Impian Besar STT Sehati dari Rimba Kaltara
Hiruk pikuk di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Sehati Malinau terasa berbeda dalam dua hari di penghujung bulan November. Kampus yang dipagari bukit hijau ini, menggelar dua hajatan istimewa.
Rabu, 26 November, kampus mungil di pedalaman Kalimantan ini merayakan kelulusan angkatan pertamanya. Wisuda yang sederhana namun penuh makna. Sebuah pencapaian yang mungkin terkesan biasa saja bagi belasan kampus sejenis di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Namun, di pusaran Kabupaten Malinau yang lebih akrab dengan gemuruh sungai dan bentangan hutan, peristiwa ini adalah penanda amat penting: bibit sarjana lokal mulai tumbuh.
Namun, yang lebih menarik dari seremoni kelulusan itu bukanlah jumlah lulusan, melainkan ambisi yang mengiringinya. Dr. Yansen TP, Ketua Yayasan Pengembangan Sumber Daya Manusia Sehati Malinau (PSDMSM) yang menaungi STT ini, memiliki visi yang jauh melampaui batas administrasi kampusnya. Ia tak sekadar ingin STT Sehati menjadi Sekolah Tinggi Teologi. Yansen, yang dikenal sebagai figur yang gigih menggalakkan literasi di daerahnya, ingin kampus ini menjadi mercusuar literasi tingkat tinggi di Kaltara dan Indonesia.
Dia tidak ingin hanya melahirkan hamba Tuhan yang berakhlak mulia saja. Tapi, juga piawai dalam berliterasi. Dalam berbagai kesempatan, Bupati Maliau 2011-2020 ini terlihat selalu antusias saat berbicara tentang menulis dan membaca, bahkan telah menelurkan beberapa buku. Visi itu, baginya, adalah bagian dari "revolusi berpikir" untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bersaing di tingkat nasional, bahkan global. Ia ingin mahasiswa teologi tidak hanya piawai menafsirkan teks-teks suci, tapi juga mahir membaca dan menulis realitas, mengolah isu publik, serta menghasilkan karya yang menjadi rujukan.

Untuk menerjemahkan impian ganda itu, pada Kamis 27 November, STT Sehati melakukan langkah berani. Mereka mendatangkan tiga maestro pena dari ibukota dalam sebuah seminar literasi. Bukan main-main. Di tengah keterbatasan akses dan biaya logistik, mereka berhasil memboyong:
1. Masri Sareb Putra: Sastrawan Angkatan 2000, yang karyanya sudah terentang lebih dari 200 judul buku. Sebuah mesin narasi berjalan yang tahu persis bagaimana sebuah cerita harus dirajut.
2. Pepih Nugraha: Eks wartawan senior harian Kompas (1996-2016) dan pendiri Kompasiana, platform yang mengubah lanskap jurnalisme warga di Indonesia. Ia adalah saksi hidup pergeseran media dari cetak ke digital.
3. Dodi Mawardi: Penulis buku laris Belajar Goblok dari Bob Sadino sekaligus asesor penulis/editor dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sosok yang menguasai industri penerbitan.
Kehadiran tiga nama ini di Malinau, boleh dibilang, seperti kedatangan kapal kargo ide di pelabuhan kecil. Mereka tidak hanya memberikan bekal teknis menulis, tapi juga menanamkan motivasi, inspirasi, sekaligus etos berpikir kritis gabungan dapur redaksi media dan penerbitan.
"Mahasiswa di sini punya modal yang luar biasa: kedekatan dengan alam dan dengan realitas masyarakat adat. Itu adalah 'bahan baku' narasi yang mahal," kata Masri Sareb Putra, saat sesi diskusi. Ia menekankan bahwa literasi tingkat tinggi adalah kemampuan mengkonversi pengalaman unik menjadi teks yang universal. Pun buat para dosen. Masri siap menghibahkan dirinya untuk membantu STT menghasilkan karya tulis ilmiah bermutu sekaligus mendirikan media jurnal kampus ini.
Pepih Nugraha, dengan pengalamannya di ranah jurnalistik dan media warga, menyoroti pentingnya keterbukaan pikiran dan kemampuan mengemas isu menjadi narasi yang menarik di era disrupsi informasi. "Sekolah teologi tidak boleh imun dari isu-isu sosial kemasyarakat di sekitar. Teks Alkitab harus bisa berdialog dengan realitas di Malinau dan di Kaltara," tegasnya, menyiratkan bahwa literasi adalah alat advokasi sekaligus kontestasi wacana.
Sementara Dodi Mawardi, fokus pada standar profesionalisme. Literasi tingkat tinggi juga berarti kemampuan menghasilkan karya yang teruji dan bermutu. Ia menantang STT Sehati untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya piawai menulis skripsi, melainkan juga mampu menghasilkan buku berkualitas.
Ambisinya sangat jelas. Yansen TP tidak hanya ingin STT Sehati mencetak pendeta yang pandai berkhotbah. Ia ingin mereka menjadi agen perubahan yang terliterasi, yang tulisannya bisa menyentuh birokrasi, menggerakkan ekonomi, dan mencerahkan masyarakat. Ini adalah strategi ganda: membangun kampus teologi yang modern, sekaligus mengangkat derajat Kalimantan Utara melalui kecakapan SDM.
Visi ini terasa kontras dengan lokasi kampus yang berada di pinggiran rimba, jauh dari pusat pergolakan ide. Namun, justru kontras itulah yang menjadi kekuatannya. STT Sehati mencoba membuktikan bahwa keunggulan tidak ditentukan oleh letak geografis, melainkan oleh ketinggian mimpi dan kualitas strategi.
Tentu saja, perjalanan menuju "unggul di Kaltara dan Indonesia" masih panjang. Namun, dengan wisuda angkatan pertama dan langkah berani mendatangkan para penulis ibukota, STT Sehati di Malinau telah menabuh genderang perang. Perang melawan beragam keterbatasan; keterbatasan wawasan, keterbatasan impian, dan keterbatasan fasilitas.
STT Sehati Malinau, boleh saja berukuran mungil dan berada di pinggiran rimba. Namun, kini dengan gagah berani menyatakan diri masuk dalam gelanggang perebutan wacana literasi nasional. Mereka sedang menulis takdirnya sendiri.