di kota Pontianak, tempat pelacuran gadis-gadis Jepang ini terletak di Kampung Bali. Kini tempat ini menjadi terminal angkutan kota dan di sekitarnya masih terdapat bangunan-bangunan kuno dan toko-toko semimodern. Tidak sedikit dari pelacur-pelacur Jepang ini yang diambil oleh pejabat lokal, bangsawan, dan pedagang pribumi sebagai gundik.
Sementara itu, terhadap sisa-sisa kaum pergerakan yang anti-Belanda pun didekati Jepang. Bahkan, untuk itu, disediakan dana khusus untuk menerbitkan surat kabar yang diberi nama Borneo Barat Bergerak (BBB). Tokoh dan pejabat lokal yang berhasil didekati Jepang adalah Gusti Sulung Lalanang, Haji Abdul Rais, dan Rachman.
Kampung Bali, Pontianak, sekarang persis di belakang Hotel Santika (Jalan Diponegoro, Pontianak). Dahulu adalah tempat mangkal para pelacur Jepang.
Jendral Hideki Tojo dan Monumen Makam Juang Mandor.
Akhirnya, saat rasionalisasi itu pun tibalah. Di bawah pimpinan Perdana Menteri Jepang, Jendral Hideki Tojo[5], Jepang melancarkan peperangan yang diberi nama Perang Asia Timur Raya. Perang besar ini dilancarkan Jepang dalam upayanya menguasai dunia.
Jendral Hideki Tojo dan Monumen Makam Juang Mandor, saksi kekejaman Jepang. Generasi muda Kalbar ditanamkan kesadaran kolektif atas peristiwa sungkup yang hingga hari ini masih membekas dan menorehkan trauma.
Jendral Hideki Tojo sudah berketetapan untuk mengibarkan panji-panji matahari terbit di Kalimantan Barat. Untuk itu, diperlukan tindakan revolusioner dan radikal: generasi muda usia 15 tahun ke bawah harus tetap tinggal, mereka adalah generasi yang mudah dibentuk menjadi, atau minimal mau tunduk, pada Jepang.
Jepang melihat tidak ada usaha lain yang lebih cepat untuk melaksanakan maksud itu, kecuali tindakan pembunuhan massal atas semua penduduk Kalbar usia 15 tahun ke atas. Usaha ini dimuai dengan menangkap, menculik, dan menyekap, kemudian menghabisi penduduk secara kejam.
Di Kalimantan Barat, tindakan menghabisi penduduk yang dianggap melawan dan tidak sudi tunduk pada Jepang ini dikenal dengan “sungkup”. Yakni tindakan Jepang yang mula-mula menculik, lalu menutupi kepala korban yang kemudian dimasukkan dalam karung goni untuk seterusnya dihabisi tanpa kompromi.
Lokasi yang menjadi ladang pembantaian oleh Jepang adalah Mandor[3]. Tak terhitung korban rakyat kebanyakan, namun tokoh lokal setempat memang tercatat “hanya” 48 saja. Ini pun menurut versi Borneo Sinbun, sebuah surat kabar Pemerintah Bala Tentara Jepang. Karena itu, perlu data dan informasi pembanding agar lebih berimbang.
Dalam konteks serangan luar biasa dari luar inilah, Dayak Kalbar tergerak. Karena itu, pada 3 Mei 1944 dimaklumkanlah Deklarasi Angkatan Perang Majang Desa. Dari bulan April hingga Agustus 1944, terjadi Perang yang dikenal dengan Perang Madjang Desa di Embuan Kunyil, Kec. Meliau Kab. Sanggau.
Partisipasi Dayak Jangkang melawan pendudukan Jepang, barangkali tidak ada yang mencatatnya. Selain bukan sebagai sesuatu yang luar biasa, juga eskalasi dan pengaruh Jepang di wilayah Jangkang pada saat itu tidak terlalu kentara dibanding di kota. Akan tetapi, peran mereka sebagai pasukan cadangan strategis dalam konteks perang suku, tidak bisa dimungkiri.
