Ke Luar Negeri Bukan Hal Mewah di Perbatasan Negara
Siapa yang pernah ke luar negeri? Jika pertanyaan ini terlontar kepada kalangan "masyarakat biasa" di Pulau Jawa, barangkali tak muncul jawaban spontan: "saya!". Apa pasal? Pulau Jawa tidak memiliki perbatasan darat dengan negara tetangga.
Jadi, suatu perjalanan ke luar negeri masih identik dengan kemewahan. Nikmat yang hanya "kalangan menengah ke atas" yang mampu menjangkaunya.
Dari lima pulau besar di Indonesia, Pulau Kalimantan--dan Papua--yang memiliki perbatasan darat dengan Jiran. Papua dengan Papua Nugini. Kalimantan dengan Sarawak, Malaysia Timur.
Dan satu lagi, Nusa Tenggara Timur dengan Republik Demokratik Timur Leste. Juga ada sebagian kawasan perbatasan di wilayah ini berupa laut.
Pulau lain, seperti Sulawesi dan Sumatera, hanya memiliki perbatasan laut. Sumatera dengan Singapura, dan Sulawesi dengan Philipina.
Nah, jika pertanyaan "siapa yang pernah ke luar negeri?" dilontarkan kepada penduduk perbatasan di dusun-dusun pedalaman Kalimantan Barat, bisa jadi akan terdengar koor: "sayaaaa!"
Meskipun, mereka dari kalangan "masyarakat biasa". Bukan kalangan "the have". Sebab, apa boleh buat, mungkin untuk di Pulau Jawa, jalan-jalan ke luar negeri masih dominasi kalangan "the have".
Di pedalaman Kalimantan Barat, jalan-jalan ke luar negeri bahkan bisa "balik ari" atau pulang-pergi. Ya, hanya dalam satu hari, bahkan hanya sekadar untuk makan siang. Makan siang di luar negeri!
Atau berbelanja. Berobat. Mencari nafkah. Dan, mengunjungi sanak famili? Apa? Ya, benar, sanak family. Bukan hal aneh bagi penduduk dusun pedalaman, memiliki sanak family di luar negeri.
Di dusun-dusun pedalama di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, jalan-jalan ke luar negeri bukanlah hal mewah. Tak perlu naik pesawat. Tak perlu bawa travel bag. Percayalah!
Pesan Berantai dan Kompasiana
Memikirkan tentang perbatasan negara, saya teringat tulisan lama. Pada 30 November 2012, saya tersentak oleh pesan berantai melalui Blackberry Messanger (BBM). Intinya, pesan itu berupa "ajakan perang melawan Malaysia".
Hanya menggunakan perangkat Blackberry, saya menulis sesuatu atas pesan berantai itu. Kala itu, saya memili laman miroblogging di kompasiana. Tulisan itu saya unggah di sana. Judulnya agak bergaya, karena pakai bahasa Inggris, sementara narasinya berbahasa Indonesia: "Malaysia is My Friend".
Memang saat itu, ajakan perang itu memanas di pesan instan. Media arusutama pun memberi perhatian pada gossip ini. Sebab, isu caplok-mencaplok kedua Jiran sering menghadirkan sensasi.
Buktinya, tulisan saya di kompasiana itu dipilih editor menjadi headline. Tak hanya itu. Saya kaget ketika beberapa hari kemudian, pagi-pagi, kenalan saya di Jakarta mengirimkan tangkapan layar. Tulisan saya itu terbit juga di halaman Kompas edisi cetak!
Ini prestasi, karena di masa lalu, saya langganan menerima aplop cokelat dari Pal Merah. Penulis yang senasib dengan saya pasti marfum. Ampop cokelat itu berisi surat dari redaksi Kompas, yang menolak artikel yang kita kirim, dengan kalimat andalan: "Kami kesulitan tempat untuk memuat artikel anda."
Kala itu, belum jamannya mengirim artikel melalui email. Saya, dan tentu penulis-penulis lain, lebih kerap mengirim tulisan ke Kompas dengan surat pos. Kemudian beberapa hari kemudian, harap-harap cemas mengintip lembaran Kompas di kios, kalau-kalau tulisan itu dimuat. Faktanya, untuk saya: tidak pernah.
Nah, berkat adanya gossip hangat itu, tulisan yang saya rangkai secara santai, nyantol juga di lembaran cetak.
