Saya Mau Jadi Ahli Matematika
(Tulisan pada Desember 2014)
Di hadapan saya, duduk sekitar 70 siswa siswi dari SMP dan SMA di Long Ampung dan Long Nawang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara). Mereka bersiap menerima materi pelatihan menulis yang diadakan oleh Kodim Malinau. Tampang mereka berseri-seri dan penuh dengan optimisme. Ketika saya berbincang dengan beberapa orang di antaranya, saya kaget. Ternyata cita-cita mereka, terbang tinggi ke langit ke tujuh. Seolah menggenapi titah presiden pertama RI Soekarno, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit!”
Anak-anak itu juga seolah berteriak kepada dunia, bahwa meski mereka berada di wilayah perbatasan yang serba terbatas, harapan dan imajinasi mereka sama sekali tidak dapat dibatasi.
“Kamu mau jadi apa nanti?” tanya saya kepada Matius, seorang siswa kelas 11 SMA. Wajahnya lugu, seperti kebingungan ketika mendapatkan pertanyaan tersebut.
“Saya masih bingung…” katanya seolah menyetujui dugaan saya.
“Bingung kenapa?” lanjut saya, sambil menatapnya dalam. Saya lebih mendekat ke arahnya.
“Saya masih bingung menentukan pilihan apakah mau menjadi ahli matematika atau ahli kimia,” ujar anak muda berperawakan sedang itu. Benar-benar polos tapi di luar dugaan. Jawabannya membuat kening saya berkerut kencang, sekaligus kaget, tapi juga senang. Mulut saya sampai sedikit ternganga mendengar jawabannya.
Jawaban itu mungkin saya harapkan keluar dari mulut siswa siswi sekolah unggulan di berbagai tempat. Atau dari siswa siswi sekolah rintisan internasional. Namun, jawaban itu justru muncul dari seorang siswa di pedalaman, yang untuk menuju ke wilayah ini butuh waktu 3 hari perjalanan darat dari sebuah ibu kota propinsi, dan 1 jam perjalanan udara. Sebuah wilayah terpencil dan masih terpinggirkan serta ‘terlupa’ dijamah pembangunan.
Siswa siswi lainnya ramai mengangkat tangan ketika saya menyebutkan sejumlah profesi, mulai dari tentara, polisi, guru, dosen, sampai artis seperti penyanyi, bintang film dan sinetron. Profesi-profesi itu banyak peminatnya. Yang paling mengejutkan, siswa yang mau menjadi ahli matematika atau ahli kimia tadi.
Intelektual Malinau
Jika dirunut ke beberapa momen sebelumnya, seharusnya saya tidak terlalu kaget dengan jawaban Matius. Selama ‘bergaul’ dengan Malinau, saya mendapati banyak sekali fakta bernuansa kental intelelektualisme tingkat tinggi di kabupaten perbatasan ini. Pertama, bupati Malinau adalah seorang Doktor bidang ilmu pemerintahan dan sekretaris daerahnya adalah seorang Profesor. Sulit menemukan sebuah kabupaten yang dipimpin oleh dua akademisi tingkat paling tinggi seperti itu. Apalagi kedua orang ini bukan akademisi tulen, melainkan akademisi yang juga praktisi.
Kedua, ketika menjadi moderator acara peluncuran buku “Revolusi dari Desa” karya Bupati Malinau, saya menemukan fakta menarik dari audiens yang hadir. Acara itu digelar di gedung aula kabupaten yang dihadari 1000 orang penggawa desa dan kecamatan. Pertanyaan yang terlontar dari audiens, sungguh menyenangkan jiwa intelektualitas. Amat berbobot. Kalau dibandingkan mungkin sedikit lebih berkualitas daripada sejumlah pertanyaan yang pernah saya terima di ajang-ajang lainnya, di berbagai wilayah. Padahal, Malinau adalah kabupaten baru hasil pemekaran dan terletak di perbatasan dengan Malaysia.
Dari hal itu, mungkin terasa wajar jika anak-anak di perbatasan pun memiliki impian tinggi untuk masa depannya. Meski listrik belum mengalir penuh, walau jalanan darat belum utuh, meski fasilitas amat terbatas, namun impian mereka nyata-nyata tidak terbatas.
Semoga kalian terbang tinggi, agar bisa membangun tanah tumpah darah, tempat kalian lahir dan dibesarkan! Kalian tidak miskin, kalian tidak terbatas, kalian tidak kalah dibanding anak lainnya. Karena kalian kaya akan impian. Karena yang paling miskin adalah mereka yang miskin impian!