Literasi

Nuansa Damai di Belantara Malinau

Selasa, 2 Desember 2025, 13:55 WIB
Dibaca 4
Nuansa Damai di Belantara Malinau

Pepih Nugraha

Penulis senior

Sebagai seorang jurnalis yang telah purnatugas dari hiruk-pikuk berita harian, saya telah melatih diri untuk menjadi seorang pemahat ingatan. Apa itu? Ya semacam menyusun potongan-potongan peristiwa menjadi narasi yang hidup, seperti seorang filsuf yang merenungkan esensi keberadaan. Seperti yang pernah dikatakan seorang filsuf yang mendalami kedalaman subjektivitas manusia, hidup bukanlah sekadar fakta-fakta dingin, melainkan lompatan iman yang personal dan penuh gairah.

Dalam proses itu, saya belajar bahwa setiap cerita adalah cermin jiwa manusia, penuh dengan konflik dan pencarian akan harmoni.

Rabu 26 November 2025, di tengah prosesi wisuda Sekolah Tinggi Teologi (STT) Sehati Malinau, Kalimantan Utara, saya kembali menjadi saksi bisu atas drama manusiawi itu. Di antara sekitar 25 judul skripsi para wisudawan Sarjana Strata-1, satu judul menyentuh, kalau tidak mau dikatakan menampar, relung terdalam hati saya, yakni sebuah kajian tentang "konflik antarjemaat" dan cara menyelesaikannya melalui resolusi damai, sebagaimana yang tertuang dalam Alkitab. 

Kata-kata "konflik" dan "antarjemaat" itu seperti panggilan filosofis yang menyihir, mengingatkan saya pada pemikiran seorang teolog yang membedakan antara hubungan "Aku-Itu" (objektif dan manipulatif) dengan "Aku-Engkau" (relasional dan autentik). Di sini, konflik antarjemaat bukanlah sekadar gesekan sosial, melainkan kegagalan dalam membangun hubungan "Aku-Engkau" yang sejati di antara umat.

Pikiran saya segera mengembara ke belantara Malinau yang hijau dan tenang, sebuah wilayah perbatasan yang tampak damai namun menyimpan benih-benih pertikaian. Ternyata, di balik kedamaian itu, ada potensi konflik yang bersumber dari perbedaan antarjemaat—sebuah paradoks yang mengingatkan saya tentang kebajikan yang sejati yang terletak pada keseimbangan, bukan pada ekstremisme. Namun, poin utama saya bukan pada konflik itu sendiri, yang sering menjadi bahan bakar narasi dramatis dalam jurnalisme, melainkan pada keberanian seorang wisudawan untuk menulis skripsi yang jujur dan hidup. 

Bagi saya skripsi ini seperti sebuah lukisan realis yang memotret kondisi aktual yang selama ini tersembunyi di antara umat Kristen di Malinau—bukan untuk membangkitkan amarah, tapi untuk memadamkannya, seperti obat penawar yang menawarkan kedamaian.

Apa obat untuk konflik semacam itu? Jawabannya, tentu saja, kembali ke firman Tuhan, yang dikunyah, dihafal, ditafsirkan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya yakin, hubungan vertikal dengan Tuhan—seperti yang digambarkan Paul Tillich, teolog abad ke-20, sebagai "kekhawatiran ultimate" atau perhatian tertinggi—adalah fondasi mutlak. Namun, yang lebih krusial adalah hubungan horizontal dengan sesama, di mana kedamaian spiritual dan sosial bertemu dalam satu titik suci: iman Kristen yang inklusif. 

Di sinilah, seperti iman bukanlah pelarian dari dunia, melainkan panggilan untuk bertindak dalam konteks sosial, menghadapi konflik dengan kasih yang radikal.

Sebagai seorang Muslim yang telah lama hidup dalam mozaik keberagaman agama, saya terbiasa melihat agama sebagai jembatan, bukan tembok. Pengalaman saya meliput konflik Ambon dan Poso dari 1999 hingga 2004 masih membekas dalam ingatan. Khususnya di Ambon, saat konflik mencapai klimaksnya, saya tak habis pikir mengapa agama justru menjadi bensin yang membakar konflik horisontal. Namun, saya segera menyadari, seperti yang pernah direnungkan para filsuf terdahulu, "bukan agama itu sendiri yang menjadi sumber malapetaka, melainkan pemeluknya yang naif, yang mengklaim superioritas secara eksternal."  

Ketika klaim internal hati dikodifikasikan menjadi maklumat publik, penolakan dari "yang lain" tak terhindarkan, dan benih konflik pun bersemi. Agama, dalam esensinya, baik adanya; bara konflik ada pada interpretasi manusia yang salah kaprah.

Ketika nama-nama wisudawan STT Sehati disebut satu per satu, dan tanda kelulusan diberikan oleh Rektor Dr. Yulius Daud—seorang pendeta yang juga pemikir—saya merenung, inilah jenis lulusan yang seharusnya dicetak berlimpah. Lulusan yang kontekstual dengan kebutuhan diri, lingkungan, dan wilayah perbatasan Kalimantan Utara yang mayoritas Kristen.

Mereka bukan sekadar rohaniwan, tapi agen transformasi yang siap melayani di gereja, sekolah, atau lembaga pelayanan. Pemahaman teologis mendalam, penguasaan Alkitab, doktrin, tafsir, dan teologi kontekstual—seperti isu ekologi hutan atau dialog antaragama untuk mencegah konflik—sangat penting.

Namun itu saja tidak cukup tanpa integrasi iman dengan isu lokal seperti kemiskinan, ketahanan pangan, keterisolasian, dan keadilan sosial di masyarakat Dayak serta etnis lokal lainnya.

Hidup spiritual yang sejati, bermoral tinggi, tangguh, dan penuh kasih harus menjadi inti mereka, terwujud melalui disiplin rohani, ibadah, dan konseling. Mereka harus mahir berkhotbah, mengajar, memimpin ibadah, konseling, dan pengabdian masyarakat, termasuk misi di komunitas terpencil untuk merealisasikan Amanat Agung. 

Semua itu melekat pada lulusan STT Sehati, yang berfungsi sebagai "pabrik pemahaman terhadap Tuhan," menghasilkan pastor-scholar kritis-konstruktif. Mereka mampu meneliti teologi relevan, seperti teologi lingkungan untuk Kalimantan, dan berkontribusi berkelanjutan.

Lulusan STT Sehati seharusnya menjadi berkat bagi gereja lokal Malinau dan bangsa Indonesia, dengan penekanan pada aksesibilitas seperti kuliah online atau sambil bekerja untuk mengembangkan SDM daerah. 

Kini, gedung STT Sehati berdiri megah di Desa Tanjung Lapang, Malinau, sebagai simbol kebanggaan. Di sini, iman bukanlah abstraksi, melainkan panggilan untuk hidup autentik di tengah belantara kehidupan menuju kedamaian yang abadi. 

Dan, Dr. Yansen TP sebagai penggagas sekaligus pendiri bukan sekadar abstraksi apalagi imajinasi, melainkan "kasunyatan" di mana eksistensialismenya mewujud dalam karya berdirinya STT Sehati yang kelak bermetamorfosis menjadi "Universitas" yang tidak hanya berhenti mencetak Sarjana S1, tetapi juga S2 hingga S3. 

Pepih Nugraha