Aku Bangga Menjadi Wartawan
Ucapkan dengan bangga l
kau wartawan Seperti kusampaikan tanpa ragu
Tentang sepotong profesi
untuk seluruh hidup
Tentang seluruh hidup
untuk sepotong profesi
Jangan berpaling
karena ia jiwa
Jangan kau pergi
karena ia cinta
Katakan apa saja
dan aku akan menjawab bangga
Karena ini jiwa
hidup yang menghidupi
Menghidupi api hidup
tanpa basa-basi
Profesi di silang jalan
entah berapa kali dijungkirbalikkan
Kesetiaan tak terperi
tak sirna cinta
Tak pergi jiwa
karena ini hidupku
Saat tiba rongrongan sandyakala
terompet kematian
Tuntutan adaptasi teknologi
dunia yang terus bergerak
Aku tetap di sini
dengan cinta yang sama
dengan etika tak berbeda
Puisi “Sepotong Profesi” karya Amir Machmud NS ini begitu tepat menggambarkan kondisi dunia kewartawanan di masa kekikinian. Teknologi semakin maju, pembaca demikian cepat berubah baik selera dan pola konsumsi bermedianya.
Dulu media cetak begitu berjaya yang perlahan mulai surut dengan kehadiran yang masif dari media elektronik. Media audio pun masih bertahan di tengah gegap gempitanya media televisi. Penetrasi internet yang semakin luas tanpa batas geografis membuat pola baca dan pola tonton bergeser ke media online.
Di saat warga bisa “menarasikan” peristiwa ditambah semakin canggihnya gawai, maka dominasi pekerjaan wartawan menjadi tersaingi. Warga mendapat pilihan saluran informasi alternatif ketika media umum yang dikelola jurnalis tidak bisa menyajikan informasi yang bermutu.
Lebih berbahaya lagi, wartawan yang bekerja di media umum dan resmi tidak mau belajar (lagi) serta merasa tahu segalanya. Padahal di era sekarang ini – apalagi di masa yang akan datang – kompetisi adalah hal yang lumrah terjadi. Siapapun, termasuk pembaca akan mencari pilihan yang terbaik. Jika wartawan masih merasa “bisa” dan tetap tidak mengasah kemampuannya maka siap-siaplah menjadi “penonton”.
Saya masih ingat, booming media di tanah air mulai muncul ketika lahir Majalah Prospek yang mengganjar wartawannya dengan gaji dan fasiltas yang lumayan di era 1990-an. Sementara kelompok media Kompas Gramedia Group juga memberikan kemapanan berkarir bagi para wartawannya. Majalah Tempo pun tak kalah “keren” dalam menghargai kerja-kerja jurnalisme. Belum lagi wartawan yang bernaung di Kelompok Femina Grup, semuanya makin menguatkan image profesi wartawan.
Tidak ada lagi sebutan wartawan “kumal” atau “lusuh”. Wartawan era 1990-an sudah mulai berparfum wangi dan memiliki fasilitas kendaraan. Syarat masuk menjadi wartawan harus sarjana (Strata-1) dan umumnya yang diterima di media-media besar adalah alumni perguruan tinggi “ternama”.
Era munculnya televisi berita di tan ah air di awal 1990-an, semakin menancapkan karir sebagai jurnalis sebagai profesi idola. Proses rekrutmen dan test yang sangat ketat menjadi jamak diterima oleh calon pekerja media.
Saya pernah bersama-sama di lapangan dengan wartawan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebagai alumni Universitas Indonesia (UI) saya merasa menjadi wartawan bukan pekerjaan “buangan” tapi selalu bangga dengan korps “kuli disket”. Kami saat itu masih memakai disket dalam mengetik naskah. Sementara wartawan di era sebelum saya, disebutnya dengan “kuli tinta” karena mengetik berita dengan mesin ketik konvensional.
Saya paling kerap berinteraksi di lapangan dengan teman-teman wartawan yang lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Institut Pertanian Bogor (IPB). Kami yang bekerja di media kerap memplesetkan akronim IPB dengan kepanjangan Institut Publisistik Bogor mengingat lulusan IPB banyak yang menjadi wartawan ketimbang berkiprah di bidang pertanian.
Muncul dari Keprihatinan
Saat mulai berkiprah di Kalimantan Utara medio Desember 2019, saya terkejut dengan isi pemberitaan media cetak dan media online yang ada. Berita-berita yang muncul kerap “seragam” dan bernarasikan keberhasilan sebuah rezim. Tidak ada yang salah, semua serempak memuji birokrasi. Memang tidak semua media seperti ini, masih ada juga yang menyuarakan kekritisan dan menuliskan ketimpangan sosial di masyarakat.
Wartawan tidak salah dan saya malah justru menyalahkan institusinya yang tidak “kreatif” mencari terobosan untuk peningkatan kapasitas para pekerja medianya. Saya juga terbelalak masih ada wartawan di Kalimantan Utara yang hanya lulusan sekolah menengah atas. Padahal saat saya berinteraksi dengan wartawan tersebut, daya nalar dan daya pikirnya tidak kalah dengan wartawan di Ibukota Jakarta. Saya hanya melihat faktor kesempatan belum menghampiri mereka.