Seperti dicatat Herman Jozef van Hulten, salah satu tokoh Dayak Jangkang yang turut aktif dalam perang Majang Desa Adalah Aen[4]. Pada masa pendudukan Jepang, Dayak Jangkang banyak dikerahkan membantu perlawanan dan berjuang atas nama Majang Desa.
Tentara Jepang melakukan sikap berpura-pura terhadap kaum pergerakan (nissinkhai). Seakan-akan hendak membantu dan mau bekerja sama. Karena info dan isu dari para mata-mata, pada akhir tahun 1943 Jepang mengundang semua kaum pergerakan untuk menghadiri suatu konperensi yang diselenggarakan di Gedung Landraadweg (Jalan Jenderal Urip, Pontianak sekarang). Konperensi itu dihadiri oleh 500 utusan kaum pergerakan. Mereka terdiri atas para pemuda, alim ulama, kaum wanita, Sultan Sambas, para pangeran dan para panembahan di seluruh Kalimantan Barat, termasuk Sultan Sanggau waktu itu.
Dalam konperensi itu, Jepang mempergunakan wanita-wanita kaum pergerakan untuk menyelenggarakan konsumsi. Suatu tindakan yang menimbulkan marah luar biasa dari pihak Jepang terhadap kaum pergerakan ialah dimasukkannya racun-racun ke dalam minuman para opsir Jepang dengan maksud untuk membunuhnya. Walaupun maksud jahat tentara Jepang itu telah direncanakan sebelumnya, perbuatan meracuni itu telah menimbulkan kemarahan yang semakin menjadi-jadi. Gedung konperensi itu tiba-tiba saja dikepung dan disekap tidak seorang pun dapat melepaskan diri. Tamu-tamu kemudian diangkut dengan truk dibawa ke suatu tempat dan tidak pernah diketahui lagi nasibnya. Dari peristiwa itu penangkapan dan pembunuhan semakin mengganas dilakukan. Siapa yang dipanggil atau ditangkap oleh Jepang tidak pernah kembali lagi.
Pada tanggal 21 Desember 1943 sejumlah 23 orang pemimpin pergerakan ditangkap dan dihukum mati dengan jalan disembelih. Puluhan orang lainnya mati dalam tahanan karena kekejaman dan kelaparan. Sejumlah 750 orang lainnya kemudian dibantai habis. Gerakan illegal pimpinan BJ Haga, Gubernur Kalimantan, merencanakan akan melakukan pembrontakan pada bulan Juni 1943 setelah pemboman tentara sekutu. Tetapi rencana itu diketahui Jepang. Sedemikian rupa, sehingga Jepang menangkap dan menawan 275 orang yang dicurigai kemudian dimusnahkan seluruhnya. Malangnya, Gubernur Haga sendiri mengalami nasib yang lebih buruk.
Tindakan kekejaman dan pembantaian besar-besaran itu sebagian besar dilakukan di Desa Mandor. Setiap hari truk-truk Jepang hilir mudik sarat penumpang yang bersungkup kepalanya. Teriakan dan pekik jerit yang histeris sangat memilukan karena mereka sadar bahwa akhir hayat yang mengerikan telah menghadangnya di ujung jalan, yaitu di Desa Mandor. Itulah Mandor, tempat pembantaian pemimpin dan tokoh-tokoh rakyat yang ingin merdeka di negerinya sendiri, sehingga peristiwanya disebut Peristiwa Mandor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Kalimantan Barat telah mendirikan monumen nasional dengan nama “Makam Mandor” dan peristiwanya diperingati setiap tanggal 28 Juni.
Rakyat yang dianggap tidak berdosa, dipekerjakan sebagai romusha untuk membuat jalan antarkota, membuat lapangan udara Sungai Durian, membuat sumur-sumur rahasia di berbagai tempat. Ada pula yang dipekerjakan di pabrik-pabrik tanpa mendapatkan upah. Mereka menderita kecapaian, kelaparan, dan juga serangan penyakit sehingga sebagian besar mati kelaparan atau mati karena menderita penyakit yang tak terobati. Tragisnya, lubang-lubang besar kecil yang mereka gali itu untuk nantinya bagi penguburan masal, termasuk bagi pembuat lubang sendiri.