Di tahun 2012 itu, Harian Kompas menyediakan lembar Kompasiana Freez. Redaksi menggunakan tulisan saya yang sudah mereka sunting, untuk terbit pada edisi Rabu, 5 Desember 2012. Judulnya mereka ubah: "Orang Malaysia Itu Teman Saya".
Syahwat Perang
Rasanya, tulisan lama itu segar kembali di masa kini. Saya ingin menampilkannya di sini. Versi asli di laman kompasiana saya sunting kembali.
Lagi-lagi Malaysia dituding "menyenggol" Indonesia! Beberapa hari belakangan (pada November 2012 itu) beredar pesan berantai melalui BBM yang memuat link URL di internet tentang sebuah video.
Dalam BBM itu disebutkan, link itu memuat video "Indonesia dikatain anjing oleh orang-orang Malaysia". Masih disertai semacam ajakan: "jangan lupa sebarin ke teman-teman biar Malaysia dikecam balik oleh rakyat Indonesia".
Saya tidak ikut melakukan broadcast atas BBM itu. Pun saya tidak mau repot-repot melakukan download atas file video di link tersebut. Reaksi beberapa teman, mungkin juga sebagian pengguna sosial media lain, sangat beragam atas hal ini.
Status facebook dan blackberry profile beberapa teman berisi kecaman, di antaranya "menyerang" balik dengan umpatan-umpatan. Ibarat prokem yang populer awal tahun 2000-an, "gue sih asyik aje selama elo kaga nyenggol gue". Atau, "loe jual, gue beli".
Sekali lagi, saya memutuskan untuk tidak ikut-ikutan. Sejenak pikiran dan ingatan saya melayang pada peristiwa beberapa bulan sebelumnya. Saat berkunjung ke satu kawasan perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Malaysia.
"Yang berhadapan langsung dengan Malaysia itu kami yang tinggal di sini, bukan orang Jakarta sana," ucap seorang teman yang saya kunjungi di Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari kampungnya itu, hanya perlu kurang dari 30 menit naik sepeda motor melalui jalan tanah untuk sampai ke kawasan Sarawak, Malaysia Timur. Dia menyayangkan syahwat perang orang Jakarta (untuk menyebut pihak-pihak yang jauh dari perbatasan) yang begitu besar untuk membangkitkan kembali spirit ganyang Malaysia.
"Saat orang Jakarta menyerukan perang dengan Malaysia, kami malah bekerja bersama di ladang, makan minum di rumah panjang," tutur sahabat saya itu.
Maklum, teman saya itu, dari sub etnik Dayak Iban. Suku yang sama dengan sebagian warga negara Malaysia yang tinggal di kawasan Sarawak. Dulunya sebelum garis khayal negara membatasi kawasan itu, orang Iban di kawasan ini sudah lebih dulu hidup turun-temurun dalam komunitas dengan aktivitas yang sama dan tak terpisahkan.
Ketika warga Malaysia dari etnik Iban berladang, budaya gotong-royong yang diwariskan sejak zaman nenek moyang masih berlaku. Artinya, keluarga mereka dari kawasan Badau (yang notabene adalah wilayah Indonesia) dan sekitarnya yang juga orang Iban, membantu mereka mengerjakan ladang.
Saling bantu dalam mengerjakan ladang adalah hal biasa di hampir sub etnik Dayak seantero Kalimantan! Jadi, kerjasama atau gotong-royong mengerjakan ladang antara orang Iban di Malaysia dengan iban di Indonesa sulit dilihat sebagai kerjasama G to G, tentu saja, namun lebih pada hubungan antar komunitas homogen.
Pusing, kan? Memang, salah satu tugas negara adalah membuat rakyatnya pusing, hehe.
"Kalau ada seruan perang, siapa yang harus kami bunuh? Keluarga-keluarga kami yang kebetulan berada di sebelah sana batas negara, yang terpisahkan oleh teritorial ini?" lagi sembur sahabat saya tadi.
Dia menyambung, "Hanya batas negara yang membuat kami terpisah. Jiwa kami tetap sama, sebagai orang-orang Iban dengan tradisi perladangan dan budaya yang sama."
