Guru Jantung Pendidikan
“Jangan terlalu ribut soal kurikulim dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelaku-pelakunya itulah yang lebih penting diperhatikan” (Fuad Hasan-mantan Penteri Pendidikan).
Seperti manusia, jika jantung berhenti berdenyut satu menit saja maka nyawa manusia akan melayang. Begitu juga dengan Pendidikan. Jika Pendidikan tanpa guru maka akan sia-sia. Pendidikan akan mati.
Betul kata Mantan Menteri Pendidikan Fuad Hasan bahwa sistem Pendidikan dan Kurikulum tidak perlu muluk-muluk tetapi justru guru-gurunya yang perlu dibenahi kualitasnya dan diperhatikan kesejahteraannya.
Apa peran guru bagi bangsa? Guru memiliki peran yang sangat besar dalam kemajuan sebuah bangsa. Guru menjadi ujung tombak sekaligus berada di garda terdepan dalam menyukseskan Pendidikan anak-anak bangsa. Jika ingin melihat kualitas Pendidikan sebuah bangsa maka lihatlah kualitas gurunya.
Hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment) tiga tahun terakhir menunjukan kemampuan membaca, sains dan matematika warga negara indonesia tergolong rendah dengan urutan ke-74 dari 79 negara di dunia (survei 2018). Survei yang sama dilakukan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengetahui kemampuan literasi, matematika dan sains bagi anak usia 15 tahun di 79 negara. Kedua Lembaga ini menemukan penyebab utama Indonesia selalu berada diperingkat rendah adalah penerapan kurikulum yang selalu berubah-ubah.
Kemampuan literasi, matematika dan sains siswa-siswi 90% didapatkan melalui pendidikan formal di sekolah sehinggah guru tentu menjadi sumber utama mengajarkan kemampuan tersebut.
Di masa pandemic covid-19 ini, kendala belajar daring sangat kompleks bukan hanya dari siswa saja tetapi orang tua. Peran orang tua yang diharapkan menjadi pengajar pembimbing utama menggantikan guru di sekolah ternyata sangat tidak mampu menjadi guru bagi anak-anaknya.
Muncul banyak keluahan dari orang tua siswa. Orang tua tidak bisa mengajari anaknya dengan materi yang dikirim dari guru kepada anaknya sampai pada orang tua kesulitan membagi waktu antar kerja dan mengajar. Belum lagi anak-anak kesulitan memahami materi ajar tanpa ada penjelasan dari guru secara langsung seperti proses pembelajaran di kelas. Jadi, guru tetap menjadi tokoh utama.
Guru masih sebagai aktor utama dalam setiap proses pembelajaran. Untuk itu, derajat dan martabat profesi guru jangan direndahkan apa lagi dianiaya baik oleh siswa sendiri maupun orang tua/wali siswa sampai memakan korban jiwa.
Di negara-negara maju, jantung pendidikan ini menjadi perhatian utama mulai dari kualitas sampai kesejahteraannya.
Di Amerika Serikat, Presiden Barac Obama dalam 100 hari pertama dimasa kepemimpinannya meluncurkan program pendidikan terkenal dengan jargon “teach for American”. Program ini melakukan terobosan untuk peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan baik tenaga pendidiknya (guru) maupun siswa-siswinya. Guru-guru dibiaya untuk mencapai gelar guru besar kemudian ditugaskan mengajar di daerah dengan tingkat kualitas pendidikan sangat rendah.
Menurut Presiden Barac Obama, masalah pendidikan harus diserahkan kepada ahllinya untuk membenahinya bukan pasien sakit gigi disuruh berobat ke dukun.
Untuk itu belajar dari negara-negara maju yang memperlakukan gurunya sebagai insan beradab bukan sebagai sapih perah maka upaya peningkatan kualitas guru di Indonesia juga harus sustainable (berkelanjutan). Harus ada program pendidikan S2 atau S3 bagi guru untuk meningkatkan mutu guru demi terjaminnya kualitas mengajar bagi anak didik. Karena mutu itu adalah output dari proses sehinggah jika prosesnya baik maka outputnya akan baik.
Jadi jika proses peningkatan kualitas guru baik akan menghasilkan guru yag berkualitas dan kualitas guru yang baik akan menghasilkan siswa-siswi yang baik pula.
Presiden Jokowi sudah memulainya. Melalui Menteri Pendidikan dilincurkannya program merdeka belajar untuk dunia Pendidikan Indonesia. Banyak yang mengartikan “Merdeka belajar” sebagai sebuah kebebasan tanpa batas. Namun semua itu ditepis oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim dalam pidato episode pertama program merdeka belajar.
Menurutnya, program merdeka belajar adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang dimaksud adalah kualitas guru dalam mengajar dan kualitas lulusan siswa. Maka makna kebebasan (merdeka) yang dimaksud adalah kebebasan berinovasi, berkreasi dan mandiri di satuan Pendidikan, bagi guru maupun siswa.
Program yang baru berjalan beberapa tahun ini tentu belum bisa dililat hasilnya. Tetapi ada usaha untuk meningkatkan kualitasi sumber daya guru dapat dilihat dari banyaknya guru mulai dari PAUD sampai dengan SMA/SMK yang mengikuti program guru penggerak. Tidak muda menjadi Guru Penggerak. Seorang guru harus mengikuti seleksi dan setelah dinyatakan lulus baru bisa mengikuti Pendidikan Guru Penggerak kemudian baru menjadi Guru Penggerak.
Di sinilah kualitas guru diasa, didik dan dibina. Karena seorang guru penggerak akan berperan menggerakkan komunitas belajar untuk rekan guru di sekolah dan di wilayahnya, menjadi Pengajar Praktik bagi rekan guru lain terkait pengembangan pembelajaran di sekolahnya, mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah, membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antar guru dan pemangku kepentingan di dalam dan luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan di sekolah.
Tentu sebuah terobosan untuk mengubah sebuah system pasti mempunyai tantangan. Tetapi sudah waktunya Indonesia melompat ke depan bukan hanya melangkah saja. Sudah waktunya guru-guru adalah jantung pendidikan membawa bangsa ini melompat ke depan. Pemerintah sebagai sponsor utama harus memberi dukungan moril.
Dukunglah guru untuk berproses; berubah, maju dan sejahtrera untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kita yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia.@r
***