Bahkan saat awal kampanye di Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2020 kemarin, peningkatan kapasitas sumber daya manusia – termasuk peningkatan profesi wartawan - menjadi perhatian utama dari pasangan Zainal Arifin Paliwang dan Yansen Tipa Padan (Ziyap). Latar belakang Gubernur Zainal Arifin yang lama berdinas di kepolisian dan terbiasa berinteraksi dengan wartawan serta pengalaman Wakil Gubernur Yansen TP yang Bupati Malinau serta meminati literasi menjadikan pasangan Ziyap begitu “solider” dan berpengertian dengan profesi wartawan.
Ketika didapuk menjadi Ketua Tim Transisi Sinkronisasi Percepatan Program Gubernur Wakil Gubernur Kalimantan Utara, saya selalu menterjemahkan visi misi Ziyap dalam setiap gerak langkap pembangunan yang praksis. Dan saya selalu mencari pembiayaan yang tidak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kalimantan Utara. Saya mencoba menggali sumber-sumber pendanaan kegiatan dari APBN, sama seperti halnya saya mendapatkan akses diterimanya sejumlah pelajar di Kalimantan Utara untuk berkuliah “gratis” di Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta, yang kampusnya bersebelahan dengan kampus saya mengajar di UI Depok.
Salah satu konsern saya di bidang peningkatan kualitas wartawan adalah dengan menghubungi sahabat-sahabat saya di Dewan Pers dan Lembaga Penguji Kompetensi Wartawan London School of Public Relations (LSPR) Jakarta. Saya termasuk pengajar senior di LSPR dan kini hanya sempat menguji mahasiswa S-2 dan S-1 di tengah kesibukan mengajar di berbagai tempat di tanah air.
Sosok yang begitu berjasa atas terselenggaranya Uji Kompetensi Wartawan (UKW) se- Kalimantan Utara yang telah berlangsung di Tarakan (tanggal 24-25 September 2021) adalah Sri Tunggul Panindriya, perintis berdirinya program berita di Lativi (sekarang TVOne). Bersama Sri Tunggul Panindriya, saya bersama-sama melatih calon-calon jurnalis televisi dan menggerakkan siara perdana program berita di Lativi. Pengalaman Srti Tunggul di Surat Kabar Media Indonesia dan SCTV serta latar belakang saya di Majalah Sinar dan SCTV serta Indosiar membuat kami menjadi kawan karib.
Semula kegiatan UKW akan kami gelar di Bulan Juli 2021 tetapi karena pandemi menjadi molor hingga akhirnya terselenggara kemarin. Dari 49 wartawan yang mengikuti UKW, hingga akhir pelaksanaan yang berhasil lulus adalah 46 orang untuk jenjang muda.
Antara LSPR, Ibu Prita & Mendiang Mas Tunggul
Selama dua hari berlangsungnya UKW, Direktur Lembaga Uji Kompetensi LSPR Deddy Irwandy menyebut 10 item diujikan untuk wartawan calon jenjang muda. Diakuinya, kualitas wartawan di Kalimantan Utara cukup mumpuni. Founder dan CEO Institut Komunikasi & Bisnis LSPR Prita Kemal Ganie berkomitmen untuk terus mengadakan UKW secara berjenjang dan berkesinambungan di Kalimantan Utara.
Hanya saja begitu kegiatan UKW akhirnya berhasil terselenggara di Tarakan, ingatan saya kembali tertuju kepada sosok Sri Tunggul Panindriya. Tanggal 24 Juni silam, Sri Tunggul Panindriya wafat karena Covid tanpa sempat menginjakkan kakinya di Bumi Benuanta. Cerita-cerita kami berdua tentang keelokan Sungai Kayan, nikmat kopi Warkop Indra Aseng, gurihnya kepiting Teras Bah, serta enaknya nasi kuning Tanjung Palas kini tinggal menjadi kenangan belaka. Saya gagal mengajak mendiang untuk menikmati itu semua karena pandemi memisahkan sosok yang sangat saya kenang ini.
Walaupun mendiang Sri Tunggul Panindriya berlatar belakang Katolik dan saya penganut Islam, tetapi kami bersaudara dalam cita-cita kebangsaan. Sebangun dengan Ziyap, kami ingin membangun kebersamaan untuk kemaslahatan ummat.
Selamat untuk para wartawan dari Tarakan, Bulungan, Nunukan, Tana Tidung dan Malinau yang telah lulus UKW. Jangan pernah lelah dan berhenti untuk belajar dan mengasah kemampuan. Untuk yang belum berhasil, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda. Harus mencoba lebih baik di kesempatan yang akan datang.
Terima kasih untuk Mas Sri Tunggul Panindriya, saya yakin mendiang bangga dengan 46 wartawan Kalimantan Utara yang telah menyandang wartawan jenjang muda. Di haribaanNya, saya hanya beruluk salam, semoga wabah ini segera berakhir agar kehidupan berjalan normal; kembali.
Ari Junaedi adalah Ketua Tim Transisi Sinkronisasi Percepatan Program Gubernur Wakil Gubernur Kalimantan Utara 2020, akademisi, konsultan komunikasi, kolomnis dan mantan wartawan.