Keluarga mereka yang ditinggalkan tidak terurus nasibnya. Dalam keadaan ekonomi yang serba sulit itu, isteri-isteri dengan anak-anaknya harus hidup tanpa nafkah dari suami. Perdagangan mengalami kemacetan total, produksi di wilayah Kalimantan Barat sendiri sangat tidak mencukupi untuk keperluan penduduk, garam, gula, tembakau dan juga beras sulit dicari apalagi bahan pakaian. Jika bahan-bahan itu kebetulan ada, penduduk harus antre untuk mendapatkannya sekalipun hanya untuk membeli singkong.
Dalam keadaan perekonomian yang sangat sulit itu rakyat masih dibebani dengan pungutan paksa akan barang-barang berharga. Emas permata yang dimiliki oleh ibu-ibu atau para remaja putri harus diserahkan kepada Pemerintahan Bala Tentara Jepang. Jika tidak, dapat memperoleh hukuman yang cukup berat.
Terhadap kaum remaja dan anak-anak, Jepang memberikan perhatian khusus. Remaja dan anak-anak disayangi, diajar dan disekolahkan. Mereka diajar menyanyi, taiso, baris berbaris, perang-perangan dan berbahasa Jepang. Latihan mempergunakan senjata juga diajarkan terhadap renaja. Senjata bahkan boleh dibawa pulang ke rumah remaja. Mereka ini adalah calon-calon generasi nasionalisasi Jepang, calon tentara yang akan melanjutkan perang dan pertahanan.
Sikap Jepang terhadap orang Dayak
Jepang berhasil melumpuhkan semangat perjuangan masyarakat kota. Kini tiba gilirannya penduduk daerah pedalaman harus dihadapi. Daerah pedalaman dihuni oleh etnis Dayak. Suku ini telah memahami batapa kejamnya tentara Jepang menyiksa dan mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat. Para sultan dan panembahan mereka telah banyak dibunuh dan disiksa secara kejam. Benih permusuhan itu telah tertanam dengan kuat. Kini gilirannya kekejaman Jepang diarahkan pada penduduk pedalaman. Mengetahui gelagat demikian, orang Dayak pun mengatur siasat. Apa siasat itu?
Terlena dalam kemenangan demi kemenangan yang diraih tanpa adanya kekuatan yang sanggup mematahkan, membuat Jepang terlampau percaya diri. Pasukan Jepang dan kaki tangannya terus merangsek masuk jauh hingga ke pedalaman. Tujuannya satu: ingin menguasai Kalbar seluruhnya. Menekuklututkan semua penduduk. Lalu menguasainya.
Di tengah-tengah keterlenaan itu, Jepang tidak menyadari jika para Dayak telah mengatur siasat. Tidak ada laporan mata-mata yang masuk jika penduduk asli Kalimantan ini siap menghadapi. Dengan membiarkan Jepang masuk rumah mereka, para Dayak sebenarnya telah membuat perangkap maut.
Toh demikian, Jepang tetap waspada. Tindakan preventif dilancarkan. Senjata orang Dayak disita dan dikumpulkan. Senapan lantak, sumpit, mandau, panah, tombak (burus), parang, dan senjata tajam lainnya milik orang Dayak diminta untuk diserahkan. Sayangnya, permintaan ini sama sekali tidak diindahkan orang Dayak.
Jepang lalu marah luar biasa karena permohonan mereka ditampik Dayak. Karena itu, Jepang mulai bertindak tegas. Barangsiapa yang tidak mengindahkan perintah, akan ditindak dengan tegas. Terutama para kepala adat akan mendapatkan hukuman yang sangat berat jika kedapatan menyimpan senjata dan terbukti melawan.
Merasa Jepang menyerang dan masuk rumah mereka tanpa permisi, para Dayak tak setitik pun dihinggapi perasaan takut. Ancaman Jepang sama sekali tidak menciutkan nyali mereka untuk menyerah kalah. Sebaliknya, semakin mengobarkan semangat persatuan untuk melawan dan segera memukul mundur saudara tua yang jauh lebih bengis dibandingkan Belanda.
