Batu Yupa dan Batu Ruyud | Mengabadikan Apa yang Sementara
Tiga kali saya langsung kontak fisik dengan prasasti Batu Yupa.
Pertama, tahun 1994.
Kedua, tahun 2016.
Ketiga, tahun 2020.
Untung ada prasasti Yupa. Jika tidak. Selamanya kita tak pernah mafhum. Bahwa Varuna-dvipa-- nama pulau Borneo masa pengaruh Hindu-India-- pernah berjaya sejak pengujung abad ke-4 Masehi, atau pertengahan alaf pertama.
Yupa secara harfiah berati: tiang batu. Sesungguhnya, prasasti Yupa bukan cuma satu. Total jumlahnya ada 7 buah.
Seluruh tujuh prasasti Yupa ditemukan di Kecamatan Muara Kaman. Tidak ditemukan pada waktu bersamaan. Lebih dahulu ditemukan 4 buah prasasti pada tahun 1879. Sedangkan 3 lainnya ditemukan pada tahun 1940-an.
Ditulis dalam aksara pallawa. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Dari telaah paleografis yang dilakukan oleh Kern (1917), diketahui. Bahwa aksara yang digunakan untuk menulis prasasti Yupa ini mempunyai kesamaan dengan tipologis aksara Wenggi di Kalingga dan aksara Cera di Merkara. Keduanya adalah wilayah yang terletak di India Selatan.
Nah, dari sinilah penetapan tarikh relatifnya prasasti Yupa itu. Yang ditengarai pada abad IV Masehi.
Untung ada prasasti Yupa. Prasasti Yupa I bertuliskan demikian:
srimatah sri-narendrasya; kundungasya
mahatmanah; putro svavarmmo vikhyatah;
vansakartta yathansuman; tasya putra
mahatmanah; trayas traya ivagnayah; tesan
trayanam pravarah; tapo-bala-damanvitah;
sri mulavarmma rajendro; yastva
bahusuvarnnakam; tasya yajnasya yupo
'yam; dvijendrais samprakalpitah.
Terjemahan:
Sang Maharaja Kundungga, yang amat
mulia, mempunyai putra yang mashur,
Sang Aswawarman namanya, yang
seperti Angsuman (dewa Matahari)
menumbuhkan keluarga yang sangatmulia.
Sang Aswawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci).
Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarmman,
raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa.
Sang Mulawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak.
Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu
batu ini didirikan oleh para brahmana.
Batu Yupa, yang didirikan sekaligus dibangun oleh Mulawarman di Muara Kaman, Kalimantan Timur pada akhir abad ke-4 Masehi, sederhana. Berupa bongkah-bongkah batu, tidak besar. Hanya ada 7 bongkah. Itu pun, tidak ditemukan pada waktu bersamaan.
Yupa secara harfiah berarti: tiang batu. Seluruh tujuh prasasti Yupa ditemukan di Kecamatan Muara Kaman. Tidak ditemukan pada waktu bersamaan. Lebih dahulu ditemukan 4 buah prasasti pada tahun 1879. Sedangkan 3 lainnya ditemukan pada tahun 1940-an.
Ditulis dalam aksara pallawa. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah Sansekerta. Dari telaah paleografis yang dilakukan oleh Kern (1917), diketahui. Bahwa aksara yang digunakan untuk menulis prasasti Yupa ini mempunyai kesamaan dengan tipologis aksara Wengi di Kalingga dan aksara Cera di Merkara. Keduanya adalah wilayah yang terletak di India Selatan.
Isi prasasti pun sederhana. Mencatat perbuatan baik, sekaligus kebaikan sang raja Mulawarman. Mempersembahkan harta miliknya kepada dewa, sekaligus berbagi kepada sesama. Namun, mengapa kemudian Batu Yupa mendunia, disebut sebagai jejak peradaban?
Prasasti Ruyud
Jauh dari maksud membandingkan dengan Batu Yupa. Sebab ada nasihat, "ojo dibanding-bandingke!" Batu Ruyud di kawasan Fe’ Milau, Krayan Tengah, Kalimantan Utara terdiri atas ratusan, bahkan ribuan batu. Jika saja batu-batu yang bertumpuk itu bisa bicara, akan bernarasi sebagai berikut.
