Antara Helmy Yahya, AHY dan Dampak Transformasi
Pada tahun 2017 hingga 2019, stasiun TVRI berubah total. Penonton mulai melirik kembali televisi publik tersebut. Gambarnya tidak kalah kinclong, siarannya lebih bagus, penyiarnya tidak kalah menarik dibanding televisi swasta, dan programnya punya tv rating serta share yang tinggi. Bahkan tayangan kelas dunia seperti Seri Kejuaran Bulutangkis Dunia dan Liga Inggris pun hadir di sana.
TVRI yang sebelumnya jadul, kucel, dan kuno, berubah menjadi lebih segar, modern, dan kekinian. Anak-anak milenial dan generasi Z mulai tertarik.
Terjadi perubahan besar dalam tubuh lembaga penyiaran publik itu. Sang nakhoda, Helmy Yahya bersama para direksinya, berhasil mentransformasi TVRI luar dan dalam hanya dalam waktu singkat, sekitar 2 tahun. Perubahan untuk menyesuaikan TVRI dengan perubahan zaman, era digital, dan disrupsi teknologi. Gaung keberhasilan transformasi itu bergema ke mana-mana.
Berbagai pihak mulai ngeh, bahwa televisi pertama di Indonesia ini akan bangkit kembali setelah tidur panjang sekian lama. TVRI siap bangun lagi dan tidak mau kalah bersaing dalam menggaet penonton dibanding televisi swasta. Mereka tidak mengejar iklan, tapi televisi tetap harus punya penonton. Itulah target mereka.
Namun apa yang terjadi kemudian? Publik terhenyak dengan berita pemecatan Helmy Yahya sebagai Direktur Utama, akhir 2019. Sesuatu yang besar terjadi di sana. Bukan hanya perubahannya, melainkan penolakan terhadap perubahan tersebut. Betul kata Arnold Bennet, penulis asal Inggris, “Any change, even a change for the better, is always accompanied by discomforts.”
Perubahan apa pun, bahkan perubahan menuju hal yang lebih baik pasti akan disertai oleh ketidaknyamanan.
Ternyata, banyak pihak yang terganggu oleh perubahan itu. Apalagi judulnya adalah transformasi, suatu perubahan besar, bukan perubahan biasa. Ada pegawai yang biasa mendapatkan fee atau komisi, lalu tak lagi mendapatkan.
Ada suplier yang juga biasanya bisa kongkalikong, tidak lagi bisa bebas bergerak. Para pegawai senior yang merasa tersisihkan oleh pegawai milenial. Dan yang lebih berbahaya, ketika ada raksasa yang terganggu periuk nasinya.
Hal menarik saya lihat juga di Partai Demokrat. Agus Harimurti Yudhoyono menjelma menjadi anak muda paling kinclong dalam kancah perpolitikan Indonesia setelah berhasil menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Dia menjadi ketum termuda. Namanya digadang-gadang akan meroket dan menjadi salah satu pemimpin Indonesia pada 2024. Menjadi presiden, wakil presiden, atau minimal menjadi menteri. Partai Demokrat pun berubah drastis.
AHY membawa gerbong perubahan itu. Bolehlah saya menyebutnya juga sebagai transformasi seperti yang dilakukan oleh Helmy Yahya di TVRI. Meski kedua organisasi ini berbeda tipenya, namun perubahan tetaplah perubahan. Perubahan akan memberikan dampak besar, baik positif maupun negatif. Bahkan perubahan menuju kebaikan sekali pun. Di tangan AHY, Demokrat bergeliat menggaet lebih banyak anak muda.
Hasil riset dan survei menunjukkan bahwa pemilih anak muda (khususnya generasi milenial dan generasi Z) akan meningkat fantastis pada 2024 mendatang, sesuai dengan prediksi bonus demografi. Setiap partai politik harus siap menghadap perubahan tersebut.
Demokrat tampaknya merespons prediksi itu lebih cepat dibanding parpol lainnya. Suatu keberanian besar menjadikan AHY sebagai ketua umum. Sekaligus pertanda perubahan besar yang akan mengiringinya. AHY kemudian mengangkat mayoritas anak muda dalam jajaran inti pengurus pusat Demokrat. Terjadi seperti bersih-bersih dalam pengelolaan parpol tersebut. Baik dalam konotasi positif maupun negatif. Mulai dari bersih-bersih dari oknum partikelir parpol maupun bersih-bersih dari tokoh yang tidak sejalan dengan perubahan.
Idealisme para anak muda sangat terasa dari kepengurusan AHY di sana. Idealisme yang bertabrakan secara langsung dengan pragmatisme politik Indonesia, sebagaimana lazimnya yang sudah berlangsung sangat lama.
Tentu saja perubahan itu berdampak besar. Dalam kaca mata positif, menjadikan Demokrat lebih segar, lebih responsif, lebih dinamis, dan mulai menggaet pemilih muda. Nama AHY pun terus diroketkan. Sebaliknya, pihak-pihak yang tidak sejalan dengan perubahan itu merasakan dampak yang sangat tidak bikin nyaman.
Hal yang mirip di TVRI terjadi di Demokrat. Atau juga sudah pernah terjadi di beberapa partai politik lainnya. Siapa pun yang tersingkir secara alamiah, terpaksa, atau merasa disingkirkan pasti akan tidak nyaman. Jika kuat akan melawan, kalau tidak kuat akan hengkang, atau kasak kusuk kanan dan kiri...
Dalam politik di Indonesia terdapat beberapa tipe praktisinya:
1. 80%-100% menjadikan partai politik sebagai tulang punggung kehidupannya. Hidup matinya ada di dunia politik.
2. 50% sumber penghidupan imbang antara politik dan di luar politik. Politik membantunya memperbesar sumber penghasilan dari bidang lain.
3. Masih memiliki penghidupan yang lebih besar di luar partai politik. Jika tidak berada di partai politik lagi, tidak masalah.
4. Menjadikan partai politik sebagai kendaraan untuk berkuasa, punya ambisi dan tujuan tertentu.
Baca Juga: Pemimpin-pemimpin Muda Dunia
Bayangkan jika perubahan yang terjadi di suatu parpol, dalam hal ini contoh di Demokrat, mengganggu kenyamanan praktisi politik nomor 1 dan 2. Mereka pasti akan merasa amat terganggu. Sumber penghidupannya terputus. Mereka harus survive. Jika jumlahnya satu atau dua orang dan berada di level bawah, mungkin tidak terlalu terasa. Tapi jika jumlahnya cukup banyak dan menyangkut nama besar serta para senior, tentu ceritanya berbeda. Apalagi kalau ada raksasa juga yang ikut serta.
Hal itulah yang saya lihat terjadi di Demokrat. Ujung-ujungnya terkait dengan periuk nasi dan kekuasan. Perubahan yang terjadi di partai tersebut cukup drastis terutama di lingkaran pengurus pusat, yang tentu berpengaruh ke daerah. Perubahan khas gaya anak muda milenial yang masih idealis, berhadapan dengan pragmatisme politik.
Serupa tapi tidak sama dengan apa yang dihadapi oleh Helmy Yahya di TVRI.
***