Para pemimpin adat Dayak sudah mafhum bahwa tentara Jepang sangat haus akan wanita-wanita. Kelemahan ini coba dimanfaatkan. Ketika masuk daerah pedalaman dan pemukiman orang Dayak, tentara Jepang disuguhi tuak dan arak. Yang menyuguhkannya para wanita Dayak yang saat itu rata-rata masih berpakaian tradisional, bersongket, dan bertelanjang dada. Namun, para wanita ini tidak asal melayani. Mereka sudah tahu tugasnya. Di tengah-tengah mabuk kepayang oleh pesta dan cinta, tentara-tentara Jepang dihabisi oleh para lelaki Dayak. Mereka diayau dan menemui ajalnya di tangan para headhunters.
Baca Juga: Teras Narang - Hidup Dayak, Hidup Dayak!
Demikian pun, dalam perang terbuka di hutan-hutan, Jepang tak pernah sekali pun memetik kemenangan melawan pasukan Dayak. Para penglima perang Dayak yang sangat menguasai medan, dengan mudah memukul pasukan Jepang. Di waktu siang, para lelaki Dayak tidak pernah kedapatan berada di rumah. Mereka selalu mengundurkan diri ke hutan-hutan. Jepang mengira bahwa mereka sudah habis.
Manakala pasukan Jepang mengadakan patroli, orang Dayak dengan cepat menyergap. Dibantu sesama Dayak baik dari Kalimantan seluruhnya maupun dari daerah semenanjung Melayu, Tumasik dan sekitarnya, orang Dayak bersatu padu melawan Jepang.
Ajakan minta bala bantuan dengan tanda mangkok merah telah beredar dari kampung ke kampung. Pekik perang dan perlawanan sudah sampai ke seluruh penjuru. Datanglah secepat kilat pasukan perang Dayak dari suku Iban, Sungkung, Seribas, Kantuk, Punan, Bukat, Jangkang, dan lain-lain menambah kekuatan perang.
Tentara Jepang bukan saja kocar kacir oleh orang Dayak, tapi juga dipukul telak dan tidak berkutik. Memang nama Pangsuma[5] tercatat sebagai panglima perang Dayak pada masa pendudukan Jepang ini. Namun, sebenarnya, masih terdapat panglima perang Dayak yang lain selain Pangsuma. Yakni Pang Dandan dan Pang Solang. Nama mereka kurang dikenal, namun jasa-jasanya jelas tak dapat dinafikan.
Sementara dari tanah Jangkang, panglima perang Dayak yang terkenal adalah Panglima Kilat. Kisah-kisah heroik dan epos Panglima Kilat hingga dekade 1970-an, masih sering dituturkan pada anak-anak. Ia dilukiskan sebagai sosok yang gagah berani, kuat, kebal, dan suka menolong. Jika ada orang Dayak yang menyerukan bantuan, secepat kilat ia datang membantu.
Usai menaklukkan Jepang dan memenangkan Perang Majang Desa, Dayak wilayah Sanggau merayakan kemenangan itu dengan notongk di Bonti, kecamatan yang kini wilayahnya berbatasan dengan Jangkang.
Tulisan sebelumnya: The History of Dayak (9) - Dijajah Hindia Belanda dan Inggris: Di Mana Bedanya?
***
Catatan:
[1] Nica adalah kependekan dari Nederlands Indies Administration. Dengan besleuit (surat keputusan) 2 Maret Nomor 8 Tahun 1948 (Stbld 1948/58), Kalimantan Barat diakui sebagai Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang berbadan pemerintahan sendiri, dilengkapi dengan sebuah Dewan Kalimantan Barat. Tentang kebenaran hal ini, lihat dokumen tertulis Pemda Tingkat I Kalimantan Barat berjudul Sejarah Singkat Perkembangan Prop. Dati I Kalimantan Barat 1957-1977, 1964: 1. DIKB ini merupakan penyatuan atau federasi dari daerah-daerah swapraja dan daerah neo-swapraja. Pontianak dijadikan sebuah landschaps gemeente.
