Kenapa Kaum Top Intelektual Indonesia Malas Menulis?
Judul di atas adalah benar-benar sebuah pertanyaan, yang membutuhkan jawaban dari kalangan intelektual. Khususnya mereka yang sudah bergelar doktor (S3) dan menyandang predikat profesor. Tulisan ini tidak akan menjawab pertanyaan tersebut. Melainkan merinci lebih jauh terkait pertanyaan tersebut. Kenapa?
Jumlah judul buku yang beredar di negeri ini setiap tahun berkisar 50.000 judul. Setara dengan jumlah judul buku yang beredar di Malaysia atau Vietnam, yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dibanding Indonesia. Dari jumlah judul buku itu, tidak sampai setengahnya (dugaan kuat penulis) ditulis oleh mereka yang tidak menyandang gelar S3 atau profesor. Data dari pemerintah menguatkan dugaan itu.
Menurut pemerintah, pada 2016 lalu jumlah jurnal internasional hasil karya para doktor dan profesor di Indonesia hanya sekitar 9.000 judul pertahun. Jauuuuh di bawah Malaysia yang lebih dari 23.000 judul. Kalah dari Singapura dan Thailand yang berkisar belasan ribu judul. Jangan bandingkan dengan negara maju. Malu. Terlalu jauh.
Padahal jumlah doktor dan profesor di Indonesia yang tercatat di kementrian pendidikan sebanyak 31.000 orang. Jika kita anggap jurnal tersebut dibuat masing-masing oleh satu orang, maka masih ada 22.000 doktor dan profesor yang tidak menulis karya ilmiah di jurnal internasional. Mereka ngapain saja?
Tentu banyak alasan, kendala, hambatan dan tetek bengek lainnya yang bisa diajukan. Menurut para motivator, orang yang malas melakukan sesuatu pasti memiliki 1001 alasan untuk tidak melakukannya. Alasan untuk melakukan, kalah jauh baik secara kualitas maupun kuantitas dibanding alasan untuk tidak melakukan. Hal inilah yang tampaknya terjadi pada kaum intelektual Indonesia. Alasan untuk tidak membuat karya tulis di jurnal internasional, terlalu banyak dan terlalu mantap.
Kalau saya berdiskusi dengan teman-teman di kampus (akademisi), begitu banyak alasan tersebut. Mulai dari hal teknis, non teknis, psikologis, materi dan lain sebagainya. Banyak sekali. Padahal sebagian kampus – terutama kampus negeri – sudah mengalokasikan sejumlah dana, untuk mendukung penelitian dan pembuatan karya tulis. Dana yang masih dianggap terlalu kecil oleh teman-teman akademisi. Walaupun kalau dibandingkan dengan pemasukan saya – sebagai penulis profesional berbasis projek buku/artikel – jumlahnya lumayan juga. Alias tidak terlalu kecil. Ya, kalau diperbesar akan lebih baik, meski belum tentu juga mampu memacu mereka untuk menulis karya ilmiah.
Saya belum S2, walaupun bertekad menuju S3 pada beberapa tahun mendatang. Selama 10 tahun berkarir di bidang penulisan, sudah menghasilkan lebih dari 60 judul buku (setahun 6 buku, dua bulan 1 buku) dan ribuan artikel plus buku teks kuliah. Teman-teman saya penulis buku, sebagian besar masih S1, sebagian kecil S2 dan sebagian amat kecil S3. Kenapa yang S3 lebih sedikit menulis ya?
Apapun alasannya, apapun dalihnya, apapun kondisinya, faktanya adalah jumlah karya tulis yang dihasilkan oleh kaum tertinggi intelektual Indonesia yaitu para doktor dan profesor, masih sangat minim. Sulit dibantah. Baik dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk karya tulis di jurnal internasional.
Mungkin pemerintah perlu juga membuat secara khusus revolusi mental kalangan top intelektual tersebut, agar mau lebih rajin menghasilkan karya ilmiah dan tidak hanya mengerjakan proyek-proyek saja! Kaum top intelektual, mengemban tanggung jawab besar untuk menularkan ilmu pengetahuan, wawasan dan mindset positif mereka kepada generasi penerus bangsa ini.