Dahulu kala, dan sebelum dibuka, wilayah ini tidak terdetek, apalagi masuk dalam peta Kalimantan Utara. Lokasi dan nama yang sama sekali tidak dikenal sebelum “pondok biru” sekaligus kawasan perkebunan itu, dibuka.
Wilayah ini sekitar 15 kilometer jaraknya dari Ba’ Binuang, ibukota kecamatan Krayan Tengah. Dari arah ujung landasan lapangan terbang, bagian hulu setelah menyeberang jembatan sungai Krayan, Batu Ruyud hanya bisa dicapai melalui kendaraan roda dua. Atau dengan berjalan kaki. Dari seberang jembatan, baru bertemu dengan jalan yang menghubungkan Malinau-Krayan.
Jalan ini telah diretas sejak era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kacamata optimis memandang jalan ini telah membuka isolasi Krayan sekaligus menghubungkan antarKabupaten di Kalimantan Utara. Namun, jalan ini belum sempurna karena naik turun yang tajam serta licin ketika musim hujan. Sedemikian rupa, sehingga tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kecuali hanya bisa dilalui oleh eskavator.
Begitulah cara mencapai Batu Ruyud, tepi Fe’ (Sungai) Milau. Suatu kawasan di mana Yansen TP membangun peradaban. Ada sawah. Ada kebun. Ada kolam ikan. Tak ketinggalan peternakan kerbau di mana hewan ruminansia dari subfamili Bovidae memamah biak ini akan dilepas manakala sawah-sawah belum ditanami padi. Kombinasi peternakan kerbau dan persawahan inilah yang membentuk sistem pertanian organik di Batu Ruyud dan Krayan menjadi khas.
Di tengah-tengah sawah dan perkebunan, di Batu Ruyud ada pondok biru. Disebut demikian, karena memang pondok tersebut berwarna biru. Dibangun di atas tiang-tiang dari kayu melaban, dengan tinggi 2 meter, berbentuk rumah panggung, berdinding kayu.
Di pinggir Fe’ Milau, tepi kolam. Di sebuah sudut, bawah pohon rindang. Bertumpukan batu-batu. Tumpukan batu itu tidak jadi dalam sehari. Melainkan sudah berlangsung sekian lama, sejak awal mula kawasan pertanian terpadu ini dibuka sekitar tahun 2018.
Jika saja batu-batu yang bertumpuk itu bisa bicara, akan bernarasi sebagai berikut. Dahulu kala, dan sebelum dibuka, wilayah ini tidak terdetek, apalagi masuk dalam peta Kalimantan Utara. Lokasi dan nama yang sama sekali tidak dikenal sebelum “pondok biru” sekaligus kawasan perkebunan itu, dibuka.
Belum ada pondok permanen ketika kawasan perkebunan itu baru pertama dibuka. Keluarga besar Yansen Tipa Padan ketika pertama datang ke kawasan ini, hanya membangun tenda. Tenda yang dibangun itu, persis tempatnya di tumpukan batu, atau Batu Ruyud saat ini.
Seperti diketahui bahwa batu adalah simbol peradaban umat manusia. Sedemikian rupa, sehingga batu menjadi tonggak yang mengabadikan peradaban itu. Sebelum mengenal kertas, manusia menulis dan memahat di atas batu. Bahkan, ada satu fase peradaban umat manusia yang disebut dengan Zaman Batu.
Alat-alat pertanian dan peralatan dapur bahannya terbuat dari batu . Disebut demikian, karena batu adalah teknologi atau alat untuk kehidupan umat manusia pada zamannya. Zaman batu ini sekitar 3 juta tahun silam, sebelum manusia mengenal logam.
Batu sebagai Simbol
Maka sebenarnya, Batu Ruyud ini bukan kegiatan atau peristiwa memindahkan batu dari sungai Milau ke lokasi penumpukan. Ada filosofi dan makna di baliknya. Dalam bahasa setempat (Lengilo’), memindahkan batu ini disebut Ngengot Batu. Hal yang unik adalah bahwa batu yang diangkut dan dipindahkan berbagai ukuran, besar dan kecil sesuai dengan kemampuan daya angkat masing-masing peserta. Batu-batu tersebut diangkut dengan cara dipikul. Kemudian, diletakkan di tempat lokasi yang telah disiapkan.
Batu Sisyphus. Mitos Sisyphus ini sebagai personifikasi absurditas kehidupan manusia.