Adapun daerah swapraja dan neo-swapraja dalam federasi DIKB itu berdasarkan putusan-putusan gabungan kerajaan-kerajaan Borneo Barat tertanggal 20 Oktober 1946 No. 206 adalah:
(a) Swapraja: Pontianak, Sambas, Mempawah, Landak, Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, sekadau, Tayan, dan Sintang.
(b) Neo-swapraja: Meliau, Tanah Pinoh, dan Kapuas Hulu.
[2] Selengkapnya informasi korban kekejaman Jepang atas penduduk Kalbar dan pejabat lokal dapat diunduh di mandor44@gmail.com. Kurang begitu jelas objektifnya, namun blog yang dikelola blogger ini dikelola oleh wartawan "Borneo Tribune" Pontianak, merekam Peristiwa Mandor pada zaman penjajahan Jepang hingga kondisi sekarang. Barangkali maksudnya menanamkan kesadaran kolektif akan sejarah lokal dan agar generai muda tidak melupakan sejarah. Yang jelas, dari tragedi pembantaian ratusan nyawa penduduk Kalbar ini nantinya muncul pahlawan lokal, Pangsuma yang namanya diabadaikan sebagai nama lapangan udara, jalan, dan gedung di Kalimantan Barat. Blog itu bahkan memuat gambar-gambar korban kekejaman Jepang.
Jepang ingin meng-Jepangisasi Kalbar. Alasannya kalbar secara geografis dekat dengan Jepang. Oleh karena itu para cerdik cendikia dibantai secara sadis, dan meninggalkan anak-anak serta perempuan. Sebelumnya, Jepang telah membombardir Kota Pontianak dengan kisah yang terkenal sebagai Bom Sembilan. Warga sipil yang tewas ketika itu mencapai puluhan jiwa. Di antara para keluarga korban hingga kini masih menyisakan saksi-saksi mata. Termasuk sejumlah anggota romusha atau para pekerja paksa.
Dukacita Kalbar itu sepi dari pemberitaan sejarah nasional. Oleh karena itu lewat berbagai seminar, dialog, dan diplomasi-diplomasi, lahirlah Perda No 5 Tahun 2007. Pemda Kalbar telah menyerap aspirasi masyarakat sejak ditemukannya tulang belulang di lokasi makam massal di mana terdapat para raja di Kalbar, para cerdik cendikia, para guru, pengusaha, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat.
Maka lahirlah Perda No 5 Tahun 2007, Pada 28 Juni sebagai waktu diresmikannya Monumen Makam Juang Mandor oleh Gubernur Kadarusno, ditetapkan pula sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Perda No 5 mengatur pengibaran bendera setengah tiang.
Tentara pendudukan Jepang telah melakukan pembantaian masal di Kalbar terhadap raja-raja, keluarga raja, cerdik-cendekia, amtenar, orang-orang politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama!
Borneo Sinbun sebuah suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang, Sabtu tanggal 1 Sitigatu 2604 (1 Juli 1944 – pen) pada halaman pertama menurunkan berita utama (head line) berjudul: KOMPLOTAN BESAR YANG MENDURHAKAI UNTUK MELAWAN DAI NIPPON SUDAH DIBONGKAR SAMPAI KE AKAR-AKARNYA. Judul kecil (kicker) di bawahnya berbunyi: Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna. Di bawah judul itu – dalam tanda kurung – tertulis: Pengumuman Pasukan di Daerah Ini pada Tanggal 1 Juli 1944.
Koran Borneo Sinbun cukup dikenal di Kalbar pada masa itu, karena penerbitannya sudah menginjak tahun kedua. Ukuran halamannya hanya sebesar kertas folio, 5 kolom, terdiri dari 4 halaman, terbit 3 x seminggu. Pada 1 Juli 1944, tiga halaman pertama koran itu habis dimakan berita tersebut. Dalam tubuh berita (body text) antara lain tertulis: Oleh sebab itu baru-baru ini dalam Sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan Laut, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya telah dijatuhkan hukum mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni) mereka pun telah ditembak mati.
