Dasyatnya Kekuatan Kata-kata
“Mulutmu harimaumu.”
“Lidah tak bertulang.”
“Lidah lebih tajam daripada pedang.”
Mungkin Anda sudah pernah mendengar kalimat-kalimat tersebut? Ya, kalimat itu tidak keluar dari mulut sembarangan, melainkan dari pada bijak cendekia, yaitu orang-orang yang sudah memikirkan dalam-dalam apa yang harus diucapkannya. Kenapa mereka sampai mengatakan hal tersebut?
Sejarah menunjukkan, banyak sekali hal negatif terjadi akibat ‘hanya’ ucapan. Seorang raja A, mengatakan sesuatu kepada raja B, lalu ucapan itu membuat sakit hati raja B. Ia tidak terima dengan ucapan tersebut dan kemudian membalasnya dengan tindakan. Terjadilah perang! Amerika membom atom Hiroshima dan Nagasaki karena kesalahan lidah para pemimpin Jepang, yang diterjemahkan keliru oleh Amerika. Semua itu berawal dari kata-kata (baca lidah).
Para bijak cendekia juga sangat paham, bahwa kekerasan bukan hanya berupa fisik melainkan juga psikis. Sejumlah fakta menggambarkan betapa dasyatnya dampak dari kekerasan psikis, lebih hebat dibanding kekerasan fisik. Bangsa kita sendiri sudah merasakan sampai sekarang. Kekerasan fisik akibat penjajahan Belanda dan Jepang sudah berlalu. Tapi silahkan analisis sendiri, betapa dampak kekerasan psikis penjajahan itu masih menggelayut dalam bangsa ini.
Para bijak dan cendekia zaman dulu kala, yang relatif masih murni dan tidak terkontaminasi hal negatif, sudah mengingatkan tentang betapa hebatnya lidah dan kata-kata. Hebat dalam dua makna: positif dan negatif. Hal itulah yang menyebabkan para utusan Tuhan, termasuk Muhammad SAW, sangat keras dalam mengingatkan bahaya lidah. Simak saja ucapan-ucapan beliau:
- "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”
- “Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.”
- Dan ketika ditanya tentang penyebab masuk neraka, Rasul menjawab: “Dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan.”
Ternyata, tidak hanya Islam yang memberikan peringatan serupa. Hampir semua agama lain pun sama. Artinya, peringatan tentang betapa dasyatnya lidah bersifat universal. Bagi yang Nasrani silahkan buka kitab suci, di sana terdapat sejumlah pernyataan terkait lidah. Demikian pula bagi Anda yang Hindu, Budha, dan Konghuchu.
Dan dalam berbagai adat istiadat pun, akhlak bagus tak terlepas dari peranan mulut dan lidahnya. Saya ambilkan contoh dalam budaya Jawa. Berbagai kalimat bijak menyertakan ucapan sebagai salah satu penentu baik buruknya akhlak seorang insan.
“Pangucap iku bisa dadi jalaran kebecikan. Pangucap uga dadi jalaraning pati, kesangsaran, pamitran. Pangucap uga dadi jalaraning wirang.”
(Ucapan itu dapat menjadi sarana kebaikan, sebaliknya ucapan bisa pula menyebabkan kematian, kesengsaraan. Ucapan bisa menjadi penyebab menanggung malu).
“Ajining dhiri saka lathi lan budi.”
(Berharganya diri pribadi tergantung ucapan dan akhlaknya)
Lihatlah saat ini di Indonesia, banyak sekali politikus yang hanya pandai mengumbar kata-kata panas, dan menyakitkan pihak lain. Hasilnya? Negatif dan menjadi bumerang. Ini menjadi semacam hukum alam yang mengatakan jika kita memberi positif maka akan kembali ke kita dalam bentuk lebih positif. Sebaliknya, jika kita memberikan negatif, pasti kembalinya akan lebih negatif.
Saya pribadi mengharapkan para sahabat, sangat ketat dalam menjaga lidahnya. Saya tidak ingin, dunia politik dan kehidupan berbangsa kita sepuluh atau dua puluh mendatang, masih sama saja dengan kondisi saat ini. Kehidupan berbangsa kita harus diwarnai dengan kebijaksanaan, kearifan, dan penuh rasa penghormatan kepada pihak manapun, baik yang sependapat atau berseberangan pendapat. Mari kita mulai hidup dengan lebih bermartabat dan terhormat dari diri kita, agar bisa menular kepada anak bangsa yang lain. Ketegangan, dinamika, perseteruan tentu sebuah keniscayaan, tapi akan lebih elok jika terjadi dalam bentuk yang lebih bijak.
Akhirnya saya kutip sebuah syair dari pujangga Arab:
“Luka karena pedang jika kamu balut maka diapun akan kembali sembuh
tapi akan lekang sepanjang masa luka yang diakibatkan oleh lisan.”
***