Batu-batu yang telah diangkut tersebut, mengandung filosofi yang sangat dalam. Yaitu hidup yang menggambarkan kerja sama, tolong-menolong, saling memberi, dan berbagi. Setiap orang dapat memberi sumbangsih untuk suatu hal sekecil apa pun sesuai dengan kemampuannya.
Dengan demikian, membawa batu dari sungai dan pinggir sungai sampai ke tumpukannya bukan sekadar menumpuk batu-batu. Lebih dari itu, pekerjaan tersebut adalah proses membangun sebuah peradaban. Kelak kemudian hari, katakanlah seabad kemudian, ia menjadi saksi sejarah. Di sini dimulai tonggak sejarah baru. Bahwa batu-batu menjadi saksi kerja sama. Setidak-tidaknya, mencatat ratusan bahkan ribuan manusia dari berbagai penjuru Nusantara telah menjejakkan kaki di tempat ini. Mulai keluarga besar Samuel Tipa Padan, handai tolan, sahabat, dan suku bangsa dari berbagai warna kulit dan golongan.
Sebagai sebuah tradisi di Batu Ruyud, sesiapa pun juga yang datang ke lokasi ini, harus melakukan tradisi mengambil batu dari sungai untuk diletakkan di tumpukan batu yang sudah menggunung. Tradisi ini dilakukan dua kali. Pada saat datang dan saat akan pergi dari lokasi Batu Ruyud.
Mengapa lambang kebersamaan di kawasan Batu Ruyud ditandai dengan tumpukan batu yang besarnya berbeda-beda? Hal itu menunjukkan bahwa tumpukan batu itu disesuaikan dengan kekuatan atau tenaga orang-orang yang pernah datang ke kawasan ini. Orang yang kuat membawa batu yang besar dan banyak, sedangkan orang yang kecil membawa batu yang kecil dan sedikit.
Batu yang dipilih dan ukir itu, selanjutnya dibawa dengan usaha sendiri. Dimulai dari batu-batu yang tergeletak begitu saja di pinggir dan di dalam aliran Fe’ Milau. Dipilih dan diangkat, kemudian dibawa menuju tempat penumpukan batu sebagai bukti kehadiran setiap orang yang pernah datang ke Batu Ruyud. Walaupun jarak dari sungai dan tempat penumpukan batu tidak jauh, sekitar 30 meter, tetap saja ada usaha yang harus dikeluarkan untuk itu.
Jalan dari tepi sungai ke tempat penunpukan batu itu menanjak. Ukuran batu yang dipilih harus besar. Manakala ukuran batu yang dipilih kecil, maka batu tersebut tidak ada artinya. Bisa saja tersisihkan saat ditaruh di penumpukan batu yang lain-lainnya. Akan kalah, malah tenggelam, oleh batu lain yang jauh lebih besar.
Permainan, lebih tepatnya pekerjaan, mengangkut batu ini, sekilas tampak sangat sederhana. Namun, sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sanalah orang kadang terjebak oleh godaan, hasrat, atau keinginan yang berlebihan. Yang mencerminkan perikehidupan sehari-hari.
Historia nuntia vetustatis est - sejarah adalah pesan dari masa silam. Demikianlah batu prasasti bekerja dalam-diam!
Apa godaan, sekaligus hasrat yang berlebihan itu?
Jangan salah mengira bahwa mengangkut batu ini sederhana. Tidak demikian! Dalam hal ini, teringatlah kita akan filosofi yang sangat terkenal dalam khasanah filsafat, yakni “Batu Sisyphus”.
Dalam mitologi Yunani kuno. Syahdan, suatu hari. Raja Sisyphus dijatuhi hukuman untuk membawa batu ajaib ke atas bukit. Batu itu begitu sampai di puncak bukit, digelinding lagi ke bawah. Berkali-kali pekerjaan membawa batu dari bawah ke puncak bukit itu dilakukan, sebagai hukuman, hanya untuk bahan olok-olok dan tertawaan. Pekerjaan itu sia-sia belaka. Membuat lelah dan frustrasi. Ternyata, batu yang mula-mula terasa dingan, makin malam semakin berat. Semakin lama dan tinggi mendaki, semakin batu itu terasa menjadi beban yang bukan saja melelahkan, namun juga membuat frustasi. Sedemikian rupa, sehingga pekerjaan yang berkali-kali dilakukan, memberatkan dan menimbulkan frustrasi, disebut: Batu Sisyphus. Mitos Sisyphus ini sebagai personifikasi absurditas kehidupan manusia
Nah, di situlah. Dalam konteks Batu Sisyphus, orang menemukan. Bahwa membawa batu dari dalam dan tepi sungai Milau.