Setidaknya, terdapat 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah: JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, Rubini (dr), Kei Liang Kie, Ny Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Otomodjo, Abdul Samad (Batak), Soenarco Martowardoyo (dr), M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran (Batak), E Londak Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, RM Ahmad Diponegoro (dr), Ismail (dr), Ahmad Maidin (India), Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. Selengkapnya, baca A. Halim R “Kalimantan Barat Berkabung” dalam http://peristiwamandor.blogspot.com
[3] Secara harfiah berarti: menutup kepala dengan kain atau sarung goni.
[4] Aen adalah guru saya ketika kelas I Sekolah Dasar Bersubsidi di Jangkang Benua pada tahun 1968. Ia berasal dari Kobang. Masuk akal yang bersangkutan turut aktif dalam Perang Majang Desa, sebab sangat fasih kosa kata Jepang dan lancer jika menerangkan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di luar kepala. Ada dinek (semacam epik yang dilagukan, namun bertujuan mengobarkan semangat perang) yang hingga hari ini masih saya ingat. “Sanggau, Meliau, Tayan, dan Jangkang. Berani makan hati Jepang”. Semacam ajakan agar para Dayak dark Sanggau, Meliau, Tayang, hingga Jangkang bersatu padu melawan dan mengusir Jepang. Kalau perlu, memakan hatinya, sehingga semangat dan keberanian semakin bertambah.
[5]Hideki Tojo (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan Perdana Menteri ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Ia kemudian diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan berganda, dan divonis mati pada 12 November 1948, dan diganjar hukuman gantung. Di bawah otoritasnya, hampir 4 juta orang Tionghoa terbunuh dan Tojo dianggap orang yang paling bertanggung jawab.
[5] Selengkapnya informasi korban kekejaman Jepang atas penduduk Kalbar dan pejabat lokal dapat diunduh di mandor44@gmail.com. Kurang begitu jelas objektifnya, namun blog yang dikelola blogger ini dikelola oleh wartawan "Borneo Tribune" Pontianak, merekam Peristiwa Mandor pada zaman penjajahan Jepang hingga kondisi sekarang. Barangkali maksudnya menanamkan kesadaran kolektif akan sejarah lokal dan agar generai muda tidak melupakan sejarah. Yang jelas, dari tragedi pembantaian ratusan nyawa penduduk Kalbar ini nantinya muncul pahlawan lokal, Pangsuma yang namanya diabadaikan sebagai nama lapangan udara, jalan, dan gedung di Kalimantan Barat. Blog itu bahkan memuat gambar-gambar korban kekejaman Jepang.
Jepang ingin meng-Jepangisasi Kalbar. Alasannya kalbar secara geografis dekat dengan Jepang. Oleh karena itu para cerdik cendikia dibantai secara sadis, dan meninggalkan anak-anak serta perempuan. Sebelumnya, Jepang telah membombardir Kota Pontianak dengan kisah yang terkenal sebagai Bom Sembilan. Warga sipil yang tewas ketika itu mencapai puluhan jiwa. Di antara para keluarga korban hingga kini masih menyisakan saksi-saksi mata. Termasuk sejumlah anggota romusha atau para pekerja paksa.
Dukacita Kalbar itu sepi dari pemberitaan sejarah nasional. Oleh karena itu lewat berbagai seminar, dialog, dan diplomasi-diplomasi, lahirlah Perda No 5 Tahun 2007. Pemda Kalbar telah menyerap aspirasi masyarakat sejak ditemukannya tulang belulang di lokasi makam massal di mana terdapat para raja di Kalbar, para cerdik cendikia, para guru, pengusaha, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat.
Maka lahirlah Perda No 5 Tahun 2007, Pada 28 Juni sebagai waktu diresmikannya Monumen Makam Juang Mandor oleh Gubernur Kadarusno, ditetapkan pula sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Perda No 5 mengatur pengibaran bendera setengah tiang.
Tentara pendudukan Jepang telah melakukan pembantaian masal di Kalbar terhadap raja-raja, keluarga raja, cerdik-cendekia, amtenar, orang-orang politik, tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama!
