Literasi

Sam Kok| Ketika Fiksi Diangap Fakta-Sejarah

Sabtu, 8 Mei 2021, 08:27 WIB
Dibaca 516
Sam Kok| Ketika Fiksi Diangap Fakta-Sejarah
Novel sejarah yang saya teliti, tulis, dan terbitkan. Memang novel sejarah, tapi ia fiksi, bercatatan kaki.

Poetae sunt morum doctores -- pujangga adalah gurunya moral, demikian Vossius.

Ketika sesuatu belum ditulis, ia dianggap fiksi. Namun, ketika ditulis, dianggap fakta. Meski, dalam dunia jurnalistik dan akademik, keduanya berbeda: Factum non fictum -- fakta, bukan fiksi.

Saya nonton film "Sam Kok", ( 3 kota) --kisahan negeri Tirai Bambu. Itu adalah karya fiksi. Yang diekraninasi dari sejilid buku.

Namun kemudian, dianggap fakta-sejarah, bukan pertama-tama karena 4 wajib-syarat sejarah ada di sana (tokoh, setting waktu dan tempat serta peristiwa) digambarkan detail dan hidup. Melainkan karena nilai moral dan pengajaran yang sarat-muat di dalamnya. Semacam pelajaran PMP dan bahan pendidikan "bela negara" di Negeri Cina, sehingga wajib dibaca, dan dimamah biak oleh tiap-tiap warganegara.

Nilai di dalam kisahan itu dipandang baik dan berguna. Baik melalui peristiwa yang digambarkan secara luar biasa, dari ucapan tokoh protagonisnya, maupun dari hikmah setiap peristiwa, yang bisa ditarik. Itulah yang dalam khasanah para pakar kurikulum dan pendidikan hari ini disebut "pendidikan nilai dan pembangunan karakter".

Mengapa karya fiksi dianggap, dan bisa, jadi sejarah? Karena: tidak ada menjadi ada. Karena sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sarat nilai di dalamnya, sehingga bukan angka dan tahun yang penting melainkan: pesan di baliknya

Syahdan, adalah tiga (sam) kerajaan (kok)....

Alkisah, tersebutlah sebuah kerajaan yang peradabannya tinggi sekali waktu itu di Cina. Ada ratusan tokoh yang berusaha menyelamatkan negara yang sangat mereka cintai dari kehancuran.

Usaha mulai dari menumpas pemberontakan untuk memperbaiki situasi dan kondisi negara. Namun, karena perbedaan motivasi, pandangan, dan kepentingan masing-masing tokoh akhirnya berujung pada perpecahan menjadi 3 negara atau kerajaan.

Sudahlah tentu. Bahwa sebagai sebuah cerita, ada pesan di baliknya. Dikisahkan seorang ksatria yang cinta negara, loyal kepada bangsa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Namanya Liu Bei dan pengikutnya. Mereka dengan sengaja ditampilkan sebagai tokoh protagonis, tokoh baik.

Untuk memperbaiki negara dan masa depan bangsa, dibutuhkan kehadiran seorang "jagoan" yang bisa menjadi tokoh anutan bagi generasi muda. Seorang role model yang inspiratif, seorang yang bisa memberi motivasi serta tindak tanduknya bisa dicontoh.

Di pihak lain, ada tokoh antagonis, tokoh lawan, yang dikisahkan sebaliknya. Cao Cao seorang tokoh dari kubu lainnya, dikisahkan sebagai sosok licik, ambisius, dan perilakunya kurang bermoral.

Di Cina, orang yang memimpin, dianggap mendapat mandat dari langit, mandate from heaven. Senantiasa ada yin dan yang, dalam sebuah lingkaran bernama Taijitu. Putih hanya kontras karena ada hitam. Dan sebaliknya. Kedua anasir ini tarik-menarik sejak zaman semula jadi. Seperti halnya ada siang, ada juga malam.

Dalam alam budaya Jawa, seorang pemimpin dianggap mendapat wahyu cakraningrat. Yakni wahyu yang menjadi syarat untuk mendapat kekuasaan serta takhta suatu kerjaaan. Dalam dunia pewayangan, mengisahkan usaha Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Samba, dan Raden Abimanyu dalam menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat. Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden Abimanyu. Maka dialah kelak yang bisa menurunkan raja-raja, di Tanah Jawa.

Ketika proses meneliti dan menulis novel-sejarah Keling Kumang (2015-2016) inilah saya mafhum. Bahwa ilham itu datang dari langit. Bahwa penulis "bisa dipakai" untuk mencatat. Bahwa alam sana bisa ditembus dengan sebuah niat baik, laku-tapa, dengan kebaikan juga.

Di kalangan manusia Dayak, terutama Iban, syarat pemimpin adalah seorang yang dapat dipegang tutur katanya, yang pandai mengatur negara (pengator pekara), serta unggul dalam segalanya dibanding yang lain.

Kisahan yang demikian itu, saya ikat dengan kata-kata lewat novel-sejarah: Keling Kumang. Untuk menulis novel ini, saya riset. Wawancara sejumlah tetua, para pemangkut adat. Ada pakem yang tidak boleh dilanggar. Sebelum menulis, saya minta izin secara ritual. Ada pantangan yang tidak boleh dilanggar. Ada puasa yang wajib dilakukan. Ada tata krama, adat budaya yang perlu diikuti. Agar ilham datang. Dan pengarang hanya perantara yang menuliskan kisah yang lama terpendam.

Ketika proses meneliti dan menulis novel-sejarah Keling Kumang (2014-2015) inilah saya mafhum. Bahwa ilham itu datang dari langit. Bahwa penulis "bisa dipakai" untuk mencatat. Bahwa alam sana bisa ditembus dengan sebuah niat baik, laku-tapa, dengan kebaikan juga. Tentang hal itu, akan saya tulis satu kisah tersendiri, nanti.
***
Mengapa karya fiksi dianggap, dan bisa, jadi sejarah?
Karena: tidak ada menjadi ada. Karena sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sarat nilai di dalamnya, sehingga bukan angka dan tahun yang penting melainkan: pesan di baliknya.
Sebab itu, di Yunani, sastra menjadi sumber pengajaran. Di Romawi kuna, ada ungkapan: poetae sunt morum doctores. Pujangga adalah gurunya moral.

Bukan musykil, novel-sejarah Keling Kumang yang saya tulis ini, kelak, dianggap sejarah dan benar-benar terjadi. Karena, hingga kini, baru inilah sebuah karya fiksi yang dengan tuntas mengisahkan Rama dan Sinta-nya orang Iban itu.Kisahan yang demikian itu, saya ikat dengan kata-kata lewat novel-sejarah.

Bukan musykil, novel-sejarah Keling Kumang yang saya tulis ini, kelak, dianggap sejarah dan benar-benar terjadi. Bukan karena sejarah maka dianggap benar. Sebaliknya, karena baik dan benar, sarat dengan nilai dan edukasi; maka dianggap sejarah.

Kini saja, telah melahirkan 1 master dan 7 orang S-1 karena meneliti novel Keling Kumang. Anehnya, semua wanita yang menelitinya.

***

Apa yang hendak saya katakan, "Fiksi bisa dianggap sejarah, kelak kemudian hari?"

Karena baik dan bernilai maka dianggap sejarah!

Penjelasan selanjutnya, silakan dengan frasa dan pikiran Anda.

***

Tags : literasi