Perjuangan membawa batu dari pinggir sungai menuju tumpukan batu bisa kita hubungkan dengan kehidupan, yaitu jika kita berjuang dengan usaha yang kecil maka hasilnya pun juga akan kecil. Namun, jika usaha kita besar maka akan diganjar dengan hasil yang besar juga. Oleh karena itu, jika semakin besar dan berat batu yang kita bawa, maka semakin baik dan semakin berkesan pengalaman kita membawa batu di Batu Ruyud ini.
Kawasan Baru Ruyud terdiri dari beberapa petak sawah, padang (laman) kerbau, hutan rimba, hutan pulung buah, Fe’ (sungai) Milau dan beberapa anak sungai yang belum punya nama. Berdiri sebatang pohon bua’ main di tepi sawah, sebuah pondok yang terdiri dari 4 kamar besar dan dapur tradisional dengan tungku api dan kayu bakar di atasnya, sekaligus ruang makan.
Apakah pesona Batu Ruyud, sehingga orang ibu kota seperti Ibnu Jamil pun datang ke tempat ini? Adakah yang istimewa dari tempat ini, sehingga melahirkan sebuah karya berkelas internasional, sehingga dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI)? Mengapa dari suatu tempat terpencil, dataran tinggi Borneo yang dingin dan jauh dari sinyal ini, lahir pemikiran besar seperti literasi dan pemikiran “budaya membangun bangsa”?
Hal itu sebenarnya berasal dari pemikiran buah permenungan Yansen TP. Menurutnya, “Bukan tempat yang mengubah kita. Melainkan kitalah yang mengubah tempat. Bahwa pemikiran dan perbuatan besar bisa muncul dari manapun, meski nun jauh di ujung dunia.”
Bahkan satu rekor bersejarah pernah ditorehkan oleh beberapa artis ibukota, Ibnu Jamil. Mereka dengan susah payah melalui perjalanan darat, naik motor, menembus sulitnya medan jalan dari Krayan tiba juga di Batu Ruyud. Seperti orang lain juga, siapa pun akan membawa batu dari sungai, menumpuknya di satu tempat, menjadi bagian dari sejarah yang menandai telah pernah tiba di tempat ini.
Adalah gagasan Yansen TP bahwa setiap orang selama berada di Batu Ruyud, selain menikmati sejuk dan alami suasana Fe’ Milau yang airnya bersumber dari gunung-gunung di sekitarnya, juga menjadi bagian dari sejarah. Oleh sebab itu, setiap orang wajib mengangkut batu dari sungai, mengukir di atas batu namanya. Kemudian menumpuknya di tempat yang telah disediakan. Hal itu sekaligus mengandung makna bahwa “Kita tidak mengejar masa depan, namun kita sedang menjalaninya sekarang.”
Toh kata-kata Yansen itu bukan hanya indah dan enak di telinga, namun juga sesuatu yang dapat dibuktikannya. Pada liburan panjang akhir Mei – pertengahan Juni 2019, Yansen merancang liburan keluarga bukan ke Tanah Suci, atau ke Bali. Namun, kembali ke kampung nenek moyang di Krayan ini, bukan hanya untuk rekreasi. Liburan ini dipakai untuk melatih anggota keluarga besar Samuel Tipa Padan agar terampil menulis. Semua anggota keluarga yang ikut berlibur, wajib menulis. Peserta termuda, berusia 9 tahun hingga 63 tahun, dimampukan menulis.
Jadi, hal itu mengibaratkan bahwa gotong royong merupakan kekuatan kita terlebih lagi bagi keluarga. Lalu batu tersebut kita ukir nama kita sendiri di atasnya dengan cara dipahat. Bisa juga dengan menggunakan batu kecil yang lancip atau menggunakan paku jika ada.
Historia nuntia vetustatis est - sejarah adalah pesan dari masa silam.
Demikianlah batu prasasti bekerja dalam-diam!