Borneo Sinbun sebuah suratkabar Pemerintah Bala Tentara Jepang, Sabtu tanggal 1 Sitigatu 2604 (1 Juli 1944 – pen) pada halaman pertama menurunkan berita utama (head line) berjudul: KOMPLOTAN BESAR YANG MENDURHAKAI UNTUK MELAWAN DAI NIPPON SUDAH DIBONGKAR SAMPAI KE AKAR-AKARNYA. Judul kecil (kicker) di bawahnya berbunyi: Kepala-kepala Komplotan serta Lain-lainnya Ditembak mati. Keamanan di Borneo Barat Tenang Kembali dengan Sempurna. Di bawah judul itu – dalam tanda kurung – tertulis: Pengumuman Pasukan di Daerah Ini pada Tanggal 1 Juli 1944.
Koran Borneo Sinbun cukup dikenal di Kalbar pada masa itu, karena penerbitannya sudah menginjak tahun kedua. Ukuran halamannya hanya sebesar kertas folio, 5 kolom, terdiri dari 4 halaman, terbit 3 x seminggu.
Tanggal 1 Juli 1944, tiga halaman pertama koran itu habis dimakan berita tersebut. Dalam tubuh berita (body text) antara lain tertulis: Oleh sebab itu baru-baru ini dalam Sidang Majelis Pengadilan Hukum Ketentaraan Angkatan Laut, kepala-kepala komplotan serta lain-lainnya telah dijatuhkan hukum mati, maka pada tanggal 28 Rokugatu (28 Juni) mereka pun telah ditembak mati.
Setidaknya, ada 48 nama korban yang dimuat Borneo Sinbun hari itu, lengkap dengan keterangan umur, suku, jabatan atau pekerjaan. Mereka adalah: JE Pattiasina, Syarif Muhammad Alkadri, Pangeran Adipati, Pangeran Agung, Ng Nyiap Soen, Lumban Pea, Rubini (dr), Kei Liang Kie, Ny Nyiap Kan, Panangian Harahap, Noto Soedjono, FJ Loway Paath, CW Octavianus Lucas, Ong Tjoe Kie, Oeray Alioeddin, Gusti Saoenan, Mohammad Ibrahim Tsafioeddin, Sawon Wongso Otomodjo, Abdul Samad (Batak), Soenarco Martowardoyo (dr), M Yatim, Rd Mas Soediyono, Nasaruddin, Soedarmadi, Tamboenan, Thji Boen Khe, Nasroen St Pangeran (Batak), E Londak Kawengian, WFM Tewu, Wagimin bin Wonsosemito, Ng Loeng Khoi, Theng Swa Teng, RM Ahmad Diponegoro (dr), Ismail (dr), Ahmad Maidin (India), Amaliah Rubini (istri dr Rubini), Nurlela Panangian Harahap (istri Panangian), Tengkoe Idris, Goesti Mesir, Syarif Saleh, Gusti A Hamid, Ade M Arief, Goesti M Kelip, Goesti Djafar, Rd Abdulbahri Danoeperdana, M Taoefik, AFP Lantang, dan Rd Nalaprana. Selengkapnya, baca A. Halim R “Kalimantan Barat Berkabung” dalam http://peristiwamandor.blogspot.com
[6]
Ada dinek (semacam epik yang dilagukan, namun bertujuan mengobarkan semangat perang) yang hingga hari ini masih saya ingat. “Sanggau, Meliau, Tayan, dan Jangkang. Berani makan hati Jepang”. Semacam ajakan agar para Dayak dark Sanggau, Meliau, Tayang, hingga Jangkang bersatu padu melawan dan mengusir Jepang. Kalau perlu, memakan hatinya, sehingga semangat dan keberanian semakin bertambah.
[7] Namanya banyak diabadikan sebagai bentuk dan ujud penghormatan masyarakat Kalbar atas jasa-jasanya. Selain gelanggang olahraga di Jalan A. Yani Pontianak yang bernama Pangsuma, banyak gedung dan jalanbernama demikian. Bahkan, ada bandara yang diberi nama Pangsuma.
[8] Yang menguasai Jawa adalah Angkatan Darat (Rikugun) Jepang. Meski berbeda angkatan yang menguasai, toh tampuk kekuasaan berada dalam satu tangan yang lebih tinggi lagi, yakni Saiko Shikikan.
***