Ini sekaligus jawaban terhadap panasnya "ajakan perang" saat Malaysia dituduh mencaplok budaya Indonesia, ketika ada iklan made in Malaysia yang menampilkan tari-tarian Dayak. Bukankah tarian etnik Dayak yang mereka tampilkan dalam iklan tersebut, adalah juga milik warga mereka sendiri?
"Ndak bisa kita apa-apain itu. Kami ini masih satu rumpun, tarian mereka ya tarian kami juga," komentar seorang tokoh Dayak Kayaan di Pontianak, yang waktu itu saya mintai pendapat.
Narasumber ini memang merupakan satu di antara Dayak Kayaan, sub etnik Dayak yang selain hidup di kawasan Kalimantan Barat dan Timur, juga hidup di kawasan Sarawak. Hubungan kekerabatan dan kerjasama tetap terjalin hingga saat ini.
Makan Siang di Luar Negeri
Organisasi Dayak di Kalimantan Barat, kerap bekerja sama dengan organisasi Dayak di Sarawak. Dari mengikuti aktivitas mereka (waktu itu sebagai wartawan media lokal di Kalimantan Barat yang melakukan peliputan), saya lantas berkenalan dengan seorang wartawan senior dari Sarawak bernama James Alesander Ritchie. Usianya kala itu sekitar 60-an tahun.
Hingga detik ini, kami masih tetap bersahabat. Dia beberapa kali mengunjungi Pontianak dan saya menjadi tukang ojeknya. Menemani dia liputan untuk harian berbahasa Inggris di negaranya. Sambil curi-curi ilmu juga dari wartawan veteran ini.
Saya baru satu kali mengunjungi dia di Kuching dan dia ajak mampir di rumahnya. Juga dibawa jalan-jalan keliling Kuching dengan sepeda motor tuanya. Lihat video serunya di bawah ini.
James Ritchie, pria berdarah campuran Skotlandia dan China. Tak setitikpun darah Dayak mengalir di urat nadinya. Tapi dia begitu fasih berbicara bahasa Dayak Iban, dan memahami berbagai ritual dan tradisinya.
Suatu waktu, saya dan beberapa rekan sedang berada di Entikong, Kabupaten Sanggau. Entikong merupakan kawasan border yang sudah resmi sebagai pintu keluar masuk resmi kedua negara.
Saya mengirim short massage service (SMS) kepada James, menanyakan apakah mungkin makan siang bersama di negaranya. Keren! James punya waktu luang, dan kami tinggal "menyeberang" lewat border Entikong, menuju kota terdekat antara Entikong dengan Sarawak, yakni Tebedu, sebuah kota kecil yang rapi dan penuh dengan aktivitas perdagangan.
"Hebat, kita makan siang ke luar negeri. Hanya untuk makan siang!"
Kami makan di sebuah restoran Thionghoa di Tebedu. Kami berbicara campuran bahasa Indonesia, Melayu, dan Inggris. Suasana akrab, bersaudara, dan hangat. Kami juga menyanyi bersama.
Nah, jika masih ada seruan dan ajakan perang melawan Malaysia, dalam benak saya segera terbayang wajah James, dan beberapa teman Malaysia saya lainnya. Tegakah saya, misalnya saat head to head, mengayunkan senjata ke arah mereka? Lalu kalau mau perang, siapa sebenarnya yang akan kita bunuh?
Atau seruan perang itu hanya retorika sebuah bangsa yang kebakaran jenggot mengalihkan suatu isu ke isu lainnya? Sudah benar-benar kurang kerjaankah kita mengurus bangsa ini, sampai hal-hal kecil harus berujung pada perang?
Sengaja saya tidak mau melakukan download atas file video yang disebutkan menghina Indonesia dengan perkataan "anjing". Bisa saja itu buatan orang iseng yang hobi melakukan "pengeruhan suasana".
Atau bisa saja itu benar-benar buatan orang Malaysia, tepatnya oknum, yang tidak perlu ditanggapi. Perbuatan seorang atau sekelompok oknum, tak lantas harus digeneralisasi ke tataran negara.
Saya kira, masih sangat banyak hal-hal bermanfaat lainnya yang menanti untuk dibenahi, ketimbang meladeni efek-efek sosial media yang hobi dengan isu hoax. Ibarat masturbasi, lebih banyak tenaga terbuang daripada kepuasan yang dirasakan. Siapa yang rugi?